logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

CRASHING ON ROYAL PRINCESS-I'LL TAKE YOU UP.

CRASHING ON ROYAL PRINCESS-I'LL TAKE YOU UP.
EDWIN lupa kapan terakhir kalinya ia minum sebanyak ini. Sepulang dari istana itu, Edwin bergegas kembali ke hotel bersama dua bodyguardnya. Seharusnya sesampainya di hotel ia segera makan atau miniman minum air mineral. Namun pria itu tidak melakukannya. Edwin justru mengambil beberapa botol wine dan meneguk botol-botol itu hingga tandas. Satu botol ia masih baik-baik saja. Dua botol Edwin mulai oleng. Tiga botol dan botol selanjutnya Edwin sudah tidak bisa berpikir jernih. Terbesit di benaknya bagaimana manisnya bibir Elle. Bagaimana senyuman menggoda itu saat Edwin mengatakan akan memberi Elle ponselnya. Dan bagaimana ekspresi serta erangan menggairahkan yang dilihatnya saat tubuh mereka saling terjalin.
Mungkin Edwin bisa dibilang sedikit gila atau sejenisnya. Atu sebut saja berlebihan. Sejauh ini, belum ada wanita yang bisa membuatnya begitu tak berdaya seperti Elle. Seorang Putri dari kerajaan yang bertemu seorang pelayan dari saudagar kaya raya. Kirakira begitulah perumpaan hubungannya dengan Elle. Elle tidak hanya sempurna secara fisik. Hampir semua bagian tubuh wanita itu asli. Bukan plastic atau buatan manusia. Elle memiliki mata lebar, hidung runcing layaknya kaum bangsawan, sepasang kaki jenjang yang indah, pinggul kecil seolah ia mengenakan korset selama sehari semalam dalam hidupnya, dagu runcing dan bibir penuh.
Tidak hanya itu, Elle juga memiliki payudara yang bulat dan sempurna serta bokong sekal yang begitu menggoda. Jangan lupakan kulit lembut bak sutra serta rambut yang begitu indah serta suara merdu. Lagi-lagi bayangan tentang Elle memenuhi kepalanya yang semakin lama semakin membuat Edwin pusing. Edwin meneguk botol terakhir hingga tandas. Sebuah seriangaian menghiasi wajahnya. Edwin tidak akan membiarkan dirinya berhalusinasi lagi. Cukup sudah ia memikirkan Elle. Malam ini ia tidak akan ke pesta pertunangan Elle. Ia tidak peduli lagi dengan wanita itu. Jika besok Elle menikah, Edwin tidak akan melarangnya atau memikirkannya. Ia akan segera kembali ke New York dan bekerja seperti biasa.
Dan mencari teman kencan satu malam seperti biasa pula.
Perlahan tapi pasti, kedua mata Edwin mulai meredup. Pria itu tertidur di sofa. Di mejanya, berserakan botol-botol wine yang sudah kosong. Begitu pula di dalam kepalanya. Yang mulai kosong melompong seolah seseorang dengan sengaja menghapus semua kenangan di hidupnya dan dengan senagaja menyisakan satu kenangan yang justru mengganggu hati dan pikirannya. Kenangan tentang Elle.
**
Malam harinya di Palacio Real de Madrid, Elle mengenakan gaun putih yang khusus dibuat untuknya. Gaun tersebut melekat pas di tubuhnya, belahan dadanya tidak terlalu rendah dan terdapat hiasan seperti berlian di seluruh bagiannya. Elle sendiri tidak yakin apa nama benda itu. Yang jelas ia menyukai bagaimana desainer yang dipercaya untuk acara malam ini memadukan gaun putih, anting serta sepatu yang berwarna senada. Penata rambutnya mengatakan Elle sebaiknya menggerai rambutnya karena hal itu akan menambah kesan elegan dalam penampilannya. Elle hanya mengangguk, menyetejui kata-kata sang desainer.
Jika Elle boleh jujur, ia memang sangat ingin terlihat cantik malam ini. Namun bukan untuk calon tunangannya. Elle ingin terlihat cantik di mata Edwin. Dia sudah menguncang Edwin untuk datang. Seharusnya pria itu datang dengan sikap sopan, mengenakan jas dan tersenyum lebar kepadanya. Atau yang lebih parahnya, Edwin menggodanya lagi. Perut Elle seperti dipenuhi kupu-kupu yang berterbangan saat membayangkan Edwin menariknya lalu tiba-tiba menciummnya. Tanpa Elle sadari, senyumnya mengembang begitu lebar sehingga menimbulkan pertanyaan dari sahabatnya.
“Elle, apa yang terjadi?” Laura mengerutkan keningnya. “Aku tahu akan menjadi tunangan calon raja Belanja. Tapi aku tidak habis pikir kau akan menjadi segila ini. Aku heran, kapan pria itu membuatmu jatuh cinta?” Laura memasukkan ponsel ke dalam tas mungilnya. Seharusnya Zen dan Bradd juga berada di sini untuk menemani Elle. Namun sepasang kekasih itu saat ini sedang mengantar kado special untuk ayahnya, Sang Raja.
“Aku?” Elle pura-pura bodoh. “Kau salah liat.” Ia mengelak.
“Mengelak? Jelas-jelas aku melihatmu tersenyum.”
“Laura,” Elle meletakkan kedua tangannya di pinggang. “Aku tidak tersenyum, sayang. Kau hanya salah lihat.”
Laura ingin sekali mendebat Elle, tetapi melihat temannya itu sedang bahagia ia akhirnya mengurungkan niatnya.”Baiklah aku salah lihat.”
Elle menepuk pelan pipi Laura. “Kau manis sekali.” Senyumnya mengembang, bukan karena Laura. Melainkan karena membayangkan Edwin. Dan ini sungguh konyol.
“Ayahmu akan mengumunkan pertunganmu malam ini. Ini kado yang sempurna untuk ulang tahunnya.”
Elle mengedikkan bahu. “Begitulah. Kita bisa menyebutnya kado terbaik. Pertunangan ini akan menguntungkan kedua belah pihak. Kerajaan kami akan semakin kuat. Kau juga tahu maksud dari perjodohan ini.”
“Elle, jangan bicara seperti itu. Ayahmu hanya ingin memberi yang terbaik untukmu. Dia tidak mau kau berkhir dengan pria yang salah.” Laura menepuk bahu sahabatnya. Ia tahu kalau sebenarnya Elle tidak menyukai pertunangan ini. Meskipun calon tunangannya adalah priayang sangat sempurna. Laura belum pernah bertemu dengan pria seperti calon tunangan Elle.
“Aku tahu. Jangan ingatkan aku lagi tentang hal itu. Aku masih muda dan ceroboh waktu itu.”
“Aku tidak mengingatkanmu, Elle. Sudahlah, aku tidak mau mengacaukan malam sempurnamu.”
“Bagus.” Komentar Elle singkat.
Rasanya Elle tidak sabar keluar dari kamarnya dan bertemu dengan Edwin. Elle membayangkan Edwin mengenakan jas berwarna putih serta kemeja senada. Sepatu mengkilap dan rambut yang seidkit berantakan seperti biasa. Elle menyukai penampilan Edwin, apa adanya. Entah apa yang membuat Edwin begitu mempesona. Dari cara bicaranya, cara berjalan dan semua tantang si Pangeran Iblis sepertinya menarik untuk dilihat. Apalagi caranya mencium Elle dan membawa wanita itu merasakan setiap sentuhannya.
Pipi Elle kembali merona, Laura di sampingnya masih sibuk memainkan ponsel. Sementara Elle sendiri sibuk memikirkan Edwin.
“Ngomong-ngomong,” Elle memulai. “Kapan ayahmu akan mengumungkan pertunangan kalian?”
“Menjelang tengah malam kurasa. Yang pasti tidak setelah ayahku memotong kue. Ayahku dan calon besannya sepakat akan mengumumkan pertunangan kami sebelum acara berakhir. Dia tidak mau menjawab pertanyaan dari kolega-koleganya.” Elle mencibir. Sungguh sikap kurang ajar.
“Kenapa Zen lama sekali?” Elle sekali lagi melongok ke arah pintu yang tertutup rapat. Mereka memang sedang menunggu Zen dan Bradd. Setelah mereka berempat berkumpul, Elle berencana turun dan bergabung dengan tamu undangan.
“Entahlah.” Laura merasakan ponselnya bergetar lagi. Wanita itu segera membuka pesan singkat dari Zen yang mengatakan ia dan Bradd akan menunggu dibawah saja.
“Ayo, kita turun sekarang. Zen dan Bradd menunggu di bawah.” Laura berdiri. Ia membalas pesan singkat dari Zen.
“Huh, dasar pasangan menyebalkan.” Elle berkomentar. Meski begitu, ia tetap berjalan membuntuti Laura. Laura membuka pintu dan mereka mulai berjalan beriringan menuju aula. “Kapan mereka bisa dewasa dan menghargai orang lain? Zen dan Bradd bertingkah seperti anak-anak.”
Di sisinya, Laura tampak terkekeh geli. “Mereka menganggap diri mereka anak-anak.”
“Kasmaran setiap saat? Itu namanya bodoh. Katanya cinta hanya pembodohan?”
Kali ini Laura menggelengkan kepalanya. “Tapi mereka tidak bodoh, Elle. Mereka tidak sepertimu.” Di antara mereka berempat, Laura memang sahabat yang paling bijak. Elle, Laura, Zen dan Bradd memang tumbuh bersama sejak mereka masih kanak-kanak. Lingkaran persahabatan mereka hanya terdiri dari empat orang itu saja. Dan dua di antaranya terjebak cinta. Zen dan Bradd saling jatuh cinta sejak mereka masih berada di sekolah dasar hingga kini. Keduanya akan melangsungkan pernikahan dua bulan dari sekarang.
“Baiklah di sini akulah yang bodoh.” Elle memonyongkan bibirnya. “Aku yang dibuat bodoh oleh cinta.”
“Kau tidak akan menjadi bodoh lagi saat jatuh cinta nanti. Aku yakin itu, kau sudah jauh berubah.”
“Orang-orang masih memanggilku Si Putri Ceroboh, Laura.”
“Sebaliknya, aku tidak menganggapmu demikian.” senyum Laura mengembang, menghiasi wajah cantik nan lembut itu. Laura seperti peri hutan. Dengan aroma kayu manis atau bunga semerbak dan memiliki hati yang begitu lembut. Di antara mereka berempat, Laura jugalah yang selalu menjaga persabatan mereka tetap utuh hingga detik ini.
“Menurutmu aku tidak ceroboh lagi?” tanya Elle dengan mata berbinar.
Laura menggeleng. “Sedikit.”
Meski mengesalkan, Elle tetap memeluk sahabatnya itu. Ia hampir menangis mendengar penuturan Laura. Bagi Elle, Laura lebih pantas menjadi ibunya di banding sahabatnya. “Terima kasih, Laura.” Ucap Elle tulus.
“Sama-sama, Princess.” Sahut Laura penuh ejekan.
“Laura!” Elle mengurai pelukan mereka dan meninju lengan Laura berkali-kali. “Kau menyebalkan!”
Bukannya membalas perlakuan Elle, Laura justru semakin terkikik melihat wajah kesal Elle.
Sekarang, mereka telah sampai di aula. Hampir seluruh tamu undangan sudah hadir. Orang pertama yang menghampiri Elle dan Laura adalah-
“Selamat malam, Princess.” Pria itu menyapa sopan.
“Selamat malam, Prince.” Senyum Elle mengembang, tak kalah sopan dengan Sang Pangeran.
“Malam yang sempurna bagi Prince dan Princess.” Bradd berkomentar setelah berdiri tak jauh dari mereka bertiga.
“Kau cantik.” Puji Zen seraya merapikan rambut Elle yang sedikit berantakan karena terlalu banyak tertawa dengan Laura.
“Terima kasih, Zen. Aku akan memberimu coklat panas di kamarku setelah acara malam ini selesai sebagai tanda rasa terima kasihku karena pujianmu.”
“Dasar konyol, aku tahu di sini banyak coklat panas. Kau mau memberiku coklat sisa? Begitu?” Zen menanggapi dengan bibir sedikit monyong.
“Ah, tepat sekali!” Elle terkekeh geli. “Kau pintar, Zen!”
“Memangnya sejak kapan aku bodoh!” Zen sedikit tersinggung dan mengacak-acak rambut Elle lagi.
“Ngomong-ngomong, Rafe,” Bradd memulai topik baru dengan Rafe- calon raja Belanda yang juga calon tunangan Elle. “Apa kau tidak berniat membeli senjata dari Montano? Aku mendengar utusan dari Montano menjelaskan secara detail mengenai penemuan baru mereka. Kurasa itu penting bagi Belanda. Pertahan kalian akan semakin kuat.”
“Tentu saja aku akan mempertimbangkannya. Aku melihat sendiri presentasinya. Pria itu brilian, aku tidak tahu Montano memiliki utusan sebaik itu. Aku rela membayar lebih demi mendapatkan orang sepertinya.”
Diam-diam Elle memperhatikan pembicaraan Rafe dan Bradd. Mereka sedang membahas tentang Edwin. Jantungnya tiba-tiba berdegup tidak karuan sejak menginjakka kaki di aula, Elle memang sudah menantikan kehadiran Edwin. Seharusnya pria itu datang malam ini jika tujuanya hanya untuk menidurinyaya. Elle bahkan mengirim undangan rahasia. Edwin bukan pria bodoh dan seharunya tahu tentang hal itu.
“Kau tidak bisa serta-merta membeli apa yang kau mau dengan uangmu yang banyak itu, Rafe.” Komentar Bradd lengkap dengan seringaiannya.
“Aku tahu. Tapi dia memang jenius. Bagaimana jika aku mengundangnya ke kerajaanku? Aku yakin ayahku akan setuju membeli senjata dari Montano. Lagipula, aku sudah bosan melihat senjata-senjata kuno teronggok di gudang. Benar-benar mengangguku pemandangan mata.” Rafe berkomentar panjang lebar. Pria itu antusias membicarakan Edwin. Dan Elle lagi-lagi menguping.
“Apa dia datang malam ini?” tanya Bradd seraya menoleh ke sana kemari.
“Aku belum melihatnya.” Rafe mengedikkan bahu. Dia jelas tidak peduli apakah Edwin datang atau tidak. Tapi Elle jelas sangat peduli.
“Kalau pun dia tidak datang, aku bisa mendatanginya. Atau mengirimkan pesan lewat orangku.” Rafe berkata angkuh.
Elle menginjak kaki Bradd, menyuruh pria itu terus memancing Rafe. Untungnya Bradd tahu apa maksud Elle. “Kau tahu di mana tinggal?” pancing Bradd lagi.
“Novotel Madrid Las Ventas.” Jawab Rafe angkuh.
Elle menginjak kaki Bradd lagi. Yang berarti infiormasi itu tidak cukup akurat dan Bradd harus memancing Rafe lagi. Jika bisa, Bradd ingin sekali memutar bola matanya, tetapi hal itu pasti akan mengundang kecurigaan Rafe saja. “Kau hanya tahu hotelnya. Kau bahkan tidak tahu di nomornya kamarnya.”
Dan umpan yang dilontarkan oleh Bradd sudah cukup membuat seorang Rafe mengatakan secara detail di mana Edwin tinggal. Elle mencatat informasi terbaru itu di kepalanya. Ia akan bertindak jika memang Edwin tidak datang malam ini. Edwin berhutang padanya. Pria itu berjanji akan memberinya alat canggih yang bisa mengeluarkan sebuah pisau. Elle tidak punya pilihan lain selain menagihnya. Dan jalan satu-satunya adalah mendatangi pria itu.
Pesta dimulai. Acara potong kue akhirnya dilakukan. Elle seperti biasa mendapat potongan kedua setelah ibunya. Malam ini untuk pertama kalinya Elle tidak bisa fokus dengan acara ulang tahun ayahnya. Matanya terus mencari di mana keberadaan Edwin. Namun pria itu sepertinya memang tidak berniat datang. Dalam hati Elle ingin sekali mengumpat. Ini tidak bisa dibiarkan.
Usai menemani ayahnya memotong kue, Elle mengumpulkan ketiga sahabatnya.
“Aku harus pergi dari sini.” katanya dengan suara rendah.
“Jangan berulah, Elle!” peringat Laura.
“Ini penting.” Elle memelototi sahabatnya. Bradd yang sudah bisa menebak kemana Laura akan pergi hanya meggeleng pelan.
“Butuh supir?” Bradd meawarkan. Dan Elle menggeleng tegas.
“Tahan Rafe di sini sampai besok, Bradd. Aku bisa pergi sendiri.”
“Kau yakin?” tanya Bradd khawatir.
“Tenanglah. Aku sudah sering kabur. Kali ini aku pasti lolos lagi.”
“Elle!” Zen berseru panik.
“Sssttt…. Aku berjanji akan pulang besok pagi sebelum matahari terbit, Zen!”
“Kau kau kemana?” Zen bergatian menatap kekasihnya dan Elle.
Sikap diam Elle memaksa Bradd menjawab pertanyaan Zen. “Menemui seorang utusan yang dikirim oleh Montano.”
“Ada apa dengannya?” Laura menyilangkan kedua tangan di depan dada.
“Aku butuh bantuan kalian.” Elle menolak menjelaskan siapa sebenarnya Edwin ini kepada para sabahatnya. “Bradd?” Elle menatap Bradd dengan puppy eyesnya. Pria itu mendesah pelan kemudian mengangguk samar.
“Bagaimana dengan pertunanganmu?” Laura bertanya lebih dulu.
“Aku menyerahkannya pada kalian.” Dan setelah itu, tubuh Elle tiba-tiba limbung ke depan, tepat ke arah Bradd.
Zen menjerit histeris. Itu adalah respon alaminya. Sementara Laura mengumpat dalam hati. Bradd dengan sigap memeluk tubuh lemah Elle dan meggendongnya.
Seluruh peserta pesta itu memusatkan perhatiannya pada Elle. Tampak beberapa orang mulai berkerumun. Bradd dengan sigap membopong tubuh Elle keluar dari kerumunan. Di sana ada Rafe yang juga ikut membantu Bradd.
“Ada apa?” tanya Rafe panik.
“Dia tiba-tiba pingsan. Elle sempat mengeluh perutnya sakit.” Laura menjawab dengan nada khawatir yang sengaja dibuat sedramatisir mungkin.
“Astaga!” Rafe mengeluh dalam.
Di dalam hatinya, Elle bersorak girang. Segera setelah keluar dari istana, ia akan melancarkan aksinya untuk menagih janji Edwin. Meskipun ada hal lain selain benda canggih itu yang memaksa Elle mendatangi pria itu. Elle merasa ia perlu menjelaskan mengenai pertunangannya pada Edwin, meskipun mungkin Edwin bahkan tidak peduli dengan hal tersebut.
I’ll take you up, Ed!

Comentário do Livro (43)

  • avatar
    RosdianaDian

    bagus

    09/08

      0
  • avatar
    Siti nur azizah009

    luar biasa

    25/07

      0
  • avatar
    Silla fardyanNay

    good

    03/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes