logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 5. Rasa Malu

Bab 5. Rasa Malu
Sementara itu rutinitas pagi di kediaman Permana, sehari setelah acara akad nikah itu berlangsung. Suasana masih hening, belum ada aktivitas di dapur rumah itu. Karena semua asisten rumah tangga di berhentikan oleh sang pemilik rumah, sejak mengetahui putri dari rumah itu berbadan dua.
Sementara itu Ahmad sudah mulai bersiap untuk pergi ke kantor, dia sudah rapi dengan setelan kemeja abu dan jas hitam. Sementara Mona masih ada di kamar mandi karena hari ini dia ingin mengecek pabrik tekstil tempat dia memproduksi baju hasil desainnya jadi dia pun bersiap-siap untuk pergi bekerja.
"Mona ...! Ahmad ...!" panggil pak Andi dari arah meja makan, ketika melihat anak menantunya yang baru saja turun dari lantai atas, tempat kamar mereka berada.
" Iya pak," jawab Ahmad menghampiri dengan sapaan yang sama seperti yang biasa dia ucapkan kepada atasannya itu.
"Sudah berapa kali Ayah bilang, mulai sekarang kamu panggil saya Ayah. Sama seperti Mona memanggilku!" tukas pak Andi menimpali.
"Maaf Pak, eh Yah!" jawab Ahmad kaku.
Sesungguhnya, Ahmad merasa tidak enak jika memanggil Pak Andi dengan sebutan Ayah. Karena Ahmad begitu menghormati Pak Andi yang begitu berjasa dalam hidupnya itu.
"Sekarang ayo kita sarapan sama-sama, duduklah nak," kata pak Andi mengajak Ahmad untuk duduk di sampingnya.
"Baik Yah," ucap Ahmad kaku.
"Nah begitu, kamu kan sudah sejak lama sudah aku anggap sebagai anak sendiri!" Kata pak Andi seraya mengangguk sambil menepuk-nepuk bahu menantunya.
"Iya Yah!" jawab Ahmad mengangguk.
"Oh iya, kemana istrimu? Kok belum keluar kamar?" imbuhnya.
"Non Mona, eh maksud saya Mona masih siap-siap Yah," jawab Ahmad. Yang membuat pak Andi sedikit heran dan mengernyitkan alisnya.
Tak berapa lama orang yang di bicarakan pun muncul, dengan wajah datar. Pak Andi yang melihat kejadian itu pun masih memaklumi, karena pernikahan terpaksa mereka mungkin satu sama lain masih terasa kaku dan malu-malu.
"Mona, ayo nak kita sarapan sama-sama" ujar pak Andi kemudian 
"Iya Ayah,"ucap Mona duduk dan mengambil roti di hadapannya, lalu mengoleskan selai cokelat ke roti itu dan memulai sarapannya.
"Lho nak, suamimu tidak di ambilkan juga?" tanya pak Andi.
"Tidak usah pak, eh Yah. Saya bisa sendiri kok, Mona tidak perlu repot-repot!" jawab Ahmad santun.
Karena Ahmad merasa pernikahannya dengan Mona hanyalah pernikahan hitam di atas putih, maka Ahmad tidak berhak menuntut apapun dari Mona. Begitu juga dengan Mona yang tidak perlu melayaninya seperti layaknya suami istri yang normal pada umumnya, seperti mengambilkan makanan misalnya.
"Dasar penjilat!" gumam Mona acuh.
Mona merasa kesal pada Ahmad yang terlihat seperti mencari muka di hadapan Ayahnya. Entah kenapa, sejak Mona hamil dia begitu merasa kesal jika berada di hadapan Ahmad atau saat menatap wajah Ahmad.
"Nggak bisa gitu, sekarang kan dia istrimu. Jadi dia wajib melayanimu," kata pak Andi lagi.
"Tidak apa, Ayah!" jawab Ahmad.
"Oh iya, apa kalian tidak ada rencana Honeymoon?" tanya pak Andi.
"Uhuk-uhuk." Ahmad dan Mona tersedak secara bersamaan begitu mendengar kata honeymoon.
Pak Andi merasa terkejut, kenapa anak serta menantunya tersedak saat mendengar kata honeymoon.
"Apakah mereka merasa malu?" batin Pak Andi bermonolog.
Tanpa Pak Andi sadari, jika anak kesayangannya itu telah membuat kontrak perjanjian pernikahan dengan menantunya. Dan berencana untuk berpisah pada saat sang anak sudah melahirkan, karena menjalani pernikahan yang mendadak dan terpaksa itu.
"Ayah kenapa bicarakan tentang bulan madu sih, harusnya Ayah tahu kalau aku ini terpaksa menikahi Sopir pribadinya. Huh, mau di taruh mana mukaku kalau sampai ada yang tahu jika seorang Monalisa Permana menikah dengan seorang Sopir! Cih!" batin Mona menatap tajam ke arah Ahmad, dengan perasaan kesal.
Kemudian Mona terburu-buru menyelesaikan sarapan paginya, karena tidak mau mendengar pembahasan tentang honeymoon dari sang ayah tercintanya itu. Karena rasa egonya yang lagi-lagi mengalahkan perasaan lain, yang pernah menjalari hatinya.
"Yah, aku berangkat dulu ya. Sudah telat nih," ucapnya mencium tangan ayahnya dan beranjak dari tempat duduknya.
"Gimana dengan honeymoon nya nak?" tanya pak Andi lagi.
"Kapan-kapan saja, Ayah. Mona masih banyak kerjaan!" ucap Mona berlalu pergi.
Sementara Ahmad yang juga telah selesai dengan sarapan paginya pun segera berdiri, lalu Ahmad mengambil tas laptopnya dan berpamitan ke ayah mertuanya itu.
"Ayah, Ahmad berangkat juga ya! Takut telat!" kata Ahmad kemudian.
"Iya nak, hati-hati. Oh iya Ahmad, sekalian kamu antar Mona juga ya! Ayah khawatir, jika Mona bawa mobil sendiri!" tukas pak Andi.
"Baik Ayah, Ahmad berangkat ya!" ucapnya mencium takzim tangan mertuanya itu.
Ahmad pun segera menyusul Mona ke garasi, dan terlihat Mona yang sedang memanaskan mesin mobilnya.
"Ayo aku antar, pakai mobilku saja!" ujar Ahmad saat dia sudah berdiri di sebelah Mona.
"Nggak, aku mau berangkat sendiri!" tukas Mona ketus.
"Ayah minta aku anterin kamu!" tutur Ahmad menjelaskan.
"Huh, jadi karena Ayah yang menyuruhmu!" decak Mona berkacak pinggang.
"Iya, ini permintaan Ayah. Beliau khawatir, kalau kamu berangkat sendiri!" tukas Ahmad.
"Sebenarnya aku malu kalau diantar kamu, apa kata orang jika tahu aku nikah sama sopir?" ucap Mona angkuh.
"Aku pun sebenarnya malas mengantarmu, ini juga terpaksa karena permintaan Pak Andi!" keluh Ahmad menimpali.
"Ya sudah, jangan mengantarku. Aku juga bisa berangkat sendiri!" sungut Mona, dengan tangan terulur hendak membuka pintu mobilnya. Namun, segera di cegah oleh Ahmad.
"Jangan, kamu harus berangkat bersamaku. Nanti apa yang akan aku katakan pada ayahmu!" sahut Ahmad segera menutup kembali mobil Mona, dan menarik tangan Mona untuk menuju mobilnya.
"Kalau kamu malu, punya suami seorang sopir seperti aku. Jangan kasih tahu siapapun tentang hubungan kita ini, dan bila ada orang yang bertanya kamu di antar siapa. Katakan pada mereka, kamu di antar sopirmu. Orang juga nggak tahu kalau kita sudah menikah, karena pernikahan kita kemarin rahasia!" terang Ahmad.
"Baiklah!" jawab Mona.
"Satu lagi yang perlu kamu ingat, aku juga nggak mau punya istri macam kamu dan aku terpaksa menjalani ini semua bersamamu. Jadi jangan ge-er!" tukas Ahmad, 
Dengan kesal akhirnya Mona pun menurut untuk ikut satu mobil dengan Ahmad, beberapa lama kemudian mereka sampai di pabrik konveksi. Dari kejauhan ada beberapa pasang mata yang melihat ke arah mereka, terutama Gladis sekertaris Mona.
Dari kejauhan terlihat beberapa pasang mata pekerja wanita, juga Gladis menatap ke arah Mona dan Ahmad, mereka seperti penasaran dengan kehadiran Ahmad. Karena tak biasanya Mona datang bersama seorang pria.
***
Terimakasih sudah membaca, jangan lupa subscribe, like dan komen ya....

Comentário do Livro (262)

  • avatar
    ArifinMuhammad Ichsan

    👍good

    15h

      0
  • avatar
    NadhifiantoRaakan

    bagus novelah

    5d

      0
  • avatar
    MUTIARESKYMUTIARESKY

    bagus sekali

    6d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes