logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 3. Pisah Ranjang

Bab 3. Pisah Ranjang
"Tunggu ... Kenapa harus ke kamar mandiku sih, kenapa nggak di luar saja!" gerutu Mona kesal sembari menghempaskan bobot tubuhnya di ranjang.
Mona begitu kesal, kenapa harus si sopir yang jadi pengganti Brian kekasihnya. Dia juga bingung, kenapa tiba-tiba Brian tidak datang dan tak bisa dihubungi.
Dalam benak Mona berpikir, kenapa dia harus terjebak dalam pernikahan bodoh ini. Tapi dia sadar, jika ini semua karena ulahnya sendiri yang tak pandai menjaga diri hingga musibah ini terjadi. Kini, nasi sudah menjadi bubur. Dia harus menjalani pernikahan yang tak dia impikan, namun dalam lubuk hatinya yang terdalam, dia menyimpan sebuah rahasia yang hanya dirinya dan dua sahabatnya yang tahu akan rahasia itu.
Saat ini yang ada dalam pikirannya, bagaimana nanti seandainya Ahmad meminta haknya sebagai suami kepada dirinya, tapi itu tidak mungkin mengingat masa lalu Ahmad.
Tapi Ahmad pria normal, sedangkan Mona termasuk wanita yang cukup menarik bagi pria karena banyak yang tergila-gila dengan Mona dulu. Sebelum Mona menjatuhkan hatinya pada Brian, tapi ternyata Brian meninggalkannya seperti sekarang.
"Aku tidak siap jika harus sekamar dengannya malam ini. Bagaimana jika dia meminta nafkah batin padaku!" ucap Mona dengan raut wajah cemas.
Dengan perasaan tak menentu, tiba-tiba Mona terkejut saat tak berapa lama Ahmad keluar dari kamar mandi hanya menggunakan kaos oblong dan celana pendek, lalu mendekat ke ranjang Mona.
"Mau apa dia mendekatiku?" tanya Mona membatin.
"Heh, mau ngapain kamu? Ingat kontrak kita, jangan deket-deket!" tukas Mona dengan mata melotot, saat Ahmad mulai mendekat ke arahnya.
Ahmad mendekati Mona, semakin dekat sampai begitu dekat hingga wajah mereka saling berhadapan dan napas mereka pun saling terasa satu sama lain. Membuat Mona sedikit mundur dan takut, lalu ....
"Siapa juga yang mau deket-deket, ge-er. Aku cuma mau ambil bantal nona angkuh, aku juga nggak mau tidur dekat denganmu!" tukas Ahmad yang seketika membuat pipi Mona memerah karena merasa malu, karena sudah salah sangka kepada Ahmad.
Sesaat jarak Mona dan Ahmad sangat dekat, sempat Mona menahan nafas. Tak pernah dia dalam posisi sedekat itu dengan sopir pribadi ayahnya, yang kini telah sah menjadi suaminya.
Sesaat Mona berpikir, ternyata jika dilihat dari dekat Ahmad tak seburuk itu. Dia terlihat tampan dengan postur tubuh yang atletis, tiba-tiba Mona merasakan jantungnya sedikit berdebar seperti di masa lalu.
"Ah, bodoh!" bisik Mona memukul kepalanya sendiri, karena memikirkan ketampanan dan postur tubuh suaminya itu.
"Jangan sampai aku kehilangan akal sehatku karena terus memandangnya setiap malam!" batin Mona bermonolog.
"Kenapa?" tanya Ahmad bingung melihat tingkah Mona.
"Ah, nggak kenapa-kenapa. Udah tidur sana, jangan ganggu aku!" tukas Mona.
Ahmad menggelengkan kepalanya, karena heran dengan kelakuan Mona yang aneh.
"Siapa yang mau ganggu, kamu sendiri yang bertingkah aneh!" ucap Ahmad mengambil satu bantal yang ada di samping Mona, dan kemudian berjalan menuju sofa.
Setelah mengambil bantal, Ahmad pun mulai berbaring di sofa panjang di sudut kamar Mona. Dan mulai memejamkan mata, dia merasa lelah dengan pernikahan dadakan itu. Baru saja dia mulai akan terlelap, dia terganggu dengan suara yang berasal dari ponsel Mona.
"Apa yang dilakukannya sekarang, hari sudah malam kenapa masih menonton video? Apa dia sengaja membuatku terganggu, apa dia tidak tahu jika besok aku harus bekerja pagi-pagi? Dasar Nona egois!" batin Ahmad dengan perasaan mulai kesal pada Mona.
Mona yang saat itu tidak dapat memejamkan matanya, memang sedang sibuk dengan ponselnya. Menonton video lucu di aplikasi merah, untuk menghilangkan kegundahan hatinya. Meski usahanya sia-sia, tetap dia merasakan kepedihan, hingga menangis dalam diam.
"HEH, bisa kamu kecilkan suaranya? Aku mau tidur, besok aku harus bekerja!" tegas Ahmad dengan nada emosi dan menatap ke arah istrinya itu yang seketika membuat Mona terkejut, dan langsung menghapus jejak-jejak air matanya dengan cepat.
"Bawel, suka-suka aku. Ini kamarku, kalau nggak suka kamu boleh keluar. Silahkan, pintunya ada di sana!" ucap Mona bersungut-sungut dan menunjuk ke arah pintu dengan mata yang memerah.
Ahmad hanya diam dengan apa yang Mona ucapkan, karena Ahmad melihat mata Mona yang memerah. Dan Ahmad kembali membalikkan punggungnya membelakangi Mona.
"Kenapa dia kembali menangis lagi? Kenapa juga aku memikirkan dia, bukan urusanku!" batin Ahmad yang mencoba untuk memejamkan matanya.
Sementara itu, Mona yang telah memikirkan kembali perkataan Ahmad, akhirnya Mona mematikan ponselnya dan mulai mencoba untuk menutup mata. Meski malam itu Mona tidak bisa tidur dengan nyenyak, karena harus tidur satu kamar dengan pria yang tidak mencintainya, yang kini telah jadi suaminya.
Kemudian, setelah beberapa saat, tidak ada lagi suara dari ponsel Mona yang membuat Ahmad bisa memejamkan matanya, sembari berharap hari cepat berlalu dan pagi cepat datang.
"Bagus, akhirnya Nona egois mau mengerti dan mematikan ponselnya!" batin Ahmad yang merasa tenang dan mulai terlelap.
Sementara Mona masih belum dapat memejamkan matanya. Dia terus saja berubah-ubah posisi tidurnya. Miring ke kiri dan ke kanan tak tentu arah, sesekali Mona mengusap last wajahnya.
Dalam angannya menerawang, kemana perginya Brian, dan sedang apa dia, apa dia juga sedang memikirkan Mona. Kenapa dia begitu tega meninggalkannya sendiri dengan kondisi mengandung buah hati mereka, bagaimana Mona bisa menjalani kehidupannya tanpa Brian.
Padahal selama ini Brian selalu ada untuknya, dan selalu memanjakannya. Kini Mona jadi ragu akan ketulusan cinta Brian yang dulu sering ia dengar, apa itu hanyalah kepalsuan semata.
"Harusnya dulu aku tidak pernah dekat dengan Brian, harusnya aku tidak mengenalnya. Aku tidak tahu, jika semuanya akan jadi seperti ini pada akhirnya. Harusnya aku dengarkan nasehat Lala dan juga Jenny tentang Brian di masa lalu, yang katanya seorang playboy. Harusnya aku tetap sabar menunggu, dan menurunkan egoku sendiri hingga aku bisa mendapatkannya. Dan bukan malah melabuhkan hati pada orang yang salah, kini aku harus menerima takdirku karena ditinggal pergi oleh Brian yang tidak mau bertanggung jawab!" batin Mona bermonolog dengan air mata yang berderai membasahi pipinya.
Lagi, Mona menangis dalam diam. Meratapi nasib dan sifat bodohnya karena salah melabuhkan hati.
Kini, Mona hanya berharap jika suatu hari nanti dia akan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya dan juga cinta yang tulus untuknya.
**
Sehari sebelumnya, di apartemen Brian.
"Si*l, kenapa si Mona bisa hamil sih!" ucap Brian gusar sebari meremas kasar rambutnya.
"Aku belum siap jadi ayah, kenapa juga aku harus menikahi dia?" imbuhnya lagi.
"Sayang!"
***

Comentário do Livro (262)

  • avatar
    ArifinMuhammad Ichsan

    👍good

    20h

      0
  • avatar
    NadhifiantoRaakan

    bagus novelah

    5d

      0
  • avatar
    MUTIARESKYMUTIARESKY

    bagus sekali

    6d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes