logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

2. Capek, mau nikah aja.

"Ghey? Semalam lo ngepet sampai jam berapa sih? Sampai tuh mata udah punya kantung sebesar kapal pesiar?" tanya Sasha yang terkesan sangat lebay.
Dia adalah sahabat Ghea yang paling cerewet, sikapnya memang kekanak-kanakan dan manja, tapi dialah yang menurutnya paling pengertian.
"Sha, kelas dimulai berapa menit lagi?"
Sasha melirik jam tangan bewarna biru langit miliknya. "Umm, 30 menit," jawabnya.
"Oh, okey," jawab Ghea, lalu gadis itu melangkah keluar dari ruangan untuk sarapan di kantin.
"Gheyy! Mau ke mana? Ikuttt!" teriak Sasha sembari memeluk sebelah lengan Ghea. Gadis itu berceloteh banyak hal, entah bercerita tentang biasnya atau menceritakan gebetannya yang tak kunjung mengajaknya jadian.
"Ngikut aja terus udah kek sempak aja lo," celetuk Ghea sembarangan.
"Hehehehe, gue gabut di kelas sendirian. Lo mau ke kantin? Etdah, kek orang gak pernah dikasih makan aja sih."
"Emang."
Sasha yang mengerti pun, langsung menepuk-nepuk punggung Ghea dengan dramatis. "Bawang putih yang sabar ya, semua akan indah pada waktunya."
"Waktunya kapan?"
"Nunggu, pangeran menjemput lo keluar dari rumah," jawabnya sembari tertawa. Mau tak mau Ghea pun ikut tertawa, walaupun sableng. Sasha memang selalu menjadi penghiburnya.
Setelah menemukan tempat duduk, mereka berdua langsung membuka ponselnya masing-masing.
"Eh eh, Gheyy! Kenapa lo gak nikah aja? Dengan begitu, lo gak akan jadi babu lagi!" usul Sasha heboh, gadis itu menarik turunkan alisnya menunggu respon dari Ghea.
"Woahh! Ide bagus! Tapi, gue gak ada calon suami, gimana dong? Eh, Sha! Keknya nikah itu enak ya!" jawab Ghea tak kalah heboh. Seperti drama yang senang Ghea tonton, sepertinya menikah itu menyenangkan
Pasti, jika dirinya mempunyai suami, ia akan keluar dari rumahnya, lalu akan ada yang mencukupi kebutuhannya, meskipun selama ini transferan dari papanya selalu lebih dari cukup.
Eitss, tapi ... akan cepat ludes, karena uangnya selalu diminta oleh Rere yang tidak pernah merasa cukup, dengan berkedok.  'Ntar gue ganti.'
Halah, bullshit.
"Ya, cari dulu lah, tenang aja, lo gudluking kok," jawab Sasha sembari mengangkat tinggi jempolnya.
"Sha, kalau cari cowok, tipe lo kek gimana?" tanya Ghea. Nampaknya gadis itu menerima mentah-mentah, usulan ngawur dari sahabatnya.
"Oh, tentu saja yang ganteng, supaya menghasilkan bibit unggul, terus yang udah mapan dan kaya, kerena semua perlu uang bukan hanya cinta, terus setia dan pekerja keras!" jawabnya bersemangat. Gadis berkacamata bulat itu senyum-senyum sendiri ketika membayangkannya.
Ghea mengangguk beberapa kali, lalu menyangga kepalanya dengan kedua tangannya sembari menatap Sasha. "Iya sih, Sha, kek CEO CEO ganteng yang ada di film itu ya?
"Hu'um. Lo harus pintar pilih suami, Ghey! Ingat, jangan mau kalau diajak hidup susah, kerena hanya pria pemalas yang mau mengajak wanitanya susah. Dari kecil, lo udah hidup serba berkecukupan, kerena kerja keras papa lo, jadi jangan mau dimodusin!" jelas Sasha, gadis manja itu sudah seperti seorang motivator sekarang.
Mendengar itu, Ghea menatap Sasha dengan pandangan haru. "Ayok, Sha! Cari suami terus nikah, jadi kita sama-sama jadi istri orang nantinya!"
"Ampun, lo ngajak nikah bareng, kek ngajak beli bakso aja. Ehehe, tapi oke lah, gue lagi berjuang dapetin hatinya dia, rekan bisnis kakak gue, ganteng tau, hihi!"
"Sip deh!"
Mereka mengobrol sampai Ghea yang niatnya akan sarapan tidak jadi. Aneh memang, kedua gadis berusia dua puluh satu tahun itu, membicarakan perihal nikah seperti tengah menggosipkan tetangga.
Mereka tidak tau, betapa sulitnya lika-liku dan sebuah hubungan bernamakan pernikahan.
***
"Ghey, gue duluan byee!" teriak Sasha sembari memberikan kecupan jauh.
"Lebay," ucap Ghea.
Sebelum hari bertambah sore, gadis berambut panjang itu buru-buru mengambil motornya.
"Misi, minggir! Gue mau ambil motor, dan jangan dudukin motor gue lagi, nanti standar motornya cepat rusak!" ucap Ghea datar.
"Gheby, balikan yuuu!" ucap cowok berwajah tampan yang dulu pernah menemani hari-harinya.
"Maap, gue gak denger, lagi budeg!" jawab Ghea malas, selalu saja mengganggunya.
"By, kuy kencan!" serunya lagi, meskipun sudah berkali-kali Ghea menolaknya dengan mentah-mentah.
"Gue bukan babi!"
"Tapi babu," lanjutnya dalam hati, gadis itu melipat tangannya di depan dada. Ia sudah sangat jengah dengan kelakuan Reza yang terus mengajaknya balikan, padahal dia sendiri yang dulu mengkhianatinya.
Bilangnya akan setia, tslk6 berselingkuh dengan Rere di belakangnya.
Masa-masa SMA paling membagongkan saat itu.
"Gheby, papa gue baru kasih gue uang, nikah kuy!" ajak Reza dengan senyum manis, membuat Ghea mencibirnya dalam hati.
Dia pasti mendengar obrolannya dengan Sasha.
Ia memang ingin menikah. Namun, bukan dengan Reza, cowok itu sudah Ghea blacklist dari daftar calon suami idamannya.
Bukan karena dirinya membencinya, hanya saja, dirinya sudah terlanjur jengah dan muak.
"Nikah aja sama belut, ajak dia jadi istri lo dari pada di rumah cuma luntang lantung doang!" Ghea menarik Reza dari motornya, lalu segera menjalankan motornya.
"Ghebyy! Lop you!" seru Reza yang masih dapat Ghea dengar.
"Lop you gigi lo ompong," gumam Ghea yang diselingi dengan dengusan geli.
Sesuai pesanan Rere, sebelum pulang, Ghea mampir dahulu ke minimarket, karena tempatnya satu arah dengan jalan pulangnya.
Gadis itu hanya mengambil pembalut untuk Rere dan soda kaleng untuk dirinya sendiri.
"Lima belas ribu," ucap sang kasir dengan senyum ramah.
Ghea mengangguk, lalu membuka tasnya untuk mengambil dompet. Seketika raut wajahnya menegang.
Hilang?
Dompetnya hilang?
Mana mungkin? Namun, setelah ia ingat-ingat lagi, seharian ini dirinya belum mengeluarkan dompetnya, karena semua yang Ghea beli, di bayarkan oleh Sasha.
Kalau tidak jatuh ya, ketinggalan.
Mampus, gimana ini.
"Sekalian sama dia," ucap seorang laki-laki berjas hitam yang tiba-tiba di sampingnya.
Ghea terlalu malu, untuk menganggapnya pahlawan. Haduh, beli pembalut doang gak ada duit, malah dibayarin cowok sih.
Andai Rere tidak minta, mungkin dirinya tidak akan mengalami hal memalukan seperti ini.
Ia tidak mau lagi-lagi.
"Om, makasih, anuuu, hmmm." Suara Ghea menjadi tergagap dan bingung memilah kata-kata.
Pria tadi hanya menaikkan sebelah alisnya, lalu memberikan plastik belanjaan Ghea kepada gadis itu. "Hah?"
"Dompetnya ketinggalan, kalau om ikhlas, Ghea gamau ganti uangnya, tapi kalau gak ikhlas, bilang aja, besok janji Ghea akan ganti!" ucapnya dengan senyuman yang ia buat-buat.
Biar terlihat imut, gitu loh.
"Om? Saya tidak setua itu! Dan, saya tidak semiskin itu," ucapnya sebelum berlalu pergi.
"Jadi Om kaya?" tanya Ghea yang tidak digubris.
"Ganteng, seperti calon suami yang diidam-idamkan oleh wanita," gumam Ghea dengan senyum tengil.
"OM OM! KALAU KITA KETEMU LAGI, GHEA ANGGAP OM ENGGAK IKHLAS!" teriak Ghea.
"Terserah."

Comentário do Livro (34)

  • avatar
    SyahputraWijaya Mauludi

    good

    16/08

      0
  • avatar
    Cahya Ani

    Bagus banget

    07/08

      0
  • avatar
    RiantoRian

    bagu bagus dan bagus pokonya

    24/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes