logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

GHEARION

GHEARION

sapiiraa


1. Cinderella?

"GHEAAA!"
Teriakan membahana itu, selalu dirinya dengar, saat berada di dalam rumahnya yang bagai neraka.
Tidak pagi, siang, sore, malam. Sampai Ghea benar-benar bosan.
Gadis dengan piyama bewarna pink itu, menuruni tangga dengan rambut mengembang bak singa, dan wajah kusut akibat masih mengantuk.
"Dasar, gak tau diri! Hey, kamu itu anak gadis, tapi jam segini baru bangun!" sentak wanita bercat rambut merah dengan senyum sinis.
Mirip nenek lampir, harusnya rambutnya sudah memutih karena beruban. Dasar, sudah tua. Namun, tidak terima.
"Aduh, kanjeng mami! Situ yang bangunnya kepagian! Lagian, Ghea semalam begadang ngerjain tugas kuliah!" jawab Ghea dengan malas.
"Ya itu, resiko kamu! gam6 ada alasan, cepat bersih-bersih rumah dan buat sarapan buat saya dan Rere!" ucapnya dengan angkuh.
"Apa? gak terima! Jadi anak yang berguna dikit dong! Jangan cuma jadi beban doang!" bentaknya tanpa rasa malu, wanita keriput itu balik menatap tajam Ghea.
Sudah tidak heran lagi, kalimat itu selalu menjadi menyambut paginya, mentari saja belum menampakkan sinarnya Namun, berbagai bacotan sudah Ghea dengar.
"Haduh. Situ punya masalah hidup apa sih? Jadi orang kok gak pernah sadar diri! Bukannya yang beban itu situ dan anaknya?" Sindir Ghea sembari mulai mencuci beras dengan sedikit kesal.
Ghea saja heran, ini adalah rumahnya dan dia hanya ibu tirinya yang empat tahun lalu, menikah dengan papanya.
Setelah sekian lama menduda, papanya menikahi seorang janda dengan satu anak yang seumuran dengan Ghea.
Ia ikhlas, asalkan papanya bahagia, meskipun setiap harinya selalu mendapatkan perlakuan tidak mengenakan dari ibu dan saudara tirinya
Setidaknya, mereka tidak pernah menyakiti fisiknya.
Mereka hanya menumpang di rumahnya, tetapi Ghea yang selalu menjadi babu untuk mereka.
Gimana? Sudah seperti Cinderella belum?
"Diam kamu, ngelawan aja jadi anak," ucapnya dengan ketus.
"Kan Ghea bukan anaknya situ, Ghea cuma anaknya papahanda Marco dan ibunda Hannah. Terlahir dengan wajah cantik dari pasangan Marconah!" jawab Ghea dengan wajah songongnya.
"Jangan sebut-sebut couple Marconah lagi!" bentaknya marah.
"Lah, ngatur."
"Cepat selesaikan masaknya, setelah itu bersihin rumah!"
Ghea memutar bola matanya malas. "Kanjeng mami, udah tua kok gak bisa masak dan bersih-bersih sih? Bisanya cuma nyuruh doang. Pasti dulunya pernah jadi mandor, ya?"
"Nanti tangan saya jadi kasar, iuh," jawabnya. Rasanya, Ghea seperti akan tertawa mendengarnya.
Sudah keriput juga.
"Apaan sih, masih pagi kok ribut-ribut kebiasaan banget!" ucap Rere yang baru saja bangun. Dia adalah saudara tiri, anak kesayangan Mak lampir.
"Sayang, masih jam segini kok udah bangun? Kamu tadi malam begadang, 'Kan?" tanya Mak lampir sembari mencium berulang-ulang pipi Rere.
Apa-apaan wanita ini, tadi saja bilang kepadanya, jam segini baru bangun.
"Duh, parah-parah. Anak gadis jam segini kok baru bangun?" sindir Ghea. Gadis itu masih bergulat dengan alat-alat dapurnya.
Mak lampir, menatap tajam punggung  Ghea. Meskipun Ghea tidak bisa melihatnya.
"Ngapain gue bangun pagi, kan di sini udah ada babunya," kata Rere dengan senyum miring.
Nanti, ia akan membeli kostum maid juga, biar seperti babu sungguhan.
Ghea mencibirnya dalam hati. Dasar, sok iya sekali gadis itu, sok sibuk padahal kerjaannya hanya berdiam diri di rumah atau menghabiskan uang tanpa melakukan kegiatan yang berfaedah.
Bahkan, gadis itu tidak melanjutkan kuliah, karena malas berpikir.
"Udah belum sih, lama banget!" sentak Mak Lampir yang bernama Rita.
Bagaimana akan cepat selesai, sedari tadi saja. Mereka selalu berbicara menyebalkan. Salah sendiri, ada orang masak kok ditungguin.
"Kanjeng mami, Bamer, mending sebelum makan mandi dulu, nanti makanan enaknya jadi gak enak karena bau jigong," saran Ghea dengan senyuman sinis.
Bamer adalah sebutan untuk Rere, karena baginya, gadis itu adalah seorang bawang merah dihidupnya.
"Males ah," jawab Rere sembari membuka ponselnya. Selain pemalas, gadis itu juga sulit jika di suruh mandi. Biasanya mandi jika akan berpergian saja.
Ghea melepaskan celemeknya, lalu menghidangkan dua piring nasi goreng di mini bar.
Setelah mereka berdua makan, gadis itu mulai menuju ke tempat penyimpanan alat-alat kebersihan. Sesekali Ghea menguap akibat masih merasakan kantuk.
"GHEAAAA!"
Kali ini yang berteriak Rere, dengan tergopoh-gopoh Ghea berlari ke dapur. Suara Rere terdengar sangat histeris.
"Apa lagi, sih!" ucapnya kesal, gadis itu menatap dua ibu beranak itu dengan datar, pasalnya mereka saling berpelukan sembari berdiri di atas kursi.
"Ada kucing! Aduhh, cepat bawa pergi,  dasar. Kucing siapa sih, menjijikkan banget, gue sembelih tau rasa lo!" pekik Rere dengan kencang.
Ghea menatap tajam ke arah Rere. "Lo yang bakal gue sembelih duluan!"
"Ghea!"
Tanpa mempedulikan Mak lampir, Ghea tersenyum lebar ke arah kucing kecil berbulu abu-abu, sangat lucu dan imut. Mungkin, mata mereka sedang mengalami gangguan karena menganggap kucing menjijikkan, lihatlah betapa manisnya kucing kecil ini.
Seekor kucing kampung yang hanya mencari makan, sayang sekali. Jika saja, Mak lampir tidak alergi, mungkin Ghea akan mengadopsinya.
"Yaampun manis banget," gumam Ghea, gadis itu memeluk kucingnya dan mengusap kepalanya dengan lembut.
"BUANG ATAU SAYA ADUKAN KE PAPA KAMU!" bentak Mak lampir tidak main-main.
Wanita keriput itu menyiram kucing lucu ini, membuat kucingnya panik, dan saat Ghea menyentuhnya, kucing itu langsung mencakar tangannya.
"Terserah! Aduin aja, gue juga bisa ngadu kok!" balas Ghea dengan sedikit membentak.
"Gue mau berangkat kuliah, jangan berantakin rumah! Atau wajah kalian yang akan gue buat berantakan! Biar tambah jelek!" Ghea langsung berlari menaiki tangga untuk ke kamarnya. Meskipun teriakan marah Mak lampir dan Rere belum kunjung reda.
Ghea berbicara seperti bukan asal berbicara, karena waktu itu rumah pernah menjadi seperti kapal pecah saat dirinya tengah pergi.
Ulah Rere yang mengajak teman-temannya berpesta di dalam rumahnya.
Semua itu, Ghea yang membersihkannya, sedangkan Rere, membuang satu sampah plastik ke tempatnya saja tidak.
"Sialan!"
Gadis itu sudah siap, wajahnya kembali kesal saat melihat piring kotor di dapur, apakah sangat sulit bagi mereka untuk mencuci piring bekas makannya?
Alhasil, Ghea melipat kemejanya ke atas, lalu mencuci piring terlebih dahulu sebelum berangkat. Rasanya tidak enak saja, meninggalkan piring kotor seperti itu.
"Woy, babu. Pulangnya gue nitip soptek yang malam! Jangan lupa!" seru Rere yang tengah berleha-leha di depan TV.
"Tinggal beli di warung apa susahnya sih?"
"Mager," jawabnya.
Ghea berdecih, lalu segera keluar dari rumahnya, mengambil motor matic kesayangannya, lalu segera menarik gas untuk menuju kampus.
"Rasanya sangat sejuk di luar rumah, berbeda dengan di dalam rumahnya yang sekarang. Terasa panas meskipun AC ada di setiap sudut ruangan.
Ia berharap papanya segera pulang, agar mereka pura-pura berakting baik dan tidak menjadikan dirinya babu lagi.

Comentário do Livro (34)

  • avatar
    SyahputraWijaya Mauludi

    good

    16/08

      0
  • avatar
    Cahya Ani

    Bagus banget

    07/08

      0
  • avatar
    RiantoRian

    bagu bagus dan bagus pokonya

    24/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes