logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

bab 2. kenyataan pahit siapa perempuan itu

Luna berniat malam ini tidak akan pulang ke rumah. Rasa sakit telah dibohongi oleh sang suaminya membuatnya enggan kembali ke rumah yang selama ini telah dia tempati.
"Aku tidur di rumah mu ya?" ucap Luna pada Oliv.
"Lah, kamu tidak pulang?" tanya Oliv heran. Bukannya tidak mau Luna tidur di rumahnya, tetapi dia merasa Luna perlu menyelesaikan masalah pribadinya dengan sang suami.
"Aku malas pulang," jawab Luna.
"Lun, bukannya tidak mau ya, tapi kamu selesaikan dulu masalah kamu."
"Please!"
"Tapi?"
"Ya, Oliv?" ucap Luna sambil menangkupkan kedua tangan.
"Baiklah," jawab Oliv.
Setelah itu keduanya masuk ke dalam rumah, tak lupa Luna mengaktifkan data selulernya setelah hampir seharian dia matikan.
Rentetan panggilan tak terjawab juga pesan yang mulai masuk dari Arka membuatnya seolah tidak percaya.
Selama ini belum pernah Arka menghubunginya dulu, belum pernah dia berkirim pesan sebanyak ini.
Arka yang cuek dan bersikap dingin, kalau tidak dihubungi dia tidak akan menghubungi dulu.
"Ada apa, Lun?" tanya Oliv.
"Nggak apa-apa. Aku capek, pengen langsung tidur saja," jawab Luna.
Belum juga langkahnya sampai di depan pintu kamar, Luna sudah dipanggil ibunya Oliv dan mengatakan kalau suaminya tadi datang kesini untuk mencarinya.
Luna sebelumnya enggan untuk pulang ke rumah tetapi karena dipaksa oleh ibunya Oliv, dia menjadi tak enak untuk menginap di rumah sahabatnya itu.
🔥🔥🔥
"Darimana saja?" tanya Arka dengan nada dingin saat mengetahui istrinya masuk ke dalam rumah. Posisi Arka saat itu tengah duduk di sofa sembari menunggu kepulangan istrinya.
Dia bersikap seperti itu agar tidak ketahuan kalau sedari tadi dia mencemaskan keadaan Luna.
"Rumah teman," jawab Luna cuek. Setelahnya dia beranjak menuju ke kamarnya.
"Aku belum selesai bicara, tidak pantas seorang istri langsung pergi begitu saja saat suaminya belum menyelesaikan ucapan," ujar Arka dan berhasil membuat langkah Luna terhenti.
Seketika wanita itu menoleh ke arah Arka dan menghujam dengan tatapan tajamnya.
"Kamu menganggapku istri?" tanya Luna memastikan.
"Lha memang apa?"
Luna tak menjawab, dilangkahkan kaki nya menuju ke kamar sedangkan Arka mengikuti langkah istrinya dari belakang.
Luna langsung menuju ke ranjang dan menutup tubuhnya dengan selimut berwarna putih. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya.
Arka yang melihat kelakuan istrinya hanya bisa menghela napas panjang. Ada rasa sesak, dia memang salah.
"Lun," ucap Arka sembari memegang pundak istrinya dari samping.
Luna diam saja, enggan menanggapi panggilan dari sang suami. Mengingat kejadian tadi siang membuat hatinya sakit.
"Aku bisa jelasin, tolong, kamu buka mata kamu," ucap Arka.
Luna masih diam dan itu membuat Arka semakin tak bisa menahan emosi.
"Dengar Lun. Wanita yang ku temui tadi siang adalah wanita yang selama ini masih ku cintai."
Ucapan Arka membuat hati Luna semakin sakit. Dia beranjak dari tidurnya dan menatap sang suami dengan lekat.
"Lalu apa artinya aku dalam hidup mu, Mas? Apa artinya kalau kamu masih menyimpan nama wanita lain di hatimu?" tanya Luna. Ada bulir bening yang hampir jatuh tetapi dengan sekuat tenaga dia tahan, jangan sampai dia terlihat lemah dihadapan suaminya.
"Tidak ada."
"Lalu kenapa kamu menikahiku kalau aku tidak ada artinya di hidupmu?" tanya Luna lagi.
"Aku terpaksa, semua itu karena ibuku yang sangat menyukai kamu," jawab Arka.
"Semua karena ibumu kamu mengorbankan perasaan wanita lain? Hebat kamu ya," ucap Luna. Bulir bening pun jatuh dari kedua sudut matanya.
"Iya, dan ku harap kamu paham akan semua ini," ucap Arka.
Hati Luna benar-benar teriris dengan ucapan Arka.
"Ceraikan aku," ucap Luna.
"Tidak."
"Kenapa? Bukannya kamu mencintai wanita itu, bukan aku?"
"Aku tidak mau Ibu sakit," jawab Arka.
"Kamu egois!" Bentak Luna.
Arka diam saja, lalu setelahnya dia beranjak menuju ranjang samping tempat dimana dia tidur, lalu merebahkan tubuhnya begitu saja dan membiarkan Luna menangis sendiri.
Pagi itu Arka melihat istrinya sudah rapi dan berdandan sangat menarik, tidak seperti biasanya.
"Mau kemana?" tanya Arka yang mendadak ingin tahu agenda sang istri hari ini, walau pertanyaan yang dilontarkan itu masih dengan nada dingin.
Luna yang ditanya hanya diam saja, dia masih enggan untuk sekedar berbicara dengan suaminya. Rasa sakit itu masih terasa sangat membekas di hati.
Hati wanita mana yang tidak sakit ketika pernikahan yang sudah dijalani dengan cinta tetapi cintanya bertepuk sebelah tangan.
"Aku bertanya dan kamu harus menjawab, kamu mau kemana?" ucap Arka dengan nada tinggi karena merasa tak terima pertanyaannya tidak ada jawaban, apalagi Luna sama sekali tak menanggapinya, melihat Arka pun juga tidak.
Luna menoleh melihat suaminya dari atas sampai bawah lalu setelah itu dia menyunggingkan senyum tipis.
"Bukan urusan mu," jawab Luna cuek.
"Aku suamimu!" Bentak Arka.
Bukannya takut, Luna yang mendengar suaminya berkata seperti itu tertawa kecil.
"Kamu memang suamiku, tetapi itu ketika di depan Ibu. Selebihnya kita hanya orang lain," jawab Luna.
Setelah pengakuan tadi malam yang mengatakan kalau pernikahan yang ia jalani karena permintaan ibunya membuat hati luna mulai mengeras.
Sakit yang suaminya torehkan membuat dia melakukan semua ini. Mungkin dengan bersikap cuek bisa membuat hatinya lebih baik. Ia ingin suaminya merasakan apa yang sudah ia rasakan.
Setelah Luna mengatakan itu, lalu ia melangkah keluar dan membiarkan Arka terbengong sendiri di dalam kamar.
Pagi ini Luna sengaja tidak menyiapkan sarapan untuk suaminya. Biasanya ia akan menemani sang suami sarapan. Arka sangat suka masakan Luna, walaupun ada asisten rumah tangga tetapi untuk urusan perut Arka selalu meminta Luna yang mengolahnya.
Arka pernah berkata kalau masakan Luna sangat cocok di lidahnya.
***
Luna akan pergi ke rumah Ibu lalu setelahnya dia akan ke yayasan tanpa pamit pada suaminya.
Luna tahu ini salah, tetapi seperti apa yang dikatakan Arka tadi malam, dia menikahi Luna hanya sebatas permintaan dari ibunya saja. Hati dan juga jiwanya sudah ada nama wanita lain yang sulit tergantikan.
Ketika mengingat itu, hati Luna terasa sangat sesak. Dia ingin sekali mengakhiri hubungan ini tetapi bagaimana dengan Ibu mertuanya? Ibu mertua yang sudah menganggapnya seperti anak sendiri.
Kalau ia nekat berpisah dengan Arka maka penyakit jantung yang didera Ibu mertuanya akan kambuh, Luna tidak ingin hal itu terjadi.
***
"Kenapa jadi seperti ini?" ucap Arka pada dirinya sendiri di depan cermin.
Ia merasa sangat geram dengan apa yang sudah dilakukan istrinya. Dia tidak terima dengan ucapan Luna.
Hatinya sedang tidak baik-baik sekarang. Melihat arloji di tangannya membuat Arka bergegas ke luar untuk sarapan lalu berangkat kerja.
Tak ada apapun di meja makan. Lagi dan lagi, hal itu membuat Arka murka.
"Luna!" teriak Arka.
Tidak ada sahutan dari sang istri. Arka mencarinya sampai ke depan. Tidak ada siapa-siapa. Sepertinya Luna sudah pergi, batin Arka.
Setelah itu ia beranjak ke dapur, di sana ada Bik Nah, asistennya.
"Kopi, Pak?" tawar Bik Nah.
"Tahu kemana pergi nya Ibu?" tanya Arka.
"Tidak, Pak. Ibu tidak bilang apa-apa."
"Ibu tidak masak?"
Asistennya itu menggeleng keras. Setelah itu Arka pergi ke kamar dengan wajah penuh kesal. Pagi ini semua kacau gegara Luna. Tidak ada sarapan, sikap cuek yang Luna tunjukkan, semua itu membuat Arka benar-benar diluputi rasa marah.
Ia hendak menelpon istrinya tetapi ia urungkan. Gengsi? Jelas.
***
Di dalam mobil Luna menelfon seseorang dan mengajak untuk bertemu perihal pekerjaan. Iya, Luna memantapkan diri untuk menjadi wanita karir kembali seperti awal dulu sebelum dia menikah dengan Arka.
Dengan bekerja hatinya akan jauh lebih baik karena pikirannya bisa teralihkan.
Sebenarnya dia ingin pergi ke rumah Ibu, tetapi niat itu dia urungkan. Pergi ke rumah orang tua yang ada akan menimbulkan prasangka karena tidak bersama suami.
Sedangkan Luna sendiri setiap kali pergi ke rumah ibunya sendiri atau mertua, dia selalu bersama Arka.
Bulir bening itu jatuh begitu saja di pelupuk mata nya. Sekuat hati dia tahan agar tidak menangis tetapi sangat sulit.
Rasa sakit itu begitu menjalar di hatinya.
"Ok Luna, ini harus jadi tangisan untuk yang terkahir kali. Lo, harus jadi wanita kuat, lelaki bukan cuma Arka saja," ucap Luna pada dirinya sendiri.
Alunan musik melow itu menemani pagi Luna yang diselimuti mendung.
Setelah itu dia menepikan mobilnya di sebuah tempat, tak lama kemudian ia turun.
Taman kota adalah tempat tujuannya. Selama menunggu waktu untuk bertemu seseorang, Luna ingin menghabiskan waktu di taman ini.
Ia mengabaikan rasa perih di perut karena tadi belum sempat sarapan. Magh akut yang dideranya tidak memperbolehkan Luna telat makan.
Tetapi yang namanya hati sedang tidak baik-baik saja, hati yang penuh luka, jangankan untuk makan, untuk tidur saja mata sulit dipejamkan.
Luna tidak ada nafsu makan sedikitpun. Baginya, rasa perih di perut tidak sebanding rasa sakit di hati.
Arka memang memberikan harta, memberikan nafkah lahir yang sangat mencukupi, tetapi semua itu tidak cukup bagi Luna.
Ia butuh dicintai, ia butuh disayangi. Tetapi ia sadar, hati tidak bisa dipaksakan. Ia tidak bisa memaksa Arka untuk mencintainya. Hati Arka bukan untuknya.
***
HP Arka bergetar menandakan ada panggilan masuk.
"Hallo..."
"Iya, dimana?" tanya Arka saat orang yang menelponnya mengajak bertemu.
"Taman kota? Baiklah, aku segera kesana," ucap Arka, setelah itu dia mematikan panggilan.
Arka segera beranjak menuju taman kota. Tempat yang saat ini Luna berada.
Siapakah orang yang menelponnya tadi? Apakah Arka akan bertemu Luna?
Lalu bagaimana kisah mereka?
Tunggu di bab selanjutnya🙏

Comentário do Livro (643)

  • avatar
    Wicaksono

    👍 mungkin bisa jd saran

    16m

      0
  • avatar
    fakotbbiibb

    cerita nya banyak plotwis nya

    16h

      0
  • avatar
    PoyoPak

    bagus banget

    1d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes