logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 7

Hari ini adalah hari pertama Sinta bekerja di perusahaan. Setiap hari dia selalu bekerja dengan sungguh-sungguh dan tekun. Ketekunannya ini membuat Rangga merasa salut kepadanya dan sering memujinya.
Rama yang melihat hal itu menjadi cemburu, ia merasa sedih dan putus asa seakan Rangga sudah tidak membutuhkannya lagi.
Malam hari, Sinta menghampiri Rama yang sedang duduk sambil bekerja menatap layar komputer di ruang keluarga.
Sinta menepuk bahu Rama.
"Hai, apakah kau sibuk?" Rama menatap Sinta dan tersenyum.
"Tidak. Sebentar lagi aku selesai mengerjakan ini dan akan istirahat."
"Oh, kalau kau tidak keberatan apa aku boleh minta tolong padamu? Bisakah kau menjelaskan materi ini? Aku belum mengerti tentang masalah ini," ujar Sinta sambil menunjukkan sebuah berkas pada Rama. Rama membaca dokumen tersebut dan tersenyum.
"Kau bisa membantu ku kan?" pinta Sinta penuh harap.
Rama berdiri. Ia memegang bahu Sinta.
"Sinta kau sudah dewasa. Lagipula kau juga cerdas. Aku yakin kau bisa menyelesaikan masalahmu sendiri," jawab Rama tidak peduli pada Sinta.
"Tapi?"
"Dengar, hari ini aku lelah sekali. Dan aku ingin tidur, okay? Aku pergi dulu. Selamat malam." Rama pergi meninggalkan Sinta.
Sinta hanya diam dan menunduk. Ia kecewa karena Rama bersikap dingin dan meninggalkannya saat ia membutuhkannya. Sinta pun terpaksa mempelajari materi yang ada di dokumen tersebut sendirian.
Keesokan paginya, Sinta pergi menemui Rama saat istirahat, untuk mengajakku mengobrol bersama.
Beberapa menit kemudian, setelah mencari Rama di setiap ruangan, Sinta belum juga menemukannya. Hingga akhirnya, ia melihat Rama sedang berbicara dengan temannya di halaman belakang.
"Ya Akbar, nanti malam aku pasti akan datang. Kau tenang saja," kata Rama pada Akbar.
"Baik-baik, ngomong-ngomong Sinta datang," ujar Akbar yang melihat Sinta.
Sinta menghampiri Rama dan Akbar.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumusalam."
"Emm apa aku boleh berbicara dengan mu Rama?" pinta Sinta pada Rama. Akbar tersenyum.
"Tentu saja, kau istrinya bukan? Kau juga berhak berbicara dengannya. Aku pergi dulu. Dah!" pamit Akbar lalu pergi.
Rama menatap malas Sinta.
"Ada apa?"
"Rama aku ingin bertanya padamu. Apa kau marah padaku?" tanya Sinta. Rama tersenyum menggeleng.
"Tidak."
"Sinta, aku kemarin hanya kelelahan, tidak lebih dari itu. Maaf kalau aku membuatmu sedih," ucap Rama.
"Tidak, aku yang harus minta maaf, aku yang salah karena mengganggumu. Maaf kan aku."
"Tidak masalah. Sekarang kembalilah bekerja. Aku juga masih ada banyak pekerjaan," ujar Rama. Sinta kecewa mendengar perkataan Rama dan mengeluh. "Rama, kenapa saat aku ingin berbicara padamu seperti biasa sambil duduk bersama kau justru selalu berusaha menghindar?" tanya Sinta.
"Apa maksudmu?"
"Kemarin malam kau meninggalkanku karena ingin tidur dan sekarang kau malah menyuruhku kembali bekerja. Sekarang ini baru pukul sepuluh dan masih istirahat. Lalu kenapa kau tidak ingin berbicara denganku dan menghindari dengan berbagai alasan? Sebenarnya apa yang terjadi, Rama?" tanya Sinta. Rama menatap tajam Sinta.
"Sinta, aku tidak tahu apa yang terjadi dan aku juga tidak ingin bertengkar," ujar Rama. Sinta memutar matanya dan mengembuskan napasnya.
"Aku tidak mengajakmu bertengkar. Aku hanya ingin bertanya padamu, kenapa kau bersikap dingin padaku?"
"Baik, aku yang salah. Aku minta maaf, beres? Sekarang aku pergi dulu!" pungkas Rama dengan nada tinggi laku pergi meninggalkan Sinta sendirian.
Sinta hanya diam menggelengkan kepalanya. Ia merasa sedih dan kesal karena Rama terus bersikap dingin padanya.
Malam hari, Rama sedang berada di rumah Akbar bersama teman-teman nya yang lain. Mereka duduk bersama sambil bermain kartu dan mengobrol.
Jam menunjukkan pukul 23. 15 WIB.
Sinta memandangi jam dinding dan mulai khawatir memikirkan Rama karena tidak biasanya Rama keluar malam sampai jam 11 malam. Kalaupun pernah, ia pasti akan memberitahu Sinta sebelumnya, jika ia akan pulang terlambat.
Karena merasa cemas, Sinta pun berusaha menelepon Rama.
Rama melihat ponselnya berdering, namun ia tidak mengangkatnya. Ponselnya terus berdering dan Rama tetap mengabaikannya.
"Rama, tuh ponselmu berdering kok tidak diangkat?" tegur Reza.
"Sudah, lagi malas pulang aku."
"Hmmm, sepertinya kau mulai gelisah sebagai suami ya Rama?" tanya Akbar. Rama memandangi Akbar.
"Maksudmu?"
"Biasanya, laki-laki akan mulai gelisah setelah menikah. Karena pernikahan itu tidak seperti pacaran yang asal cinta terus berdua di mana-mana. Setelah menikah, kau akan kesal dan mudah lelah karena harus bekerja siang malam untuk mencari nafkah agar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Belum lagi masalah biaya sekolah anak, istri ngambek ingin ini, itu, kalung, gelang, cincin, baju, dan lain-lain..." jelas Akbar. Reza menatap Akbar.
"Sebaiknya kau tutup saja mulutmu dan hentikan omong kosong ini. Kamu tahu kalau Sinta adalah gadis sederhana, ia tidak pernah meminta apapun pada Rama seperti gadis lain yang ada di sinetron. Lagi pula Rama dan Sinta kan juga saling mencintai, jadi, Rama tidak akan pernah gelisah." Rama menunduk.
Ponsel Rama berdering dan ia melihat Sinta yang menelponnya.
"Sebentar, aku angkat telponnya."
"Baik."
"Halo? Ada apa Sinta?" tanya Rama di telepon.
"Rama, kau di mana? Sekarang sudah hampir jam dua belas malam. Kami sangat khawatir, cepat pulang," pinta Sinta sambil memandangi jam dinding yang menunjukkan pukul 23.50 WIB.
"Baik, aku akan pulang, kau jangan cemas." Rama menutup teleponnya.
"Aku harus pulang. Keluargaku sedang khawatir mencariku. Aku pergi dulu, assalamualaikum," pamit Rama pada teman-temannya.
"Waalaikumusalam."
Ketika tiba di rumah, Rama langsung pergi ke kamar dan segera tidur. Sinta menghampiri Rama.
"Kau dari mana?"
"Rumah temanku."
"Kenapa bisa sampai jam segini? Nanti kalau sesuatu terjadi?" Rama memandang Sinta.
"Tidak terjadi apa-apa, aku baik-baik saja. Kami hanya mengobrol bersama, tidak lebih dari itu," jelas Rama.
"Iya, tapi kan kau bisa memberitahuku sebelumnya?"
"Mmm...aku lupa. Aku minta maaf, sekarang aku ingin tidur. Selamat malam." Rama kembali memejamkan matanya. Sinta hanya diam dan menggelengkan kepalanya kecil kemudian pergi tidur.
Setiap hari, kecemburuan Rama pada Sinta semakin bertambah. Ia menjadi putus asa dan selalu bersikap dingin pada Sinta.
Rumah tangga Rama dan Sinta yang dulu begitu harmonis, kini perlahan hancur. Mereka menjadi sering bertengkar hanya karena masalah sepele.
Keesokan paginya, hari ini tanggal 23 Februari, hari ulang tahun pernikahan Rama dan Sinta yang ke-1.
Rangga berniat merayakannya dengan mengadakan pesta di rumah.
Malam hari, tidak seperti suami istri yang lain yang seharusnya merayakan ulang tahun pernikahan dengan penuh cinta, Rama dan Sinta justru diam dan saling melempar sikap dingin.
"Semoga pernikahan kalian langgeng dan semoga kalian selalu bahagia," doa Rangga. Rama dan Sinta hanya diam dan tersenyum kecil.
Beberapa menit kemudian...
"Rama, apa aku boleh curhat padamu?" pinta Sinta saat di kamar setelah pesta berakhir.
"Katakan."
"Kemarin perusahaan menawarkan aku untuk bekerja di Jakarta. Kau tahu? Di sana perusahaannya begitu besar, mewah, dan ada fasilitas yang nyaman. Tapi aku memutuskan---"
"Kau setuju. Wah! Jadi kau hanya ingin memamerkan dirimu tentang semangatmu, kerja kerasmu, penghasilan mu, prestasim, agar aku bertepuk tangan dan kagum padamu karena pangkat mu lebih besar daripada aku?" potong Rama kesal.
"Aku tidak tahu kenapa kau selalu berprasangka buruk padaku. Aku juga tidak tahu kenapa kau selalu menganggap semua ini berlebihan. Menurutmu ini masuk akal?" Rama menatap Sinta dengan tajam.
"Masuk akal katamu? Mungkin bagimu ini masuk akal, tapi bagiku tidak. Setiap hari ayah hanya memuji dan bangga padamu. Selalu dirimu..." jelas Rama.
"Meskipun sakit, aku harus bisa menerima kenyataan bukan?" lanjutnya dengan mata berkaca-kaca sambil memandangi Sinta.
Sinta menunduk. Ia merasa bersalah pada Rama.
"Aku minta maaf kalau selama ini aku buat kau marah dan kesal." Sinta merangkul Rama. Rama menggeleng dan menatap Sinta
"Tidak, kau tidak perlu minta maaf, aku yang salah. Maafkan aku," ucap Rama. Sinta tersenyum.
Rama lalu pergi tidur. Sinta juga ikut tertidur sambil memeluk Rama.
"Hei tidur di bagian mu sana," suruh Rama. Sinta tersenyum menggeleng.
"Tidak, ini bagianku." Sinta pun kembali memeluk Rama dengan erat dan penuh kasih sayang.
Keesokan paginya, Rama pergi menemui Akbar di halaman belakang kantor. Mereka mengobrol bersama sambil berjalan.
"Akbar, apa kau pernah bertengkar dengan teman atau pacarmu?" Akbar memandang Rama dan tersenyum.
"Tentu saja pernah." Mereka lalu duduk di sebuah bangku.
"Tapi kau masih sayang dia kan?"
"Ya iyalah. Ngomong-ngomong kenapa kau bertanya semua ini?" Rama menggeleng.
"Apa kau habis bertengkar dengan Sinta ya?"
"Tidak." Akbar merangkul Rama.
"Dengar, bertengkar itu adalah hal yang wajar, tapi juga jangan berlebihan. Kau tahu? Sahabat yang sering bertengkar justru akan mempererat persahabatan mereka. Tapi kalau pertengkaran itu terus terjadi, maka akan timbul kebencian dan permusuhan," jelas Akbar. Rama mengangguk pelan.
"Aku harap, pertengkaran kalian itulah hanya sementara dan kalian tetap mencintai satu sama lain," lanjutnya. Rama tersenyum menatap Akbar.
"Terimakasih sudah mau memberiku saran yang baik." Akbar tersenyum.
"Dengan senang hati. Aku pergi dulu, assalamualaikum," pamit Akbar.
"Waalaikumusalam." Akbar lalu pergi meninggalkan Rama. Sedangkan Rama hanya duduk sambil merenung. Ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia hanya sekedar cemburu atau membenci Sinta?
Akhirnya setelah lama berpikir, Rama memutuskan untuk kembali bekerja.
Sementara itu, Sinta masih merenung memikirkan kejadian tadi malam.
"Apa aku melakukan kesalahan dengan bekerja?" Karena merasa kasihan pada Rama, Sinta memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan.
Rangga yang mengetahui keputusan Sinta langsung menegurnya, "Sinta, aku kan tahu kalau kau itu sangat berharga dalam perusahaan ini. Kalau kau pergi nanti reputasi perusahaan ini akan hancur. Lagipula kenapa kau putus asa? Kami kan ada bersamamu. Jika kau putus asa, ayah bisa membantumu dan memberimu semangat." Sinta menggeleng.
"Tidak ayah, aku mengundurkan diri bukan karena putus asa. Hanya saja, aku tidak ingin Rama terus bersedih hanya karena rasa cemburu yang ada di hatinya karena aku memiliki jabatan yang tinggi dan lebih dihargai daripada dia." Tak terasa air mata Sinta mulai mengalir di pipinya, Sinta yang melihat hal itupun langsung menyeka air matanya.
"Ayah, aku hanya ingin Rama selalu bahagia. Karena kebahagiannya lebih berharga daripada apapun," lanjut Sinta. Rangga tersenyum. Ia menghampiri Sinta dan menepuk bahunya.
"Rama sangat beruntung memiliki istri yang baik sepertimu, kau sangat mencintainya." Sinta tersenyum.
"Sudah ayah, aku pergi dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumusalam."
Sinta lalu pergi meninggalkan Rangga di ruangannya.
Keesokan paginya, Rangga menegur Rama karena tidak bisa bekerja dengan baik.
"Rama, kau itu ya. Sudah ayah bilang, kau harus selalu rajin bekerja dengan baik dan benar. Lihat gara-gara kecerobohan mu kemarin, kita hampir rugi!" tegur Rangga. Rama menunduk.
"Aku minta maaf ayah. Aku janji akan memperbaiki segalanya dan tidak akan mengulangi kesalahan yang sama."
"Tidak perlu, semuanya sudah terlambat. Kau tidak bisa bekerja dengan baik, maka dari itu, gaji mu akan ayah potong," jelas Rangga.
"Hmmm, aku minta maaf ayah."
"Sudahlah lebih baik kau pergi." Rama menurut. Ia langsung kembali ke ruangannya dan bekerja.
Sore hari, Sinta duduk di ranjang sambil merenung. Ia mengingat pernikahannya dulu dan pertengkarannya dengan Rama.
Sinta memutuskan untuk pergi dari rumah dan kembali di rumah kecil yang ada di desa. Tempat dimana ia dan Rama menghabiskan waktu bersama dengan penuh kasih sayang dan cinta. Ia berharap agar kebahagiaan mereka kembali dan pertengkaran ini berakhir untuk selamanya.
Sementara itu, Rama merasa kesal dan cemburu pada Sinta. Ia terus marah-marah tidak jelas di perjalanan.
Ia kecewa saat ayahnya lebih menghargai Sinta daripada kerja kerasnya.
"Sial! Kenapa hanya Sinta saja yang selalu dipuji dan dihargai? Kan seluruh karyawan di kantor juga bekerja dengan baik?" tanyanya pada dirinya sendiri.
"Hufh. Rasanya aku ingin pergi dari rumah untuk selamanya. Tapi apa daya? Kalau aku pergi, siapa yang akan menjaga Sinta di sana? Namun hatiku juga terasa sakit seakan aku mendapat hukuman berat. Bahkan rumah sendiri seperti di penjara," lanjutnya.
"Baiklah Rama. Sekarang hanya ada satu jalan, aku akan bunuh diri. Dan mungkin, saat aku meninggal ayahku bisa tenang," gumamnya. Tiba-tiba Rama menggelengkan kepalanya.
"Dasar payah! Mana ada orang tua yang bahagia kalau anaknya meninggal? Eh nanti kalau aku tiada, keluargaku pasti akan repot dan bingung saat polisi menyelidiki kematian ku, terutama Sinta..." jelas Rama. Ia pun tidak jadi mengakhiri hidupnya.
Namun saat itu emosinya tidak terkontrol dan Rama mengendarai mobil di atas rata-rata.
Tiba-tiba ada seorang gadis menyebrang dan Rama mengerem mobilnya mendadak. Gadis itu terjatuh. Rama keluar dari mobil dan memastikan bahwa gadis tersebut baik-baik saja.
"Maaf nona. Tadi aku terburu-buru sehingga tidak melihat jalan. Aku juga tidak tahu kalau anda sedang menyeberang. Aku minta maaf," ucap Rama. Gadis itu tersenyum.
"Tidak masalah."
"Ngomong-ngomong, bagaimana kalau kita ke rumah sakit untuk memeriksa dirimu? Takutnya nanti kau kenapa-napa." Gadis itu menggeleng.
"Tidak, aku baik-baik saja."
"Jangan menolak, aku tidak ingin kau terluka hanya karena kecerobohanku," ujar Rama.
Gadis itu tersenyum mengangguk. Rama lalu membawa gadis itu ke rumah sakit menggunakan mobilnya.

Comentário do Livro (24)

  • avatar
    HabibahNurul

    bagus

    05/07

      0
  • avatar
    PutriNanda

    keren

    05/07

      0
  • avatar
    atiqahnurul ainaa

    Best

    02/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes