logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 6 Tamu Penting di Kelas Melukis

Wajah Denzel mengetat. Salah satu tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih.
"Jangan ikut campur urusanku! Aku tidak akan membiarkan Papa merusak pondasi yang sudah aku bangun dengan susah payah. Tinggal selangkah lagi dan aku aku akan berhasil," sembur Denzel dengan mata memerah.
Terdengar suara tawa membahana Tuan X dari seberang sana.
"Ini yang kusuka, mendengarmu meluapkan semua amarahmu. Penerusku harus garang dan penuh ambisi. Tidak ada tempat untuk pria lemah lembut yang mengutamakan perasaan," ujar Tuan X bersemangat.
Berikutnya dia sengaja mencela sepak terjang Denzel.
"Aku kira kamu sudah melupakan rencana besar kita karena jatuh cinta pada gadis ingusan itu."
Denzel mendengus kasar sebelum memberikan responnya.
"Aku sudah bersumpah di hadapan Papa, tentu saja aku tidak akan mengingkarinya. Cinta tidak masuk dalam prioritasku. Lihat saja bagaimana aku menguasai semua yang dimiliki Louis Brown, terutama putri tunggalnya."
"Hmmmmm, aku tidak sabar menunggu saat itu, Nak. Baiklah aku menantikan aksimu selanjutnya. Selamat istirahat," kata Tuan X mengakhiri provokasinya.
Denzel menghempaskan diri ke atas kasur. Ia dibuat pusing dengan berbagai masalah yang berputar di kepalanya. Batinnya mengalami pergulatan antara sisi terang dan gelap. Ada rasa menyesal sekaligus kecewa ketika ia mengingat wajah Rose. Dialah yang mendidik dan mendampingi Rose hingga tumbuh menjadi wanita yang kuat. Namun hampir tiba waktunya ia harus memetik mawar yang sedang mekar itu.
Dilema macam apa ini? Tidak seharusnya ia jatuh terlalu dalam pada hubungannya dengan Rose. Mungkin kerisauannya adalah efek dari kebersamaan mereka yang telah terjalin selama bertahun-tahun. Sebagai penerus keluarga Adams, tidak seharusnya ia bersikap sentimental.
"Maafkan aku, Rose. Aku tidak punya pilihan karena kamu adalah satu-satunya keturunan Louis Brown,
gumam Denzel.
***
Rose tergesa-gesa masuk ke kelas melukis. Ia hampir terlambat karena bangun kesiangan. Semalam matanya sulit sekali terpejam. Pikirannya melayang dan mengembara tak tentu arah. Sebentar memikirkan hubungan kedua orang tuanya, sebentar terpikir tentang konser biola, kemudian beralih pada Denzel.
Entah kenapa perubahan sikap Denzel semalam membuatnya tidak nyaman. Ia lebih suka Denzel yang menunjukkan kepedulian sebagai kakak tanpa keinginan melakukan kontak fisik.
Rose membuang pandangan ke sembarang arah, mencari kursi yang masih kosong. Di kelas melukis kali ini kursi para mahasiswa disusun melingkar. Bagian tengah atau titik sentral akan diisi oleh Mr. Zack dan tamu pentingnya.
Minggu kemarin Mr. Zack, dosen kelas melukis, mengumumkan bahwa mereka akan kedatangan tamu spesial. Seorang pelukis muda yang karyanya tengah viral dan diminati kalangan pecinta seni. Bisa jadi sang pelukis akan menjadi objek lukisan mereka. Atau dia yang akan memberikan tantangan kepada para mahasiswa untuk menggambar objek tertentu.
Karena sebagian besar kursi sudah terisi, Rose terpaksa memilih kursi yang masih kosong. Kursi itu berada tak jauh dari tempat Mr. Zack biasa berdiri. Dari arah berlawanan, terlihat Anneth sedang memperhatikan gerak-gerik Rose layaknya detektif yang mengawasi targetnya.
"Rose, aku kira kamu absen hari ini," ucap Gwen menepuk bahu Rose dari belakang.
"Gwen, kamu membuat jantungku hampir copot," sahut Rose menjatuhkan peralatan melukisnya.
Gwen terkekeh pelan.
"Itu karena kamu melamun sejak tadi. Apa kamu sedang jatuh cinta?" tanya Gwen menggoda temannya yang polos itu.
"Aku mencari ide tentang tema lukisanku nanti," sanggah Rose mengeluarkan kuas dan cat minyak dari tasnya.
"Mencari ide sampai melamun. Sepertinya fantasimu terlalu tinggi, Rose. Padahal hari ini kita kedatangan tamu istimewa. Kamu tidak perlu repot-repot berkhayal."
Suara langkah sepatu yang mendekat ke pintu, membuat Gwen menghentikan ucapannya.
"Rose, Mr. Zack sudah datang. Aku kembali ke kursiku dulu," bisik Gwen beranjak pergi.
"Selamat pagi semuanya," terdengar suara melengking Mr. Zack. Pria berdarah campuran Afrika itu selalu bersemangat sehingga membawa aura positif untuk murid-muridnya.
"Pagi, Pak," jawab para mahasiswa antusias.
Rose masih sibuk menyiapkan palet dan peralatannya yang lain. Ia hanya mendengarkan suara dosennya tanpa mengangkat kepala.
"Nah, seperti janji saya kemarin. Hari ini kita kedatangan tamu. Dia seorang pelukis sekaligus arsitek muda yang baru saja tiba dari Michigan. Silakan masuk Tuan Luke Brown," kata Mr. Zack bersemangat.
Rose tersentak. Apa dia sedang berhalusinasi sehingga mendengar nama Luke disebut-sebut oleh dosennya. Karena penasaran, Rose pun menaikkan tatapannya. Darahnya berdesir cepat ketika melihat pria yang tengah berdiri di samping Mr. Zack. Tak salah lagi pria itu adalah Luke, orang yang paling ingin dihindarinya di muka bumi.
Luke tersenyum secerah mentari kepada para mahasiswa di dalam kelas. Sikapnya ini sungguh berbanding terbalik dengan keangkuhan yang ditunjukkannya saat berada di kantor Brown Group. Bahkan ia tampil santai dengan kemeja hitam yang lengannya digulung setengah, dipadu celana jeans berwarna biru tua.
Rose segera menyembunyikan wajahnya. Ia berharap Luke tidak akan mengenalinya di antara dua puluh mahasiswa di ruangan tersebut.
"Selamat pagi. Suatu kehormatan tersendiri bagi saya diundang ke kelas melukis oleh Mr. Zack. Jujur saya masih pemula dalam bidang seni lukis. Saya tidak menyangka akan diberi kehormatan sebesar ini," ucap Luke merendah.
Rose berdecih di dalam hati. Ia menganggap Luke sebagai manusia munafik yang berakting rendah hati agar menerima banyak pujian.
"Anda tidak bisa dikatakan sebagai pemula. Lukisan Anda yang bertajuk Woman In The Rain sangat terkenal. Begitu juga dengan lukisan kedua Anda The Snowy Mansion yang menjadi trend baru di kalangan anak muda. Lukisan itu adalah perpaduan unik antara seni lukis dan gaya arsitektur. Saya sangat mengaguminya."
Mendengar pujian yang dilontarkan Mr. Zack, lesung pipit di kedua pipi Luke tercetak. Membuat hati para gadis di ruangan ini lumer seperti salju yang meleleh. Terutama Anneth yang tak lepas mengagumi ketampanan Luke. Tapi hal ini tidak berlaku untuk Rose. Baginya karakter dan kepribadian seseorang jauh lebih penting daripada paras yang rupawan.
Sebenarnya Rose adalah salah satu pengagum lukisan Luke. Kala itu ia sempat mencari di internet siapakah pelukis Woman In The Rain yang berinisial LK. Tapi sekarang ia menyesal karena pernah mengagumi orang yang salah.
"Anda terlalu memuji saya Mr. Zack. Melukis adalah hobi saya sedangkan profesi sehari-hari saya adalah seorang arsitek. Saya hanya mencoba memadukan kedua unsur tersebut. Ternyata hasilnya tidak mengecewakan," jelas Luke.
"Tuan Luke, untuk kelas hari ini silakan Anda yang menentukan tema lukisan yang harus dikerjakan para mahasiswa. Atau barangkali Anda sendiri yang ingin menjadi objek lukisannya?" tanya Mr. Zack setengah bercanda. Para gadis tersenyum simpul seolah menyetujui usulan Mr. Zack.
"Saya belum pantas untuk itu, Mr. Zack. Saya akan memberikan tema yang sesuai dengan bidang saya, yaitu arsitektur. Setiap kali saya berkeliling dunia, saya selalu mengagumi bangunan kuno yang menjadi ciri khas sebuah negara. Saya punya keinginan yang kuat untuk melukisnya. Karena itu saya memberikan tantangan bagi kalian untuk melukis satu dari tujuh keajaiban dunia."
Para mahasiswa berbisik satu sama lain mendengar tema lukisan yang diberikan Luke. Menggambar tujuh keajaiban dunia bukanlah hal yang mudah. Kemiripan saja tidak cukup. Diperlukan teknik khusus dan penjiwaan yang mendalam agar lukisan tersebut tampak bernyawa.
"Wah, tema yang diberikan Tuan Luke sangat bagus. Saya rasa kalian semua pasti ingin menghasilkan karya yang terbaik," timpal Mr. Zack menyemangati muridnya.
Mr. Zack melemparkan pandangannya kepada Luke.
"Tuan Luke tantangan ini lebih seru jika Anda bersedia menjadi juri untuk menentukan lukisan mana yang terbaik. Sekaligus memberikan hadiah bagi pemenangnya. Kira-kira hadiah apa yang akan Anda berikan?"
Luke berpikir sebentar sebelum memberikan jawaban. Entah perasaan Rose yang berlebihan atau memang pria itu melirik ke arahnya.
"Saya dengar dari Anda bahwa sebagian mahasiswa di kelas ini akan mengerjakan tugas akhir. Maka saya akan memberikan hadiah berupa bimbingan dan konsultasi untuk mengerjakan tugas akhir selama tujuh hari. Khusus untuk satu orang pemenang," ucap Luke memperlihatkan deretan gigi putihnya.
Mr. Zack mengangguk senang.
"Kalian bisa mulai melukis sekarang. Pilih saja yang sesuai dengan passion kalian masing-masing. Tuan Luke akan menilai hasil karya kalian Senin depan."
"Baik, Sir," jawab para mahasiswa serempak.
Rose kembali menunduk. Tema itu sebenarnya sangat sesuai dengan minatnya. Sudah lama Rose ingin sekali melukis Taj Mahal, bangunan menakjubkan yang melambangkan besarnya cinta seorang suami kepada istrinya. Namun keinginan itu mendadak padam setelah Luke yang terpilih menjadi jurinya. Rose tidak mau menjadi pemenang, apalagi jika harus mengerjakan tugas di bawah bimbingan Luke. Sungguh itu akan menjadi malapetaka besar baginya.
Luke dan Mr. Zack mulai berkeliling untuk mengecek pekerjaan para mahasiswa satu per satu.
"Apa lebih baik aku melukis asal-asalan saja? Tapi bagaimana jika Mr. Zack menegurku?" pikir Rose bingung.

Comentário do Livro (175)

  • avatar
    Aisyah ZhaThan

    cerita nya seru dan bikin penasaran

    01/06/2022

      0
  • avatar
    SahlaArum

    semangat yup

    10d

      0
  • avatar
    ardian putra

    Sangat luar biasa

    17d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes