logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 6 Diusir Keluarga Sendiri

"Maaf sudah mengganggu waktu istirahatmu," ucap Alfea penuh penyesalan.
"Tidak masalah kok, aku hanya bercanda. Yuk, masuk! Kita langsung ke kamar saja. Sepertinya banyak yang mau kamu ceritakan," ujar Khalisa sambil menyeringai lalu tersenyum.
"Kamu memang yang terbaik deh, Sa. Selalu tau kalau perasaanku sedang buruk. Ya, banyak yang akan aku ceritakan. Tapi bisa kasih aku makan dulu, enggak? Aku belum makan malam soalnya," ucap Alfea meringis geli.
Khalisa mendengus saat tau sahabatnya itu belum makan.
"Ternyata di saat sedang dalam masalah pun, kau takkan melupakan hobi makanmu ya, Fea."
"Ya harus dong, kan bukan hanya aku yang sekarang butuh makan, tapi juga calon keponakanmu," ujar Alfea santai.
Khalisa yang sedang berdiri di depan kompor hendak memanaskan sisa lauk, lantas menoleh ke arah Alfea. Ia memandang Alfea dengan tajam seolah meminta penjelasan. Lalu Alfea berdiri dan meraih tangan Khalisa dan menyentuhkannya pada perutnya.
"Seperti dugaanmu, di sini, di dalam perut rata ini, ada calon keponakanmu yang baru saja hendak tumbuh," ujar Alfea membuat mata Khalisa seketika berkaca-kaca.
"Masya Allah! Alhamdulillah! Selamat ya, Fea. Ah, akhirnya kamu akan menjadi seorang ibu. Aku turut senang mendengarnya," ujar Khalisa yang langsung memberikan pelukan bahagia pada Alfea.
***
Gerimis turun membasahi bumi, membuat udara dingin menyelimuti malam yang sunyi. Setelah bercerita untuk melepaskan kegelisahan hatinya, Alfea pun berbaring di samping Khalisa yang telah terlelap lebih dahulu.
Dalam kesunyian, pikiran Alfea menerawang ke masa yang akan datang. Apakah ia hanya akan hidup berdua saja dengan buah hatinya? Sebab ia sudah tidak memiliki siapa pun di dunia ini. Kedua orang tuanya telah berpulang ke hadirat yang Kuasa.
Ah, dalam keadaan seperti ini, ia jadi teringat pada sang ibu mertua yang begitu baik padanya. Lebih tepatnya, mantan ibu mertua. Ayah mertuanya pun sama. Mereka menyayangi Alfea layaknya putri kandungnya sendiri. Begitu pula adik perempuan Aryan. Aryan begitu beruntung pikirnya. Sebab ia masih memiliki keluarga yang lengkap, sedangkan ia hanya sebatang kara.
Tidak, ia tidak sebatang kara lagi. Ia kini memiliki seseorang yang harus ia jaga, pelita hatinya, penyemangat hidupnya.
"Aku tak boleh lemah. Aku tak boleh cengeng. Ada my baby yang membutuhkanku," gumam Alfea seraya menyunggingkan senyum. "Besok kita akan mencari rumah baru ya sayang. Setelah itu, kita membereskan barang-barang kita. Kamu mau kan temani bunda memulai lembaran hidup baru? Kamu harus kuat, ya sayang. Bunda mohon, teruslah sehat karena kamu adalah pelita dalam hidup bunda."
***
Sementara itu di tempat lain, seorang pria tampak sedang termenung meratapi nasibnya. Baru saja siang tadi ia kehilangan Alfea dan sore ini ia kehilangan keluarganya. Ia tak menyangka, perbuatannya membuat orang tua serta adiknya murka. Bahkan mereka terang-terangan menolak kehadiran Dilla meskipun mereka tau kalau Dilla sedang mengandung buah hatinya, darah daging orang tuanya juga, tapi mereka menolak keras dan tak segan-segan mengusir dirinya dan Dilla. Akibatnya, ia dan Dilla terpaksa menginap di hotel terlebih dahulu. Barulah besok ia akan mencari rumah untuk mereka berdua.
Aryan tampak merenung, benarkah keputusannya? Benarkah pilihannya? Bila benar, mengapa hatinya merasa kosong? Mengapa hatinya merasa hampa? Mungkinkah ia akan bahagia dengan pilihannya itu?
"Alfea," lirih Aryan.
***
Beberapa jam yang lalu.
"Eh, Aryan, kok tumben kamu kemari tidak mengajak Alfea?" tanya Salwa, ibu Aryan.
"Iya, Kak. Rahma kangen sama mbak Fea, kok enggak sama-sama kak Fea, sih? Terus, bukannya dia itu pembantu di rumah mbak Fea ya? Kok malah kak Aryan ajak kemari?" cecar Rahma penasaran.
"Ma, Aryan sudah bercerai dengan Alfea," ucap Aryan seraya tertunduk.
"Apa?!" seru Salwa dan Rahma bersamaan.
"Apa-apaan kau ini, Aryan? Mengapa kalian sampai bercerai, hah?!" bentak Salwa.
"Oh, jangan-jangan karena perempuan ini? Karena itu kakak bawa perempuan ini ke sini, iya, Kak?!" sergah Rahma.
"Dia bukan pembantu, Dek. Dia calon kakak ipar kamu karena kakak akan segera menikahinya," sergah Aryan tak terima Dilla disebut pembantu. "Ma, Alfea yang memilih bercerai, padahal Aryan tidak berniat menceraikannya. Padahal Aryan sudah memberikannya pilihan yang terbaik. Dilla sedang hamil anak Aryan. Aryan sudah bilang ke Fea, kalau dia tetap akan jadi istri pertama Aryan. Aryan juga sudah mengatakan akan membuat anak Aryan dan Dilla jadi anaknya, tapi Fea tetap tidak terima dan dia lebih memilih bercerai," ujar Aryan menceritakan permasalahannya secara singkat.
Wajah Salwa dan Rahma memerah, tangan mereka mengepal kuat, rahang mereka pun sudah bergemeletuk menahan emosi yang membuncah.
"Dasar anak kurang ajar! Tak tau diri! Kau pikir Alfea akan memaafkanmu dan menerimamu kembali setelah kau mengkhianatinya seperti itu, hah?! Bila mama di posisi Alfea pun pasti mama akan melakukan hal yang sama."
"Dan kau, dasar wanita jalang! Tak tau diri, tak tau malu, tak tau diuntung, tak tau terima kasih! Anjing saja takkan menggigit tuannya, tapi kau!" tunjuk Rahma dengan air mata sudah mengalir di pipinya. "Kau dan anakmu sudah ditolong mbak Fea, tapi kau malah mengkhianatinya dengan meniduri suaminya. Apa kau merasa hebat dan bangga bisa menghancurkan rumah tangga mbak Fea, hah?! Apa kau merasa hebat dengan hamil anak kakakku?! Apakah benar bayi dalam kandunganmu itu adalah darah daging kakakku?!" Rahma berdecih sinis.
"Ra, hentikan! Kau tak berhak menghakimi Dilla. Dia memang hamil anak kakak, jadi tidak ada alasan bagi kakak untuk tidak menikahinya!" bentak Aryan. Beruntung Nara sedang tertidur lelap, jadi ia tidak mendengar teriakan-teriakan ketiga orang itu.
"Kau yang tutup mulutmu anak tak tahu diri! Sampai kapan pun papa takkan merestui kalian! Terserah dia mau hamil anak kamu atau bukan. Tapi mulai sekarang, kau bukan anak kami lagi! Kau bukan bagian dari rumah ini, keluarga ini! Pergi dari rumah ini dan jangan menginjakkan kaki kotormu lagi di sini!" bentak Akmal, ayah Aryan yang baru saja pulang ke rumah.
"Pa!" bentak Aryan.
"Oh, kau sudah berani bicara dengan nada tinggi pada kami?! Apa yang sudah disuguhkan perempuan jalang ini padamu, hah, sehingga kau jadi kurang ajar begini?!"
"Dia bukan jalang, Pa! Dia wanita baik-baik. Dia calon istri Aryan!" bela Aryan.
"Wanita baik-baik mana yang mau tidur dengan suami orang lain?" sinis Salwa. "Hanya seorang jalang yang mau tidur dan mengandung benih pria yang merupakan suami orang lain tanpa ikatan yang sah. Tak ada wanita baik-baik yang mengkhianati orang yang sudah menolongnya," sinis Salwa telak membuat Aryan terdiam.
"Sekarang pergi dari rumah ini, kami sudah tidak sudi mempunyai anak seorang bajingan seperti kamu dan kami juga tak sudi memiliki menantu seperti dia!" usir Akmal.

Comentário do Livro (142)

  • avatar
    Mohd shukeriNorhidayu

    bagus

    07/07

      0
  • avatar
    MuharmanImam

    mantap. cuy

    26/06

      0
  • avatar
    Sri Hartati Partll

    suka

    08/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes