logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 5 Nasihat Ibu

"Makasih, Mas. Makin sayang deh Fea sama Mas," ujar Alfea.
Aryan terkekeh mendengar ucapan Alfea.
"Duh, istri mas sudah pandai menggombal, nih," goda Aryan.
"Siapa yang gombal? Fea kan cuma jujur." Alfea memutar bola matanya jengah namun setelahnya terkekeh. "Sudah dulu ya, Mas. Dokternya sudah keluar."
"Nanti hati-hati di jalan ya, Sayang. Assalamualaikum."
"Iya, Mas. Wa'alaikumsalam," sahut Alfea.
Setelah panggilannya ditutup, Alfea pun menghampiri sang dokter. Menurut dokter, Nara terkena gangguan pencernaan mungkin karena makanan yang dimakan tidak higienis. Namun, Nara tidak perlu menjalani rawat inap. Ia bisa pulang setelah cairan infusnya habis. Dokter juga memberikan resep obat yang harus segera ditebus. Alfea segera mengambil kertas resep itu dan pergi ke apotek untuk menebus obatnya.
***
Tok! Tok! Tok!
"Assalamualaikum," ucap seseorang wanita paruh baya seraya memasuki rumah Alfea.
"Wa'alaikumsalam. Eh, Ibu! Ibu sama siapa kemari? Kok enggak ngabarin dulu mau ke sini, Bu?" ujar Alfea pada ibunya, Bu Andin.
"Emang kenapa harus ngabarin dulu? Ibu kan ingin menemui putri kesayangan ibu. Ibu kangen banget sama kamu, Fea," ujar Bu Andin.
"Iya, Bu. Maaf, Alfea belum sempat berkunjung ke rumah ibu. Nanti kalau mas Aryan ada waktu, kami pasti akan ke sana," ujar Alfea seraya berjalan menuju ruang tamu. "Duduk dulu, ya Bu. Fea mau minta Dilla buat minum dulu," ujar Alfea yang diangguki oleh Bu Andin.
Setelah ke dapur, Alfea kembali lagi ke ruang tamu dan berbincang dengan ibunya. Tak lama kemudian, Dilla datang dengan membawa 2 gelas jus mangga dan sepiring cheese cake lalu menghidangkannya ke atas meja.
"Silakan, Nyonya," ujar Dilla sebelum beranjak kembali ke dapur.
"Terima kasih, Dilla," ucap Alfea, sedangkan Bu Andin hanya terdiam di tempatnya.
Setiap gerak gerik Dilla tak lepas dari perhatian Bu Andin. Dalam hati ia tiba-tiba khawatir melihat perempuan muda itu. Setelah Dilla benar-benar menghilang dari pandangan Bu Andin, Bu Andin pun segera mencecar Alfea dengan berbagai macam pertanyaan.
"Siapa dia? ART baru kamu, Fea?" tanya Bu Andin.
"Iya, Bu. Namanya Dilla," jawab Alfea.
"Kemana Deno?"
"Mbok Deno sedang pulang kampung, Bu. Ada saudaranya yang meninggal, jadi Mbok Deno izin sementara waktu."
"Sudah berapa lama di bekerja di sini? Apa suami kamu mengizinkan?" cecar Bu Andin.
"Baru semingguan, Bu. Iya, mas Aryan sudah kasih izin kok. Kasihan loh, Bu. Si Dilla itu, dia itu janda, anaknya baru berusia 2 tahun. Fea ketemu dia waktu dalam perjalanan pulang dari mengajar. Waktu itu Fea lihat dia lagi gendong anaknya yang lagi menangis di halte bis. Ternyata anaknya lagi sakit, jadi Fea bawa aja ke rumah sakit. Dia juga enggak punya keluarga dan rumah, jadi Fea ajak aja ke sini untuk kerja. Biar bisa sekalian kasih tempat tinggal juga," jelas Alfea.
Bu Andin menghela napasnya, putrinya ini memang terlampau baik. Tak ada rasa was-was atau curiga sedikit pun.
"Fea, ingat pesan ibu ini, ya! Kamu boleh bersikap baik, tapi tetap kami harus hati-hati apalagi kamu membawa perempuan ke dalam rumah kamu. Perempuan itu masih muda, apa kamu tidak ada khawatir sedikit pun?" Alfea menggeleng. "Fea, kamu tau. Dari awal melihatnya, ibu sudah khawatir, yang ibu khawatirkan dia bisa saja menjadi orang ketiga dalam pernikahanmu dan Aryan. Jadi satu saja pesan ibu, hati-hati. Suamimu masih muda, takutnya ia terjerat perempuan itu. Kamu tidak mau kan rumah tanggamu kandas di tengah jalan?"
"Bu, jangan su'udzon, ih! Doakan saja rumah tangga Fea dan mas Aryan baik-baik saja till Jannah," ucap Alfea seraya tersenyum. "Lagi pula tidak mungkin mas Aryan berbuat macam-macam, dia kan bucinnya Alfea," ujar Alfea sambil terkekeh.
"Ya sudah, yang penting ibu sudah berpesan. Ibu selalu mendoakan semoga rumah tangga kamu selalu aman dan damai serta bahagia selamanya," doa Bu Andin tulus.
***
Alfea sedang merenung di kamarnya seorang diri. Kamar itu masih hangat semalam, bahkan ia dan Aryan masih sempat melakukan kegiatan mendulang pahala. Tapi kini, ranjang yang biasa hangat itu telah dingin. Sedingin hatinya yang telah membeku. Entah berapa lama ia sanggup bertahan di rumah itu, sebab rumah itu begitu banyak menyimpan kenangan. Kenangan akan kebersamaannya dengan Aryan. Begitu banyak suka duka ia habiskan berdua di sana, kini kenangan itu berganti menjadi luka. Luka yang begitu menyakitkan tapi tak berdarah. Luka yang begitu menganga, tapi tak berbekas. Hanya meninggalkan rasa sakit yang begitu menyesakkan.
Seandainya dari dulu ia mendengarkan apa yang dikatakan ibunya. Seandainya tidak membawa Dilla ke rumahnya. Seandainya ia lebih waspada, yapi semua telah terlambat. Tak ada gunanya menyesal, kini ia tinggal menjalani semuanya. Biar perih, ia akan berusaha dan bertahan. Bukan hanya demi dirinya sendiri, tapi juga demi calon buah hatinya.
Langit makin gelap, tapi mata Alfea masih terjaga. Semakin larut dadanya makin sesak. Bahkan saat hendak memejamkan mata pun, ia langsung terjengit. Sepertinya tinggal di rumah itu memberikan sedikit rasa trauma padanya Andai sang ibu masih ada, mungkin ia takkan terlalu kesepian seperti saat ini, setidaknya ia memiliki tempat berbagi. Namun sayang, ibunya telah pergi untuk selamanya 1 bulan yang lalu. Seketika ia mengingat sahabatnya, Khalisa. Alfea pun segera menghubungi sahabatnya itu.
"Assalamu'alaikum, Sa," ucap Alfea serak pada Khalisa.
"Wa'alaikumsalam, Fea. Fea, kamu enggak apa-apa, kan? Suara kamu kok kayak beda gitu?" tanya Khalisa tiba-tiba saat mendengar suara Alfea tampak berat dan serak.
"Sa, boleh aku menginap di sana malam ini?" tanya Alfea tanpa menjawab pertanyaan Khalisa.
"Kapan pun kau mau, pintu rumahku selalu terbuka untukmu," sebuah jawaban yang cukup membuatnya merasa lebih tenang.
"Terima kasih, Sa. Kalau begitu, aku segera meluncur ke sana," ucap Alfea senang.
Alfea pun segera mengambil tas selempangnya, lalu mengambil kunci mobil, ia pun segera keluar dari dalam rumah penuh kenangan yang menyesakkan itu.
Tak sampai 1 jam, Alfea telah tiba di sebuah rumah minimalis yang dihuni oleh Khalisa dan kedua orang tuanya. Ia pun bergegas turun dari mobil. Tampak di teras rumah itu, Khalisa telah menanti kedatangannya dengan senyum lebarnya.
"Sa, aku kangen!" seru Alfea yang langsung disambut Khalisa dengan pelukan.
"Aku juga, Fea, kangen banget. Sudah lama kita enggak jalan bareng," sahut Khalisa.
"Aku enggak ganggu waktu istirahat kamu, kan?" tanya Alfea khawatir.
"Enggak kok, tenang saja."
"Paman dan bibi ke mana?"
"Sudah tidur. Kamu pikir ini jam berapa, hm?" tanya Khalisa dengan mata memicing membuat Alfea meringis.

Comentário do Livro (142)

  • avatar
    Mohd shukeriNorhidayu

    bagus

    07/07

      0
  • avatar
    MuharmanImam

    mantap. cuy

    26/06

      0
  • avatar
    Sri Hartati Partll

    suka

    08/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes