logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 7 Pesan Pak Gunawan

Bersekutu Dengan Iblis
Part 7
***
Jalan yang kami lalui masih berupa jalan tanah, yang kalau misalnya tiba-tiba hujan turun lumayan deras, sudah dapat dipastikan sepeda motor yang kami kendarai akan sering mogok, sebab tak bisa berjalan lagi, karena ada banyak timbunan tanah yang menempel lengket di kedua roda sepeda motor itu.
Kurang lebih lima kilometer kami menempuh perjalanan, jalan yang kami lalui mulai lagi berupa jalanan beraspal. Aneh. Aku membatin.
[Kenapa nggak dari ujung jalan sana saja dekat gardu pos kamling jalan ini diaspal? Kenapa setelah sekitar satu kilo, jalan ini baru diaspal lagi? Aneh banget sih. Apa mungkin karena ada maksudnya ya, dibikin seperti ini? Atau memang sengaja ngerjain pengaspalannya dimulai dari dalam sana, jadi belum selesai sampai ke ujung jalan dekat gardu pos kamling tadi?]
Ingin sekali sebetulnya aku menanyakan tentang hal tersebut pada Pak Muhidin, sebab terus terang saja, aku merasa sangat penasaran. Kenapa pengaspalan jalan tidak dimulai dari ujung jalan di dekat gardu pos kamling sana. Barangkali saja dia tahu bagaimana ceritanya kok bisa seperti itu. Tapi aku urungkan keinginan tersebut, karena aku teringat pesan dari Pak Gunawan pada kami (aku dan Nova) sebelum kami berempat berangkat dari gardu pos kamling tadi.
Pak Gunawan berpesan padaku dan Nova, tentang beberapa hal yang harus kami patuhi selama dalam perjalanan menuju ke rumah Abah Karta, kalau sekiranya kami berdua ingin selamat sampai tujuan. Sebab beberapa hal itu sudah menjadi sebuah aturan baku yang tidak tertulis, namun wajib dijalankan untuk keselamatan diri sendiri. Dan Pak Gunawan juga mengatakan, jika aku atau Nova melanggar salah satu dari pesan yang dia sampaikan tersebut, maka lelaki itu tidak bertanggungjawab atas apa yang akan terjadi pada diri kami (aku dan Nova) nantinya.
Aku menelan ludah dengan susah payah, setelah Pak Gunawan selesai memberitahukan beberapa pesan yang harus aku dan Nova patuhi itu. Tenggorokanku tiba-tiba terasa amat kering. Mendengar Pak Gunawan mengucapkan pesan itu saja sudah membuatku merasa takut dan khawatir sekali. Apalagi kalau sampai terjadi hal yang tak diinginkan menimpa satu di antara kami berdua, aku atau Nova, hanya karena lupa melakukan kesalahan hingga membuat kami berdua melanggar salah satu pesan itu. Pasti akibatnya akan lebih mengerikan.
Aku sempat bilang ke Nova untuk memikirkan lagi rencananya pergi ke rumah Abah Karta, setelah Pak Gunawan selesai mengatakan beberapa 'aturan baku' yang tak boleh kami langgar sebelum sampai ke tempat tujuan. Tapi dasar Nova, gadis itu memang amat keras kepala, dia tak menggubris sedikit pun ucapanku. Dia tetap keukeuh (bersikukuh) mau datang ke rumah Abah Karta sesuai dengan niatnya semula. Sama sekali tidak terlihat rasa takut atau khawatir di raut wajah sahabatku itu. Dia tampak biasa saja, berbeda jauh dengan aku, yang langsung ciut nyalinya. Mungkin kalau ada cermin, aku bisa melihat wajahku dengan jelas yang pucat pasi menahan rasa takut di dalam cermin itu.
"Sudah kepalang tanggung, San. Kita sudah sampai di sini, sudah jauh banget jaraknya dari rumah Tante Ningsih. Tinggal sedikit lagi kita akan sampai ke rumah Abah Karta. Masa mau balik lagi ke sana? Apa bukan sia-sia itu namanya? Lagian niatku dari awal ngajak kamu ke Banten kan memang mau ke rumah Abah Karta, bukan ke tempat yang lain. Bukan juga mau liburan atau senang-senang, tapi karena aku mau ada perlu sama Abah Karta. Tapi kalau misalnya sekarang kamu ngerasa keberatan untuk nganterin aku ke sana, kamu boleh kok putar balik lagi, San. Biar aku pergi sendiri aja ke rumah Abah Karta," ucap Nova begitu aku selesai bicara.
Aku menghela napas panjang seraya menatap wajah Nova. Ada rasa sedih dan kasihan bercampur jadi satu dalam hati pada sahabatku itu. Aku sangat tahu dan amat memahami, kenapa dia sampai nekat seperti sekarang. Aku bisa merasakan apa yang saat ini sedang dia rasakan. Mungkin dia bingung, kalut dan entah apa lagi. Barangkali juga aku akan melakukan hal yang sama dengan dia, jika aku berada di posisinya sekarang.
Nova melakukan semua ini hanya karena dia ingin segera menyelesaikan masalah yang tengah dia hadapi sekarang. Agar dia bisa terbebas dari semua beban yang sedang dia pikul saat ini. Kasihan sekali Nova. Andai saja kedua orang tuanya masih hidup, mungkin dia tidak akan pergi sampai ke sini. Karena Nova bisa menceritakan semua masalahnya pada kedua orang tuanya. Dan sudah barang tentu, ayah dan ibu Nova akan memberikan solusi yang terbaik untuk anak perempuan mereka satu-satunya. Atau bahkan masalah yang sedang dia hadapi saat ini, tak akan pernah terjadi, aku membatin.
Dan akhirnya aku mengalah, mau menemani Nova melanjutkan perjalanan ke rumah Abah Karta. Sebab mana mungkin aku tega meninggalkan gadis itu seorang diri di tempat asing seperti ini. Walaupun dalam hati sebenarnya aku belum sepenuhnya merasa yakin dengan keputusan yang aku ambil, menemani dia. Namun, biar bagaimana pun, Nova adalah sahabatku sejak kecil, yang sudah aku anggap seperti keluargaku sendiri. Dari masa kanak-kanak dulu, aku dan Nova selalu bersama. Bermain, bercanda, bercerita, bergurau, bercengkrama dan tertawa berdua. Kami senantiasa silih bergantian main ke rumah masing-masing. Terkadang Nova yang datang ke rumahku, dan tak jarang juga aku berkunjung ke rumahnya.
"Nggak mungkin lah aku mau putar balik dan tega ninggalin kamu sendirian di tempat ini, Va. Kamu kan sahabatku dari kecil dan sejak dulu kita udah selalu bersama. Yang ada dalam pikiranku sekarang ini, cuma rasa khawatir yang teramat sangat akan keselamatan diri kita berdua, Va. Kalau misalnya nanti secara nggak sengaja, satu di antara kita berdua ada yang melanggar salah satu pesan Pak Gunawan tadi, waktu kita di perjalanan nanti. Aku ngeri aja ngebayanginya, Va," jelasku panjang lebar, dengan nada gundah yang tak bisa aku sembunyikan. Sembari menatap lekat-lekat mata sahabatku itu. Agar dia bisa melihat dan tahu, bahwa apa yang aku katakan adalah benar adanya, datang dari lubuk hati yang paling dalam. Aku memang sedang mengkhawatirkan tentang keselamatan kami berdua.
Nova hanya tersenyum menanggapi ucapanku, tanpa berkomentar apa pun. Dia balas menatapku sekilas, setelah itu mengalihkan pandangan ke tempat lain. Raut wajahnya terlihat biasa saja, datar tanpa ekspresi. Mungkin dalam hatinya dia membenarkan ucapanku. Atau mungkin juga dia malah tidak peduli sama sekali. Entahlah. Aku tak bisa menyimpulkan senyuman dan tatapan mata sahabatku itu. Aku tidak tahu apa sebenarnya yang ada di dalam pikiran gadis itu. Tanpa banyak bicara lagi, maka aku dan Nova pun segera berangkat menuju ke rumah Abah Karta. Aku membonceng sepeda motor milik Pak Muhidin, dan Nova naik di belakang jok sepeda motor milik Pak Kiswoto.
Adapun beberapa pesan yang tadi disampaikan oleh Pak Gunawan, yang harus aku dan Nova patuhi selama kami dalam perjalanan menuju ke rumah Abah Karta adalah :
_ Kami berdua tidak boleh bertanya tentang apa pun selama dalam perjalanan, meskipun misalnya nanti kami melihat sesuatu yang menurut kami aneh atau janggal. Intinya, kami dilarang untuk banyak bicara.
_ Sepanjang perjalanan, kami berdua dilarang menengok ke belakang, hingga kami sampai di tempat tujuan. Walaupun misalnya nanti saat dalam perjalanan aku dan Nova mendengar suara atau sesuatu yang aneh dan janggal menurut kami, yang terdengar dari arah belakang kami. Intinya, pandanganku dan Nova harus tetap melihat ke arah depan
_ Kami tidak boleh berhenti selama dalam perjalanan sebelum kami sampai ke tujuan, meskipun hanya sebentar. Intinya, kami dilarang untuk istirahat.
Sebenarnya aku teramat penasaran dan tidak paham dengan beberapa pesan yang disampaikan oleh Pak Gunawan pada kami berdua. Kenapa bunyi pesan yang katanya sudah menjadi sebuah aturan baku tersebut isinya seperti itu. Bagiku semuanya terasa sangat aneh dan mengherankan. Tapi entah kenapa, aku tidak menanyakan hal tersebut pada lelaki yang bernama lengkap Gunawan Arianto itu. Mulutku seakan terkunci rapat, sehingga tidak bisa untuk bicara. Padahal dalam hati dan di dalam kepala, aku ingin sekali menanyakan semua keanehan tersebut padanya.
Akhirnya aku hanya bisa diam saja sembari menduga-duga sendiri, hal yang menurutku terasa aneh dan janggal tersebut. Seraya tak berhenti membaca doa-doa yang aku hafal di sepanjang perjalanan. Sebab entah kenapa, tiba-tiba ada rasa takut yang menyelinap dalam dada. Aku merasa kalau kami berdua (aku dan Nova) akan menempuh sebuah perjalanan yang teramat jauh di tempat yang asing.
Pada saat sepeda motor yang kami kendarai melintas di jalan tanah tadi, aku masih bisa melihat di sisi kiri dan kanan jalan terdapat banyak bangunan yang berdiri, seperti layaknya gambaran sebuah desa pada umumnya. Sebuah perkampungan penduduk yang di dalamnya terdapat banyak rumah berdiri dan bangunan yang lainnya. Aku melihat ada sebuah sekolah SD Negeri dan SMP Negeri, sebuah musala dan masjid yang letaknya berjauhan tentu saja, sebuah PUSTU (puskesmas pembantu) yang berada di ujung jalan, kantor kelurahan, beberapa buah warung (baik warung yang hanya menjual makanan matang seperti gorengan dan es cendol, warung sembako ataupun warung yang menjual segala macam barang dagangan) dan toko, serta beberapa buah bangunan yang lain di sepanjang jalan. Bahkan aku sempat membaca ada dua buah papan nama bidan dan sebuah plang praktik dokter yang terpasang di depan rumah milik mereka masing-masing.
Namun ketika sepeda motor yang kami kendarai mulai melaju di jalan aspal kembali, aku tidak lagi melihat ada satu pun bangunan yang berdiri di sepanjang jalan. Di sisi sebelah kiri dan kanan jalan berupa jurang yang sangat curam, membuat nyaliku makin ciut, ketika melihat ke arah bawah sana. Aku memperkuat pegangan di jok sepeda motor Pak Muhidin. Kedua tanganku mencengkeram dengan kuat, agar tidak jatuh.
Lebar jalan pun hanya cukup untuk dilalui sebuah mobil. Aneh sekali. Bagaimana kalau tiba-tiba saja ada dua buah mobil yang melintasi jalan ini dari arah yang berlawanan? Tentu salah satu dari mobil tersebut harus mengalah, berjalan mundur, agar mereka bisa sama-sama melanjutkan perjalanan. Apakah mobil yang datang dari arah jalan tanah yang harus mengalah, atau mobil yang datang dari arah jalan dalam sana yang mau mundur. Mobil yang mana pun itu, yang pasti sama-sama memerlukan waktu yang lama untuk mundur agar bisa jalan kembali. Atau mungkin selama ini, hal seperti itu memang belum pernah terjadi? Aku kembali membatin dalam hati.
[Gimana caranya orang yang bikin jalan aspal ini ya? Di mana mereka taruh alat-alat berat yang dipakai untuk bangun jalan ini ya? Sedangkan lebar jalan aja cuma cukup untuk satu buah mobil. Aneh banget. Aku rasa nggak mungkin para pekerja itu mengerjakan proyek jalan ini dan mereka naruh alat pertukangan di ujung jalan sana atau di bawah jurang ini]
Aku benar-benar merasa amat penasaran dan tak habis pikir. Dan ketika akan menanyakan hal itu pada Pak Muhidin, lagi-lagi aku kembali teringat pesan Pak Gunawan. Akhirnya semua rasa penasaranku hanya aku simpan dalam hati.
Entah sudah berapa lama kami berempat berkendara, dan sudah berapa jauh jarak yang telah kami tempuh. Tapi kami belum juga sampai di rumah Abah Karta. Dan setiap kali aku ingin bertanya tentang hal itu pada Pak Muhidin, kenapa kami belum juga sampai di rumah Abah Karta atau berapa lama lagi sebetulnya kami akan sampai di tempat tujuan, pesan Pak Gunawan selalu terngiang di telinga. Membuatku seketika mengurungkan keinginan itu. Untuk yang kedua kalinya aku menyesali diri, kenapa harus mau menemani Nova pergi ke tempat aneh dan mengerikan seperti ini. Yang bahkan dalam kepalaku pun belum pernah terpikirkan, kalau ternyata ada tempat semacam ini dalam kehidupan nyata.
Aku terus saja melantunkan doa-doa yang aku hafal dalam hati. Memohon pada Allah supaya diberikan perlindungan selama dalam perjalanan dan sampai ke rumah Abah Karta dengan selamat. Aku memohon agar diberi kemudahan dan kelancaran. Sebab aku tak bisa membayangkan, jika tiba-tiba saja sepeda motor yang kami kendarai mogok karena rusak atau habis bensin. Masa iya kami harus berjalan kaki hingga sampai ke rumah Abah Karta, yang entah ada di mana. Karena aku tidak melihat ada yang jual bensin di jalan, apalagi bengkel sepeda motor.
Aku melihat jarum jam di tangan kiri. Waktu sudah menunjukan pukul setengah empat sore, saatnya untuk salat asar. Dalam hati aku berharap, semoga saja kami bisa segera sampai di rumah Abah Karta. Kalaupun misalnya masih jauh, setidaknya kami bisa menjumpai masjid atau musala di jalan, agar aku bisa menunaikan kewajibanku sebagai muslim.
Tapi, hingga waktu salat asar sudah habis, kami belum juga sampai di rumah Abah Karta. Dan tak ada masjid atau musala yang kami jumpai di jalan. Bahkan satu buah bangunan pun tak ada yang berdiri di sepanjang perjalanan tadi. Aku merasa amat gelisah dan pikiranku sangat tidak tenang. Aku ingin sekali menengok ke belakang, dimana Nova dan Pak Kiswoto berboncengan sepeda motor. Aku ingin tahu, apakah sahabatku itu juga merasakan seperti apa yang aku rasakan, gelisah dan tidak tenang. Atau dia tetap merasa biasa saja. Namun, pesan dari Pak Gunawan lagi-lagi membuatku hanya bisa menerima keadaan dengan pasrah.
***
Bersambung

Comentário do Livro (218)

  • avatar
    Fino Chipeng

    lopee

    18h

      0
  • avatar
    CHANNELBETAWI

    sangat bagus

    6d

      0
  • avatar
    Adenata123Arganta yuda

    halo

    17d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes