logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 2 Dalam Perjalanan

Bersekutu Dengan Iblis
Part 2
***
Satu minggu berlalu. Hari Kamis siang, sepulang dari kerja aku berencana akan memberitahu kedua orang tuaku kalau hari Jumat besok aku tidak bisa pulang ke rumah seperti biasanya.
Aku mengambil telepon genggam yang ada di atas tempat tidur, lantas menekan nomor telepon rumah orang tuaku.
[Assalamualaikum]
Aku membuka percakapan dengan mengucapkan salam, begitu terdengar ada orang yang mengangkat telepon rumahku di seberang sana.
[Waalaikum salam]
Terdengar suara ibu menjawab salamku. Aku lantas bertanya soal kabar beliau dan ayah, karena selama satu minggu aku tidak pulang. Alhamdulillah kedua orang tuaku dalam keadaan baik dan sehat wal afiat.
[Bu, hari Jumat besok Santi nggak bisa pulang ke rumah. Soalnya Santi diajak Nova untuk nemani dia pergi ke Banten sampai hari Senin]
[Mau apa kamu sama Nova pergi ke Banten? Memangnya kalian mau ke rumah siapa di sana?]
Beberapa saat aku terdiam, tak segera menjawab pertanyaan ibu. Sebab terus terang saja aku bingung harus bicara apa pada beliau. Mana mungkin aku mengatakan yang sesungguhnya pada ibuku, kalau aku dan Nova pergi ke Banten mau ke rumah dukun yang bernama Abah Karta. Aku pasti bakalan bisa kena marah dan aku amat yakin, ibu akan melarangku berangkat ke sana. Padahal aku sudah janji pada Nova akan menemaninya.
[Hallo … San. Apa kamu masih di sana?]
Tanya ibu mengagetkan, membuyarkan lamunanku.
[Oh … eh … iya, Bu. Santi masih di sini kok]
Jawabku dengan suara agak gugup.
[Kamu tadi belum jawab pertanyaan Ibu. Kamu sama Nova mau apa pergi ke Banten? Kalian berdua mau ke rumah siapa di sana?]
Ibu mengulangi pertanyaan beliau sebelumnya.
[Santi sama Nova mau ke rumah saudara Nova yang di Banten, sekalian kami mau jalan-jalan di sana, Bu. Kebetulan ada tanggal merah tiga hari, jadi kami rencananya mau liburan ke sana]
Dengan amat terpaksa aku berbohong pada ibu, tentang maksud kepergianku bersama Nova ke Banten. Dan entah datang ide dari mana, tiba-tiba cerita mau liburan di Banten melintas di kepalaku. Meskipun sebetulnya aku merasa amat tidak enak hati, telah membohongi ibu.
[Ohh … ya sudah kalau gitu. Hati-hati di jalan. Jaga diri kamu baik-baik selama di Banten. Sampaikan salam dari Ibu ke Nova. Nanti Ibu akan bilang ke ayahmu, kalau besok kamu nggak bisa pulang ke rumah. Biar ayahmu nggak nungguin kamu di terminal kayak biasanya]
Ayah memang selalu menunggu dan menjemputku di terminal, kalau aku akan pulang ke rumah. Karena bus yang aku tumpangi hanya berhenti sampai di terminal, sedangkan rumah kedua orang tuaku masih lumayan jauh jaraknya dari situ. Sebetulnya bisa saja aku naik ojek yang banyak mangkal di sekitar terminal menuju ke rumah. Tapi ayah selalu melarangku. Beliau bilang biar ayah saja yang menjemputku, agar lebih aman. Dan setiap sepuluh menit sebelum bus yang membawaku sampai di terminal, ayah sudah sampai lebih dulu. Jadi aku bisa langsung pulang ke rumah bareng ayah dengan mengendarai sepeda motor, tak perlu menunggu lama lagi.
Beruntung ibu percaya dengan apa yang aku ucapkan dan beliau tidak bertanya lebih banyak lagi soal kepergianku bersama Nova. Aku dan ibu lalu berbincang dengan berganti topik pembicaraan yang lain. Setelah selesai, ibu lalu menutup telepon.
***
Hari Jumat sore, sekitar pukul setengah lima aku sudah sampai di Terminal Bus Rajabasa. Aku langsung menuju ke tempat yang sudah disepakati oleh kami, aku dan Nova, beberapa hari yang lalu. Namun Nova belum kelihatan batang hidungnya, saat aku sampai di sana. Aku kemudian mencoba mencari keberadaan sahabatku itu dengan mengitari pandangan ke seluruh ruang tunggu penumpang, barangkali saja aku yang tidak melihat Nova. Tapi dia tak juga kutemukan. Mungkin Nova masih di jalan, aku membatin.
Aku lantas duduk di salah satu bangku panjang yang ada di dalam ruang tunggu penumpang bus tersebut, menunggu Nova datang. Sepuluh menit berlalu, tapi sahabatku itu belum juga muncul. Aku beranjak dari tempat duduk, dan sekali lagi mengitari pandangan ke seluruh ruangan, berusaha mencari keberadaan Nova. Namun hasilnya tetap nihil, dia belum terlihat ada di dalam ruangan. Aku kemudian mengambil telepon genggam dari dalam saku baju. Kucari nomor HP Nova dan segera menghubunginya.
"Va, kamu ada di mana? Aku udah sampai di terminal. Udah sepuluh menit lebih aku nungguin kamu di sini," tanyaku, begitu panggilan telepon tersambung.
"Maaf, San. Aku masih ada di rumah. Tadi pulang kerja aku ketiduran. Ini baru selesai mandi. Tunggu sebentar lagi ya, aku langsung berangkat ke sana."
"Ya udah cepetan kamu siap-siap. Kamu jangan kelamaan datangnya ke sini, biar kita nanti bisa langsung berangkat ke Bakauheni, jadi nggak kemalaman sampai di Merak," ujarku.
Setelah berbincang sebentar, aku lantas menutup telepon. Aku menghela napas panjang. Dasar Nova, dia yang minta ditemani, eh … malah aku yang harus nunggu dia datang. Aku sedikit menggerutu dalam hati.
Untuk menghilangkan rasa bosan, aku lalu membaca majalah yang memang sengaja aku bawa dari tempat kos. Sebab aku tahu, dalam sebuah perjalanan itu pasti akan ada saat yang membosankan. Dan ternyata perkiraanku tidak meleset. Setengah jam kemudian, Nova baru muncul di dalam ruang tunggu penumpang. Dia segera datang menghampiriku.
"Maaf banget ya, San. Kamu kelamaan ya nunggunya," kata Nova dengan mimik wajah bersalah. Dia lalu duduk di sebelahku.
"Nggak apa-apa kok, Va. Belum seharian ini. Dan aku belum keburu jamuran," ucapku sambil cemberut, membuat Nova terkekeh mendengarnya.
"Iya maaf-maaf," kata Nova sembari memelukku, masih dengan terkekeh.
"Kita langsung naik bus aja sekarang yuk, Va. Biar cepet sampai pelabuhan," ajakku sambil beranjak dari tempat duduk.
Nova mengangguk setuju. "Iya, San," kata Nova sembari berdiri.
Kami berdua kemudian naik bus AC yang akan menuju ke Pelabuhan Bakauheni. Aku dan Nova sengaja memilih tempat duduk tepat di belakang supir yang kebetulan masih kosong, agar tempatnya agak longgar, sehingga kami bisa leluasa meluruskan kaki ke depan dan menaruh tas berisi barang bawaan kami.
Tak sampai satu jam kemudian, bus yang kami tumpangi sudah penuh terisi penumpang yang akan pergi ke arah Pelabuhan Bakauheni. Maka, bus segera berjalan perlahan meninggalkan Terminal Bus Rajabasa.
Di sepanjang jalan menuju Pelabuhan Bakauheni, aku dan Nova tak saling banyak bicara. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Nova yang duduk di sebelah kaca jendela bus, pandangannya sesekali melihat ke arah di luar sana. Meskipun aku yakin, dia hanya sekadar iseng. Sebab hari sudah menjelang waktu magrib dan suasana di luar pun mulai gelap. Nova lebih sering tampak melamun. Entah apa yang dilamunkan olehnya. Barangkali saja Nova sedang memikirkan masalah yang tengah dia hadapi saat ini.
Kasihan Nova, aku membatin. Dia tak punya tempat untuk mengadukan masalahnya. Sejak kedua orang tuanya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan lalu lintas dua tahun yang lalu, gadis itu tinggal sendirian di rumah peninggalan mendiang kedua orang tuanya. Dua orang kakak lelaki Nova sudah berkeluarga dan mereka tinggal bersama dengan keluarga mereka masing-masing di luar kota. Sedangkan adik semata wayangnya, Yulhendri, juga tidak tinggal dengan Nova. Meskipun Iyul belum menikah, tapi dia memilih untuk tinggal di tempat kos yang lokasinya dekat dengan tempat kerjanya. Sahabatku itu pasti merasa kesepian, tinggal sendiri di rumah yang lumayan besar. Aku beberapa kali pernah menginap di sana, kalau kebetulan ada pelatihan atau seminar di provinsi. Atau kalau Nova memintaku untuk menemaninya, jadi aku amat tahu keadaan rumah itu.
Sekitar satu setengah jam dalam perjalanan, suasana di dalam bus mulai sepi. Tak ada lagi suara penumpang yang mengobrol, seperti ketika bus baru berangkat dari Terminal Rajabasa tadi. Aku menoleh ke arah jendela, terlihat Nova sudah tertidur dengan nyenyaknya. Aku lalu mengalihkan pandangan ke samping kiri, dua orang penumpang yang duduk di bangku sebelahku pun tampak sedang tertidur. Begitu juga dengan penumpang yang duduk di bangku belakangnya. Hanya tinggal Pak Supir dan Pak Kernet yang masih mengobrol. Mungkin untuk menghilangkan rasa kantuk yang menyerang.
Kurang lebih tiga jam dalam perjalanan, akhirnya bus yang kami tumpangi sampai di halaman Pelabuhan Bakauheni. Pak Supir segera mematikan mesin bus.
"Bangun … ayo bangun … Bapak-Bapak, Ibu-Ibu ayo bangun … kita sudah sampai di Pelabuhan Bakauheni," kata Pak Kernet sembari berjalan menuju ke belakang, dengan menepuk-nepuk bangku penumpang supaya para penumpang bus segera bangun.
"Va … Nova … bangun, Va. Kita sudah sampai pelabuhan," kataku membangunkan Nova, seraya menggoyang-goyangkan tangannya agar dia bangun.
Perlahan Nova membuka matanya, lalu menguap sebentar sambil mengucek-ucek mata.
"Jam berapa sekarang, San?" tanya Nova seraya memandangku.
Aku melihat jarum jam di pergelangan tangan kiriku.
"Jam sembilan lewat. Kita langsung naik kapal aja ya, Va. Nggak usah nunggu lagi."
Nova mengangguk. "Iya, San."
Kami berdua lantas mengemasi barang-barang bawaan kami, agar tidak ada yang tertinggal dalam bus. Kami sengaja menunggu penumpang bus yang lain turun semua, supaya tidak berdesakan.
Begitu turun dari dalam bus, aku dan Nova langsung menuju ke loket pembelian karcis. Setelah itu, kami segera menuju ke dermaga lima, dimana kapal ferry yang akan membawa kami menyeberangi Pulau Sumatera bersandar. Ternyata letak dermaga lima lumayan jauh, membuat kakiku terasa agak pegal karena harus berjalan sejauh itu. Aku melirik ke arah Nova yang berjalan di sebelahku, dengan ekor mata. Sahabatku itu sepertinya tak begitu peduli dengan jarak dermaga yang lumayan jauh. Dia tak tampak kelelahan, padahal keringat di badanku sudah mengalir lumayan deras.
Sekitar dua puluh menit akhirnya aku dan Nova sampai di depan sebuah kapal yang sedang bersandar. Di badan kapal tersebut tertulis nama 'JATRA'. Bergegas kami masuk dan mencari tempat duduk di dalamnya. Dan kami memilih bangku panjang yang ada di paling belakang di sudut sebelah kiri ruangan kapal. Aku segera menaruh barang bawaanku di bangku tersebut, lalu meluruskan kaki yang kian terasa pegal.
"Kita mau cari makan apa, San? Perutku sudah lapar, soalnya dari siang belum makan," tanya Nova setelah dia duduk di pinggir, dekat jendela.
"Pop mie aja ya, biar cepet dan gampang. Udah itu kita bisa istirahat," jawabku.
Nova mengangguk setuju. Aku lalu berdiri, bermaksud mencari orang yang biasanya menjual makanan di dalam kapal. Tampak seorang penjual di depan sana. Aku segera memanggilnya dengan menggunakan tangan kanan sebagai isyarat kalau aku akan membeli dagangannya.
"Mau beli apa, Mbak?" tanya lelaki penjual itu setelah berada di dekatku.
"Minta pop mie dua, Pak," jawabku.
Maka dengan cekatan bapak penjual makanan itu menyiramkan air panas ke dalam cup pop mie setelah membuka tutupnya. Setelah aku membayar, lelaki penjual makanan itu pun berlalu, menawarkan dagangannya ke penumpang yang lain.
"Apa nanti begitu turun dari kapal kita langsung ke rumah Abah Karta, Va?" tanyaku, saat kami sedang menikmati pop mie.
"Nggak, San. Kita nanti nginap di rumah saudaraku dulu yang ada di Serang. Sekalian tanya alamat rumah Abah Karta ke dia. Mungkin om dan tanteku tahu, di mana tempatnya. Besok pagi baru kita pergi ke rumah Abah Karta," jawab Nova enteng, seraya menyuap pop mie ke mulutnya, membuat aku hampir tersedak karena kaget.
Aku melongo sembari menatap wajah sahabatku itu. Setengah tak percaya dengan apa yang baru saja Nova katakan. Aneh sekali dia, masa iya kami berdua mau mendatangi rumah seseorang, tapi dia tidak tahu alamat pasti rumah orang yang akan kami datangi tersebut. Nanti kalau ternyata kami berdua salah alamat dan tersesat bagaimana? Kan malah bikin masalah baru?
"Loh … memangnya kamu belum tahu alamat rumahnya Abah Karta, Va?" tanyaku memastikan. Mataku menatap wajah gadis itu lekat-lekat. Aku berharap kalau dia hanya sedang bergurau dengan apa yang tadi dia ucapkan. Namun ternyata Nova tidak sedang bercanda, dia memang betul tidak tahu alamat rumah Abah Karta ada di mana.
Nova menggeleng. "Aku nggak tahu pasti alamat rumah Abah Karta ada di mana, San. Makanya nanti kita pergi ke rumah Tante Ningsih dan Om Dedi dulu. Aku mau tanya alamat itu ke mereka. Semoga aja om dan tanteku itu tahu di mana pastinya," jawab Nova acuh, membuatku makin melongo.
"Memangnya Iyul nggak kasih alamat Abah Karta yang detail ke kamu, Va? Nama kampungnya apa, nama jalannya apa, rt dan rw berapa? Kamu kan waktu itu bilang, kalau dia udah pernah datang ke sana?" tanyaku lagi.
"Waktu aku tanya, Iyul bilang dia juga udah lupa arah jalannya, soalnya dia ke sana udah lama. Dia cuma kasih alamat desanya aja. Itu juga cuma yang dia inget," jawab Nova enteng, seolah hal tersebut bukanlah suatu masalah penting yang harus kami pikirkan.
Aku menarik napas dalam seraya menggaruk kepalaku yang tak gatal. Benar-benar aneh dan bikin bingung jalan pikiran sahabatku itu.
Setelah itu kami tak bicara lagi, dan melanjutkan makan pop mie yang sempat terhenti.
"Aku mau salat dulu, Va. Kamu mau ikut nggak? Apa kita gantian aja salatnya?" tanyaku, begitu kami selesai makan.
"Kamu salat aja dulu, San. Biar aku nunggu di sini, sekalian jagain tas kita," jawab Nova.
"Oke kalau gitu. Aku ke musala dulu ya," ucapku sembari bangkit dari duduk. Lalu menuju ke pintu, dan mencari musala yang letaknya ada di lantai atas.
***
Bersambung

Comentário do Livro (218)

  • avatar
    Fino Chipeng

    lopee

    1d

      0
  • avatar
    CHANNELBETAWI

    sangat bagus

    6d

      0
  • avatar
    Adenata123Arganta yuda

    halo

    17d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes