logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bersekutu Dengan Iblis

Bersekutu Dengan Iblis

Ryanti


Capítulo 1 Cerita Nova

Bersekutu Dengan Iblis
Part 1
***
Tok … tok … tok ….
Terdengar suara ketukan di pintu ruang KIA (kesehatan ibu dan anak), ruangan kerjaku. Saat aku baru saja selesai melakukan pemeriksaan terhadap pasien ibu hamil terakhir, yang datang berkunjung ke Puskesmas Sehat, tempat dimana aku ditugaskan sebagai seorang PNS (pegawai negeri sipil) melalui SK (surat keputusan) Kepala Kanwil (kantor wilayah) Kesehatan Provinsi Lampung dan surat tugas dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten pada penerimaan CPNS (calon pegawai negeri sipil) enam tahun yang lalu, setelah aku berhasil menyelesaikan kuliahku di sebuah Poltekkes tiga bulan sebelumnya.
Dan kebetulan, di Puskesmas Sehat, aku memegang jabatan sebagai bidan koordinator KIA, sebab hanya aku satu-satunya bidan yang bertugas di tempat tersebut, menggantikan bidan koordinator sebelumnya yang sudah pensiun sejak enam bulan yang lalu. Sedangkan teman sejawat bidan yang lain, oleh kepala puskesmas ditempatkan di Pustu (puskesmas pembantu) yang ada di wilayah kerja Puskesmas Sehat.
"Sebentar," ucapku, seraya mencuci tangan.
"Periksa hamilnya sudah selesai, Bu. Silakan Ibu duduk kembali di kursi, nanti akan saya tuliskan resep obat yang harus Ibu minum," kataku pada pasien ibu hamil yang baru saja aku periksa.
Tanpa banyak bicara, pasien hamil itu segera turun dari bed ginekologi, lalu duduk di kursi yang ada di depan meja kerjaku. Aku lantas menuju ke pintu dan membukanya.
Tampak Nova, sedang berdiri di depan pintu, begitu pintu ruang KIA terbuka. Nova adalah sahabatku sejak masa kanak-kanak dulu. Sebab rumah kedua orang tua kami kebetulan berdekatan, cuma selisih tiga rumah dari rumah tetangga yang lain. Hanya ketika kami kelas 3 SMA semester dua, kedua orang tua Nova menjual rumah mereka. Lalu dia beserta keluarganya pindah ke provinsi. Sahabatku itu dan keluarganya menempati rumah peninggalan mendiang neneknya. Meskipun demikian, kami berdua tetap bersahabat, karena Nova tidak ikut pindah sekolah.
"Tanggung, San. Sebentar lagi kan kita udah mau lulus. Malah nanti ribet kalau aku nyari sekolah yang baru, padahal nggak sampai setengah tahun lagi kita udah mau ujian kelulusan," jawab Nova, saat aku tanyakan padanya kenapa dia tidak pindah sekolah saja di provinsi. Dan dia memilih untuk tinggal di rumah salah satu kerabat orang tuanya yang kebetulan satu gang dengan rumahku.
Aku dan Nova selalu bersekolah di tempat yang sama dari mulai TK, SD, SMP dan SMA. Bahkan ketika kuliah pun kami mendaftar di sebuah Poltekkes yang sama yang ada di provinsi. Hanya beda jurusan. Aku mengambil jurusan kebidanan, sedangkan Nova memilih jurusan keperawatan. Dan entah merupakan suatu kebetulan atau bukan, begitu lulus kuliah enam tahun yang lalu, kami juga kemudian ditugaskan di tempat yang sama, Puskesmas Sehat, hingga saat ini.
Lokasi Puskesmas Sehat berada lumayan jauh dari rumah kedua orang tuaku. Sehingga aku memutuskan untuk mencari tempat kos di sekitar puskesmas saja. Agar aku bisa tepat waktu saat berangkat kerja dan tidak terlalu lelah karena harus pulang pergi setiap hari. Dan pada setiap hari Sabtu sore aku pulang ke rumah atau jika ada hari libur. Sedangkan Nova berangkat kerja tetap pulang pergi, karena kebetulan jarak puskesmas yang masih bisa dijangkau dari rumah kedua orang tuanya.
"Ada apa, Va?" tanyaku.
"Kamu masih sibuk nggak, San?" Nova balik bertanya.
"Nggak sih, aku baru rampung periksa pasien ibu hamil yang terakhir. Tinggal kasih resep aja," jawabku. "Ayo masuk dulu," kataku sembari membuka pintu lebih lebar.
Tanpa disuruh dua kali, Nova pun segera masuk ke dalam ruangan. Dia lalu duduk di bed ginekologi. Aku kemudian kembali meneruskan pekerjaanku. Menulis hasil pemeriksaan pasien hamil tadi di buku KIA miliknya, dilanjutkan dengan menuliskan resep obat yang harus dia minum.
"Nanti tablet tambah darahnya harus diminum setiap hari satu ya, Bu. Satu bungkus itu isinya ada 30 tablet. Ibu harus minum sampai habis. Bulan depan Ibu datang periksa lagi ke sini kalau obatnya udah habis. Efek tablet tambah darah itu akan timbul rasa mual, jadi sebaiknya Ibu minumnya malam hari aja, waktu mau tidur, biar nggak begitu kerasa mualnya," jelasku pada pasien hamil itu. Sebab ini merupakan kehamilan anak yang pertama dan dia baru sekali ini memeriksakan kandungannya ke tenaga kesehatan.
Aku juga memberikan beberapa penyuluhan yang lain, terkait dengan kehamilannya. Tentang makanan dan minuman apa saja yang sebaiknya dia konsumsi selama dalam masa kehamilan, perawatan payudara, agar kelak saat si bayi bahir, produksi ASI si ibu cukup untuk menyusui bayinya, imunisasi TT (tetanus toxoid, yaitu imunisasi untuk mencegah terjadinya tetanus pada bayi ketika proses persalinan berlangsung), apa saja yang harus dia lakukan selama hamil dan lain sebagainya. Aku memberikan penjelasan dengan panjang lebar, dan mempersilakan pada si ibu untuk bertanya jika ada hal yang belum dia mengerti.
Ibu hamil itu manggut-manggut mendengarkan penyuluhanku dan dia sama sekali tak bertanya satu pun ketika aku selesai bicara, tanda kalau dia sudah mengerti dan paham dengan apa yang aku jelaskan padanya.
"Baik, Bu Bidan, saya akan ikuti semua saran dan apa yang sudah Bu Bidan jelaskan tadi. BDan bulan depan saya akan datang lagi ke sini, setelah tablet tambah darahnya habis," ucapnya sambil beranjak dari tempat duduk. Dia lantas permisi keluar dari ruangan KIA, setelah mengucapkan terima kasih padaku.
"Ada apa, Va? Kamu mau ngomong apa? Kok kayak yang serius banget gitu," tanyaku, setelah pasien ibu hamil tadi berlalu. Aku sambil memindahkan hasil pemeriksaan semua pasien ibu hamil yang datang berkunjung hari ini, ke dalam buku register kohort ibu (buku sumber data pelayanan ibu hamil dan bersalin serta keadaan atau resiko yang dimiliki oleh ibu, agar memudahkan untuk mengambil tindakan atau mengantisipasi keadaan yang tidak diinginkan)
Nova turun dari atas bed ginekologi lalu menutup pintu ruangan KIA. Gadis itu kemudian duduk di kursi yang ada di depan meja kerjaku, bekas ibu hamil tadi dudu, sehingga kami saling duduk berhadapan. Aku perhatikan sekilas wajah sahabatku itu, tampak murung. Tidak ceria seperti biasanya.
Nova menarik napas dalam. Dia seolah ragu akan mengatakan sesuatu. Dengan sabar aku menunggu Nova bicara, seraya melanjutkan menulis.
"San, temani aku pergi ke Banten yuk," kata Nova akhirnya, setelah sekitar lima menit aku dan Nova saling diam.
Aku menghentikan pekerjaanku, lalu mengangkat wajah, seraya menautkan kedua alis. Beberapa saat aku memandang wajah gadis yang sedang duduk di depanku itu.
"Memangnya kamu mau ngapain pergi ke Banten, Va? Kamu mau ke rumah siapa di sana?" tanyaku heran. Sebab yang aku tahu, Nova itu anak rumahan, sama seperti aku. Tak suka pergi jauh dari rumah. Sejak kecil dulu, kami selalu bermain bersama. Nova sering bermain di rumahku, dan begitu juga sebaliknya. Tak jarang aku bermain di rumah Nova. Aku dan Nova sudah menganggap rumah kedua orang tua kami masing-masing adalah rumah kami sendiri. Oleh sebab itu, aku juga mengenal baik dan akrab dengan keluarga Nova. Pun sebaliknya, Nova juga demikian terhadap keluargaku. Dan tiba-tiba sekarang Nova mengajak aku pergi ke Banten, tentu saja aku merasa heran.
Nova menghela napas dalam, seakan ada sebuah beban berat yang sedang dia pikul. Wajahnya kian tampak murung.
"Kamu mau ngapain pergi ke Banten, Va?" tanyaku mengulangi, setelah hampir tiga menit dia tak juga menjawab pertanyaanku.
Gadis itu menatap wajahku lekat-lekat. Seolah sedang mencari sesuatu di dalam manik mataku. Aku mengernyitkan kening, merasa heran dengan tingkah laku Nova dan membuatku jadi merasa penasaran.
"Ngomong aja, Va. Nggak usah sungkan atau ragu. Bukankah kita sudah saling kenal dan bersahabat sejak lama? Kamu tahu aku kan, insya Allah aku bisa jaga rahasia, kalau memang apa yang akan kamu katakan nggak boleh ada orang lain yang tahu selain kita berdua," ucapku, sebab Nova tak juga mengatakan apa maksud kepergiannya ke Banten, mau apa dan mau ke rumah siapa di sana.
Sekali lagi Nova menarik napas dalam. Meskipun terlihat masih ada keraguan di wajahnya, tapi dia akhirnya mau mengatakan maksudnya mengajak aku pergi ke Banten. Aku mendengarkan cerita sahabatku itu dengan saksama, tanpa memotong sedikit pun kalimat yang dia ucapkan.
"Kamu mau kan, San. Nganterin aku pergi ke Banten?" tanya Nova, setelah dia selesai bercerita.
Sejenak aku bergeming, tak tahu harus menjawab apa. Karena terus terang saja, aku merasa bingung. Aku tahu masalah yang sedang dihadapi oleh Nova bukan masalah sepele. Tapi aku juga tidak tahu harus berbuat apa untuk bisa membantunya mengatasi masalah tersebut. Kalau aku berada di posisi Nova saat ini, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan.
"Terus kamu mau pergi ke tempat siapa di Banten, Va?"
"Ke rumah dukun, San. Namanya Abah Karta. Aku dengar dia bisa mengatasi semua masalah dan kesulitan kita. Aku mau minta tolong ke Abah Karta untuk membantu masalahku ini," jawab Nova bersemangat.
"Kamu tahu dari mana soal Abah Karta? Dan apa kamu yakin, kalau dia akan bisa bantu masalah kamu ini?" tanyaku memastikan.
Nova mengangguk mantap. "Aku yakin banget, San. Abah Karta pasti bisa bantu aku mengatasi semua masalahku ini. Aku tahu dia dari Iyul. Temannya Iyul udah beberapa kali pergi ke rumah Abah Karta dan minta tolong ke dia karena terbukti manjur." Nova bercerita dengan semangat. Wajahnya terlihat sumringah, menggambarkan kalau dia begitu berharap pada dukun bernama Abah Karta itu. Sedangkan Iyul adalah nama panggilan akrab adik bungsu Nova. Nama lengkapnya Yulhendri.
"Kamu mau ya, San. Tolong temani aku pergi ke Banten," tanya Nova, setelah dia selesai bercerita tentang Abah Karta yang menurutnya amat hebat.
Aku menghela napas dalam.
"Aku bukannya nggak mau nemenin kamu pergi ke Banten, Va. Tapi yang aku tahu, kalau kita pergi ke rumah dukun dan minta tolong sama dia, itu adalah perbuatan syirik, Va. Dan syirik adalah dosa besar yang nggak akan diampuni oleh Allah kalau kita nggak segera tobat. Karena sama saja kita sudah menyekutukan Allah, dengan meminta tolong kepada selain Allah," jelasku panjang lebar, mencoba mengingatkan Nova agar dia mau mengurungkan niatnya pergi ke Banten menemui Abah Karta.
"Sekali ini saja, San. Tolong temani aku pergi ke sana. Aku janji, setelah pulang dari rumah Abah Karta nanti, aku nggak akan ajak kamu lagi pergi ke sana," pinta Nova dengan wajah memelas, membuat aku jadi tak tega untuk menolak permintaannya.
"Jadi kapan rencana kamu mau pergi ke sana, Va?" tanyaku akhirnya, setelah sekitar tiga menit aku dan Nova saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Nova menatapku seakan tak percaya. Matanya membeliak lebar. Bibirnya tersenyum tipis.
"Kamu beneran mau nemenin aku pergi ke Banten, San?" tanya Nova dengan mata berbinar. Kentara sekali kalau dia merasa amat senang.
Aku mengangguk. "Iya, Va. Aku mau temani kamu pergi ke rumah Abah Karta. Tapi kamu betulan janji ya, setelah itu nggak akan pergi ke sana lagi," jawabku, meskipun aku sendiri sebetulnya tidak yakin dengan ucapanku itu.
Nova terlihat senang. Senyum di bibirnya semakin lebar. "Iya, San. Aku janji sama kamu, aku nggak akan pernah lagi pergi ke rumah Abah Karta setelah kita pulang dari sana nanti," ucapnya mantap. "Makasih banyak ya, San. Kamu memang sahabatku yang paling baik," kata Nova dengan wajah berbinar, seraya menggenggam jemariku.
Aku hanya bisa mengangguk sambil tersenyum menanggapi ucapan gadis yang duduk di depanku ini.
"Terus kita jadi mau berangkat ke sana kapan, Va?" tanyaku mengulangi.
"Kita berangkat dari sini hari Jumat sore sehabis pulang kerja aja, San. Kan hari Sabtu, Minggu sama Senin kebetulan tanggal merah. Jadi kita bisa langsung pulang lagi ke sini dan masih bisa istirahat sehari, setelah dari rumah Abah Karta," lanjut Nova.
Aku dan Nova selanjutnya merencanakan tentang keberangkatan kami pada hari Jumat yang akan datang, yang masih satu minggu lagi. Pukul berapa dan di mana kami berdua akan bertemu pada hari Jumat minggu depan.
"Oke, berarti udah fix ya, rencana kepergian kita besok. Nggak perlu dirubah lagi kan. Semoga aja nggak ada halangan sampai hari Jumat minggu depan. Sekarang aku mau kembali lagi ke ruanganku ya, San. Nggak enak sama teman yang lain, udah kelamaan di sini," kata Nova sambil melihat jam yang ada di dinding ruang KIA. Waktu sudah menunjukan pukul dua belas kurang tujuh menit.
"Iya, Va," kataku seraya ikut melihat ke arah jarum jam dinding itu. Ternyata tidak terasa sudah hampir satu jam lamanya Nova berada di ruanganku. Memang sudah tidak ada lagi pasien yang datang berkunjung ke puskesmas untuk dilayani, karena sudah waktunya jam pulang kerja. Tapi tetap saja tidak enak rasanya jika tidak berada di ruangan dalam waktu yang lama pada saat jam kerja.
"Sekali lagi terima kasih banyak ya, San. Kamu sudah mau nemenin aku besok pergi ke Banten," kata Nova sembari beranjak dari tempat duduknya. Dia lalu keluar dari ruang KIA dan menutup kembali pintunya. Sementara aku masih termangu memikirkan apa yang baru saja terjadi di antara kami. Antara sadar dan tidak.
***
Bersambung

Comentário do Livro (218)

  • avatar
    Fino Chipeng

    lopee

    1d

      0
  • avatar
    CHANNELBETAWI

    sangat bagus

    6d

      0
  • avatar
    Adenata123Arganta yuda

    halo

    17d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes