logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

3. Dia, Genta

Artha berjalan menyusuri koridor bersama Ifan yang melangkah disebelahnya. Laki-laki itu ngotot ingin mengantar Artha ke kelasnya yang berada di lantai tiga. Artha merasa seperti seorang adik saat bersama Ifan. Ah, memalukan sekali.
Langkah mereka terhenti di depan kelas Artha. Ifan menengok ke dalam, melihat siapa saja yang sudah menghuni kelas itu pagi ini. Meli dan dua kembang tahu lainnya menatap Ifan yang kebetulan menengok ke arah mereka. Senyum Meli merekah, percaya diri kalau Ifan datang untuk menemuinya.
Ifan kembali menatap Artha yang berdiri hidapannya. Kakaknya itu sangat pendek, hanya sebatas leher Ifan. Kalau berdiri di dekat Rigan, Artha hanya setinggi dada laki-laki itu.
"Apa?" tanya Ifan pada Artha yang masih menatapnya.
Artha mendengus. "Udah nyampe kan? Pergi sana!" usir Artha.
"Idih, bukannya bilang makasih malah ngusir," cibir Ifan.
"Makasih buat apaan? Aku juga nggak minta dianterin," sungut Artha dengan wajah masam.
Ifan menghela nafas dan memilih diam, tak mengubris ucapan Artha. Laki-laki itu mengulurkan tangannya, mengacak puncak kepala kakak tersayang. Ifan memasang senyum manis. "Yaudah, gue ke kelas. Nanti pulangnya sama gue. Jangan mau di tebengin sama siapapun."
"Iya. Iya. Heran, yang adek itu aku atau kamu sih?" decak Artha tak habis fikir.
Ifan mengedikkan bahunya. Dia menatap ke dalam kelas sekali lagi. Tatapan para penghuninya terpusat pada Ifan dan Artha. Sontak, senyum jahil terbit di bibir laki-laki itu. Dengan gerakan cepat, dia mencium pipi Artha membuat si empunya dan para penonton melotot. Setelahnya, Ifan berlari secepat kilat sembari cekikikan.
"IFAN!"
"I LOVE YOU TU KAK ARTHA!" balas laki-laki itu. Laknat sekali jadi adik. Sekarang, Artha ingin menghilang saja dari bumi. Teman-temannya menatap Artha dengan sorot interogasi.
"Pagi," sapa Artha memasang senyum manis yang terlihat kaku.
Tak ada satupun yang menyahut sapaan Artha. Mereka kembali fokus pada aktivitas masing-masing, membuat Artha menghela nafas pelan. Sepertinya warga Ips2 belum menerima kehadirannya.
Dengan wajah yang tak bersemangat, Artha melangkah mendekati tempat duduknya. Dia melirik ke samping, Aca belum datang ternyata. Pantas saja kelas sepi.
Artha kembali menatap ke depan dan tiba-tiba tersentak karena bangku yang kosong itu sudah diduduki pemiliknya. Tirtha melempar senyum manis. "Pagi, Artha."
"Hm, pagi," balas Artha masih kaku.
Tirtha tergelak. "Nggak usah kaku begitu. Sama gue santai aja."
Artha hanya membalas dengan senyuman. Permbicaraan mereka hanya sampai disana karena guru yang mengajar pagi ini telah datang disusul Aca dan Maja yang melangkah di belakang Pak Aliq, guru matematika.
"Pagi anak-anak!" sapa Pak Aliq meletakkan buku yang dia bawa diatas meja guru secara kasar, membuat sebagian siswa siswi terkejut.
"Pagi, Pak!" balas mereka.
Pak Aliq menatap seluruh anak didiknya. "Silahkan kumpulkan tugas yang saya kasih kemarin. Siapa yang tidak mengerjakan, berdiri di luar kelas sambil mengangkat satu kaki!" titah guru itu tak terbantahkan.
Semua murid kalang kabut, menatap Genta dengan sorot tanya dan panik. Genta mengangkat bahunya tak peduli. Dia lantas bangkit, menghampiri meja Artha. Semua penghuni kelas mengeryit.
"Tugas lo?" tanyanya sembari menengadahkan tangan.
"Yang kemarin?" tanya Artha.
"Hm."
Artha memberikan bukunya pada Genta. Setelah menerima buku Artha, Genta berlalu pergi. Melangkah mendekati meja Serana untuk mengambil tugas gadis itu. Kemudian memberikan tugas itu pada Pak Aliq.
"Cuma tiga orang?" tanya Pak Aliq tak percaya. Kemana 25 murid lainnya?
"Saya udah ngasih tau mereka tentang tugas, tapi mereka nggak dengerin. Malah asik sama kegiatan masing-masing," ujar Genta pada Pak Aliq sebelum mendengar protesan dari warga Ips2.
"Eh, tugas gue!" pekik Maja teringat dengan tugasnya yang sudah selesai namum belum dikumpulkan.
"Ada lagi? Atau cuma empat orang ini yang punya telinga?" tanya Pak Aliq mengangkat empat buah buku yang ada di genggamannya.
"Perasaan lo nggak ngasih tau kita deh, Gen," protes Nuri.
"KOK ACA NGGAK TAU?! LO KOK BISA BIKIN TUGAS SIH, THA?!" teriak Aca kesal.
"Lo semua keasikan nonton aksi kejar-kejaran Maja sama Aca," balas Genta datar.
25 murid mendesah kecewa. Mereka bangkit dari tempat duduk masing-masing. Berjalan dengan raut wajah kesal keluar dari kelas. Mereka terlalu sportif untuk menjalankan hukuman tanpa harus di giring seperti anak ayam. Ya, karena mereka tahu, melawan sama saja dengan meminta hukuman tambahan.
Artha terdiam sejenak saat menyadari situasi di kelas. Hanya empat orang yang mengerjakan termasuk dirinya. Artha saja tidak tahu jika Pak Aliq meninggalkan tugas. Kalau saja Genta tidak memberinya contekan, Artha pasti akan ikut dihukum. Eh, tunggu dulu, berarti secara tidak langsung Genta telah memyelamatkannya dari amukan Pak Aliq. Atau memang Genta sedang gabut dan main lempar buku dan suruh-suruh. Ayo Artha, tidak boleh baper. Anggap saja itu sebuah pertolongan tanpa sengaja. Tapi kenapa hanya pada dirinya Genta memberi contekan?
"Baiklah. Yang empat ini, silahkan kerjakan tugas di buku paket halaman 54." titah Pak Aliq.
"Baik, Pak."
"Yasudah, bapak keluar dulu. Mau ngasih hukuman buat teman-teman kalian." pamit Pak Aliq.
"Tapi, Pak." Artha mengacungkan tangannya. "Saya masih belum punya buku paket."
"Pake buku gue," ujar Genta melemparkan buku paketnya ke arah Artha. Hampir saja kepala Artha ketimpuk buku paket berisi 100 halaman itu. Untung saja reflek tangkapnya bagus.
"Yang sopan ngasihnya Genta," tegur Pak Aliq. Genta hanya menatap Pak Aliq datar.
"Bapak keluar dulu. Kalian jangan berisik," pamit Pak Aliq sekali lagi kemudian berlalu pergi.
Suasana kelas hening. Bagaimana tidak, penghuninya saja tinggal empat. Biang onarnya ada sih, si Maja. Tapi ya anak itu terlihat kalem. Fokus pada bukunya.
Serana yang duduk berkelompok dengan Genta dan Maja menatap Artha yang duduk sendirian dibangkunya. Terbesit dalam hati untuk mengajak gadis itu bergabung bersama mereka. Kasihan duduk sendirian seperti itu.
"Artha," panggil Serana.
Artha menoleh, menatap Serana dengan kedua alis terangkat. Serana terkekeh pelan. "Duduk disini, jangan disitu. Kita kerjain latihannya sama-sama," ajak Serana.
"Boleh emangnya?" tanya Artha.
"Ya boleh dong, kita kan temen."
Artha mengangguk. Dia bangkit, membawa bukunya mendekati kelompok Serana. Menarik meja dan kursi lalu duduk disana. Maja sempat mendongak sebentar, menatap Artha dan melempar senyuman. Setelahnya dia kembali menunduk, fokus menulis.
Sementara Genta, laki-laki itu juga sempat menatap Artha yang mulai sibuk dengan bukunya. Gadis itu nampak fokus padahal hanya menggaris pinggiran buku. Artha mendongak, Genta langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Pi--"
Suara kaki kursi yang beradu dengan lantai memotong ucapan Artha yang belum sampai separuh keluar. Genta bangkit, menatap Artha dan Serana datar. "Ser, izin ke toilet."
"Ya. Jangan lama-lama." balas Serana tanpa menatap wajah Genta.
Laki-laki itu hanya berdeham. Dia melangkah melewati Artha dan lengan laki-laki itu menyenggol bahu Artha. Seperti disengaja, atau mungkin memang tidak disengaja.
Artha menoleh ke belakang, menatap punggung Genta yang mulai lenyap dari pandangannya. Artha menggaruk keningnya bingung. Kenapa laki-laki dikelas ini aneh? Hanya Maja saja yang terlihat normal.
"Kenapa, Tha? Ada yang nggak bisa dikerjain?" tanya Serana dengan suara lembutnya.
"Hm, aman." sahut Artha lanjut menyelesaikan tugasnya.
***
Bel istirahat berbunyi, membuat seluruh penghuni kelas berhamburan keluar, menyisakan Artha dan Tirtha yang tidur berbantalkan lengan berkasur meja. Aca sendiri pergi menemui guru Bahasa. Katanya ada perlu dengan guru itu.
Artha mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas. Matanya yang bergerak ke sana kemari terkunci pada Genta yang tengah menatap ke arah dirinya. Ah, Artha melupakan anak itu. Si ketua kelas juga ada di sana rupanya.
Mereka bertatapan cukup lama. Mata tajam dengan sorot dingin itu menyelami manik coklat milik Artha. Sikap ketua kelas itu terlalu aneh. Dingin dan berbicara seadanya. Tingkah lakunya juga membuat Artha bingung. Oh ya, mereka tidak saling kenal tapi sudah saling tatap-tatapan. Artha takut Genta jatuh cinta padanya. Hadeuh, Artha mengerjap, menepuk pelan kepalanya. Khayalan anak rumahan terlalu ngawur. Semua cowok yang menatap dirinya di sangka naksir.
Artha mengalihkan pandangannya ke depan. Menatap papan tulis berisi coretan gabut Aca. Merasa ditatap seseorang, Artha melirik ke arah Genta melalui ekor mata. Betul saja, ketua kelas ganteng itu masih menatap dirinya. Bulu kuduk Artha jadi meremang kalau ditatap begitu. Dia jadi ingin  berlari keluar dari kelas.
"Nggak ke kantin?" seru Genta yang duduk di meja paling kiri, bersandar pada dinding.
Artha tercekat. Seperti si sapa setan rasanya. Gadis itu menoleh, menatap Genta yang sudah bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah Artha. "Kantin ada di samping mushala kalau lo nggak tau," ujarnya memberitahu. Genta menarik kursi Aca mendekat ke arah Artha lalu duduk disana.
Artha sendiri masih geming. Tak tahu harus menanggapi ucapan Genta dengan kalimat apa. Jantung Artha berdetak cepat karena jarak Artha dan Genta lumayan dekat.
"Kenapa diem? Sariawan?" tanya Genta lagi. Ketua kelas yang terkenal dingin dan datar itu tiba-tiba cerewet. Sifatnya betulan susah ditebak.
Artha menggeleng. "Kamu sendiri kenapa nggak ke kantin?"
"Males. Nggak ada temen," jawabnya melipat tangan ke belakang kepala. "Lo mau nemenin gue ke kantin?"
Artha tersentak. "Hah?"
Genta menggeleng. Kalian harus ingat, Genta bicara dengan air muka datar. "Kantin yuk, makan."
"Kamu duluan. Aku mau nunggu Aca aja," jawab Artha sedikit tak enak menolak ajakan baik Genta.
Alis Genta terangkat sebelah. Kemudian laki-laki itu mengangguk dan berlalu pergi tanpa mengatakan apapun. Membuat kening Artha berkerut bingung. Benar-benar aneh.
Tak ingin memikirkan Genta lebih dalam dan membuat kepalanya pusing, Artha memilih merebahkan kepalanya menghadap ke samping. Dia memejamkan matanya, berniat tidur. Meskipun tidak ke kantin, setidaknya Artha tidur ditemani Tirtha yang juga tidur di depannya.
Namun, belum beberapa menit matanya terpejam, kini sudah kembali terbuka karena sesuatu yang hangat menempel di pipinya. Dia tersentak, menegakkan kepalanya saat mendapati Genta menempelkan seplastik cilok ke pipinya.
"Titipan dari anak kelas sepuluh," ujarnya meletakkan seplastik cilok itu di atas meja.
Artha menatap Genta bingung. "Siapa?"
"Rifan, anak Ips3," jawab Genta yang sudah duduk di kursi Aca.
Artha manggut-manggut. Rifan anak Ips3 itu Ifan. Adik tersayang yang suka merangkap jadi abang.
"Ada hubungan apa sama Rifan? Kalian keliatan akrab." Genta bertanya penasaran tapi raut mukanya masih datar. Tidak ada senyum atau yang manis-manis disana.
Artha terkekeh dalam hati. Rupanya Genta tidak tahu kalau Ifan itu adik Artha. "Oh itu, dia a--"
"ASSALAMUALAIKUM! ANAK SHOLEHAH COMEBACK!" teriak Maja memotong ucapan Artha. Laki-laki datang bersamaan dengan Aca.
Aca yang berjalan di belakang Maja menempeleng kepala laki-laki itu. "Sholehah itu buat perempuan Maja!"
"Biarin."
Tatapan Maja jatuh pada Artha dan Genta. Matanya menyipit pertanda harus tutup telinga. "CIEE, GENTA PDKT-AN SAMA ARTHA!"
Sudah diduga.
Jarak mereka memang dekat. Berhadap-hadapan dengan jarak tiga jengkal. Genta merotasikan bola matanya, melempar plastik bekas ciloknya mengenai wajah Maja.
"GENTONG! JIGONG LO KENA WAJAH GUE!" teriak Maja mengusap-usap wajahnya yang tidak ternodai apa-apa.
"Berisik, Maja. Budek Aca lama-lama denger teriakan lo," cerca Aca melangkah mendekati bangkunya yang diduduki Genta.
Tanpa dosa, Aca mendorong kursi yang diduduki Genta ke depan, membuat laki-laki itu terhuyung ke depan dan berakhir memeluk Artha. Lepas sudah jantung anak papa Irfan dari tempatnya.
"Eh, sorry." Genta langsung mundur dan mengunus Aca dengan tatapan tajam. Sedangkan yang ditatapnya hanya acuh tak acuh. Yang penting kursinya sudah ada padanya.
Artha masih terdiam di tempatnya. Jatungnya masih berdisko ria. Perdana dirinya dipeluk laki-laki lain--walau tak sepenuhnya dipeluk.
"Artha." Panggilan dari Genta menyadarkan Artha.
"Hah? Iya?"
"Jangan bengong! Nanti kesambet," seru Maja.
"Sorry soal yang tadi," ujar Genta selalu dengan wajah tripleknya.
"Oh, iya. Nggak papa," jawab Artha tersenyum tipis. Padahal gugup sekali karena detak jantungnya belum normal.
"Fokus. Guru udah masuk," ujarnya lagi lalu melenggang pergi menuju bangkunya yang berada di depan. Artha hanya menganggukan kepala dan mulai fokus ke depan.

Comentário do Livro (56)

  • avatar
    Rici Gustina

    btw cerita ini bgss bgtt gk ngebosanin

    8d

      0
  • avatar
    LIEANORYACASSANDRA

    sangat baik

    10d

      0
  • avatar
    ArvensyahRiki

    saat menari

    23/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes