logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 5 Pergi dari Rumah

“Afifah, buka pintunya.” Naufal mengetuk pintu kamarnya berkali-kali.
Afifah yang bersimbah air mata tak menghiraukan Naufal yang terus memanggilnya. Hatinya merasa sangat terluka. Bukan hanya karena uang yang menjadi permasalahan tapi semua perlakuan dan kata-kata penghinaan yang diucapkan Jihan dan Hasna padanya. Selama ini dia bertahan karena hanya Jihan yang memperlakukannya secara buruk. Semenjak Hasna melakukan hal serupa kekuatannya menjadi rapuh dan hancur. Terlebih Naufal pun selalu mengalah pada Jihan dan Hasna. Tak pernah membela dirinya habis-habisan.
“Tak tahu malu. Kau pikir ini rumahmu, seenaknya membanting pintu. Kalau rusak kau tak akan bisa menggantinya,” kata Hasna, wajahnya yang putih memerah.
“Mami, sudahlah. Tak bisakah Mami dan Jihan tak menghina Afifah dan bersikap baik padanya?”
“Dia memang pantas untuk dihina, Naufal. Menyesal Mami merestui kalian.”
“Selama ini Mami bersikap baik pada Afifah tapi kenapa akhir-akhir ini berubah?” tanya Naufal.
“Afifah sudah membantu Mami mengerjakan semua pekerjaan rumah selain itu dia juga Mami andalkan membantu catering. Jadi Mami tak perlu lelah dan mahal bayar ART tapi Mami kecewa saat Afifah seenaknya pergi seharian dan mengabaikan aturan di rumah ini,” jelas Hasna pada anak sulungnya.
Naufal merasa sangat kecewa dengan semua yang diucapkan Hasna. Dia tak menyangka maminya menganggap Afifah seperti ART. Naufal juga tak menyangka saat maminya mengatakan Afifah dan keluarganya tak selevel dengan mereka.
Afifah yang mendengar semua perkataan mertuanya dari kamar semakin tersayat hatinya terlebih bukan hanya dirinya yang dihina tapi sudah menyangkut keluarga. Dia semakin kecewa pada Naufal yang tak melawan dengan tegas. Sekarang Afifah tahu yang membuat hatinya ragu sebelum menikah dengan Naufal. Semua tak akan terjadi jika dia membatalkan pernikahannya saat itu. Seharusnya dia mengikuti kata hatinya.
Naufal terus mengetuk pintu kamar Afifah, mencoba membujuknya agar Afifah membuka pintu. Namun, Afifah benar-benar tak mengacuhkannya. Dia tetap mengurung diri. Untuk saat ini dia ingin menyendiri.
“Sudahlah, biarkan saja dia. Untuk apa kau susah payah membujuknya membuka pintu. Sedangkan dia tak peduli padamu. Istri macam apa yang tak menghormati suami,” ucap Hasna, matanya mendelik, tangannya mengambil majalah kuliner yang ada di bawah meja. Bergabung dengan anak perempuannya menikmati bacaan.
“Tak tahu terima kasih,” ucap Jihan yang tak mengalihkan pandangan dari majalahnya.
“Biarkan saja dia. Nanti juga kalau lapar keluar,” kata Hasna ketus.
“Ada apa ribut-ribut?”
Seorang pria bermata sipit dan berbadan tegap menghampiri mereka yang sedang berada di ruang tengah. Mereka semua mengalihkan pandangan padanya. Pria tersebut baru saja tiba setelah seharian memancing.
“Mami dan Jihan selalu saja menghina Afifah.” Naufal mengadu pada pria yang dipanggil Papi oleh dirinya.
Hamdan sudah sering menasihati istri dan anak perempuannya agar bersikap baik pada siapapun apalagi pada keluarga sendiri. Namun, mereka tak pernah menghiraukan ucapan Hamdan dan terus saja bersikap buruk. Mereka lebih mementingkan status sosial daripada hati nurani. Hamdan yang terlalu sayang pada istrinya selalu mengalah dan tak pernah memperpanjang masalah.
“Tolong bersikap baiklah pada Afifah. Dia menantu Mami,” ucap Hamdan, menjatuhkan dirinya di samping Hasna, hingga mereka duduk berdampingan.
“Sudahlah Papi tidak usah ikut campur,” ucap Hasna kesal, membanting majalah ke kursi dan bangkit.
“Bilang pada istrimu. Dia harus minta maaf sama Mami dan Jihan,” kata Hasna, yang tengah berdiri di samping Naufal.
“Afifah tak salah, Mi. Jihan yang seharusnya minta maaf pada Afifah,” bela Naufal, jari telunjuknya mengarah ke adiknya yang masih asyik membaca majalah.
“Apa kau bilang? Aku yang harus minta maaf? Tak sudi aku minta maaf pada dia. Dia yang sudah bersikap tak sopan padaku dan Mami,” teriak Jihan, seraya berjalan menghampiri Naufal. Kini mereka saling beradu pandang, menahan amarah masing-masing.
Hamdan yang masih duduk bergegas bangkit menghampiri kedua anaknya. Mencoba menenangkan mereka. Hamdan menyuruh Hasna dan Jihan untuk pergi dari sana. Dia juga meminta Naufal untuk mengalah karena tak ada gunanya melawan istrinya yang keras kepala.
Afifah yang masih mengunci pintu kamarnya terus berderai air mata. Hatinya sudah koyak mendengar semua yang diucapkan keluarga Naufal. Tak ada seorang pun yang membelanya. Perutnya yang minta diisi terus berbunyi tapi tak ada keinginan untuk mengisinya. Dia menahan rasa lapar yang hinggap di perutnya.
Hari sudah larut, angin berembus sangat kencang. Semua orang di rumah mewah itu sudah terlelap, begitu juga Afifah. Tak sadar tangisnya membuat dia terpejam. Naufal yang tak berhasil membujuk Afifah terlelap di kursi panjang yang ada di ruangan itu.
Perlahan Afifah membuka mata. Dia teringat kembali kejadian sore hari yang membuat luka dalam di hatinya. Matanya berkeliling mencari suaminya, dia lupa bahwa semalaman tak menghiraukannya. Afifah ingin bicara pada Naufal agar mereka mengontrak rumah saja untuk menghidari terjadinya permasalahan dengan Hasna dan Jihan. Setidaknya Afifah tak akan terlalu sering mendengar penghinaan dari keduanya.
“Naufal,” ucap Afifah yang mendapati suaminya tidur di kursi, tangannya menggoyangkan tubuh Naufal.
Naufal yang terkejut langsung membuka mata dan duduk. Di melempar senyum pada Afifah.
“Maafkan aku,” kata Afifah, duduk di samping Naufal.
“Tak apa. Maafkan keluargaku juga.” Naufal memeluk erat Afifah. Dia tak menyangka semuanya akan menjadi seperti ini.
“Afifah, sebaiknya kau minta maaf sama Mami dan Jihan,” ucap Naufal, teringat pesan yang disampaikan Hasna.
Afifah yang sedang nyaman dalam pelukan Naufal tiba-tiba melepaskan pelukannya. Wajah dan hatinya yang baru saja tenang berubah tegang kembali. Kesal dan kecewa pada suaminya semakin bertambah.
“Apa salahku pada mereka sehingga aku harus minta maaf?” tanya Afifah tegas. “Seharusnya mereka yang minta maaf padaku atas perlakuan buruk mereka padaku,” imbuh Afifah.
Ada gumpalan besar amarah dalam dadanya. Baru saja dia merasa tenang, kini harus bergelut dengan kekesalan yang diciptakan Naufal. Baru saja dia akan mengajak Naufal untuk pindah, kini ide itu menguap begitu saja.
“Aku tahu kau tak salah tapi cobalah mengerti Mami dan Jihan,” ucap Naufal, tangannya meraih tangan Afifah tapi ditepis oleh istrinya itu.
“Aku harus mengerti mereka sedangkan mereka tak pernah mengerti aku. Hanya hinaan dan cacian yang aku dapatkan dari mereka, dan k—kau tak sedikit pun membela aku.” Bulir bening kembali menganak sungai di pipi Afifah.
“Aku membelamu, Afifah.”
“Membela apa? Kau selalu mengalah dan membiarkan istrimu terluka. Terlebih lagi Mami sudah menghina keluargaku,” geram Afifah.
Dia benar-benar kecewa pada Naufal yang selalu mengalah pada Hasna dan membiarkan dirinya tersakiti.
“Dia Mamiku. Aku harus menghormatinya, Afifah,” ucap Naufal membela diri.
Sebenarnya Naufal anak yang baik, sangat menghormati orangtuanya. Oleh karena itu Hasna memanjakannya. Semua yang Naufal inginkan selalu diturutinya tapi semua ada timbal baliknya. Naufal pun harus menuruti semua perkataan Hasna. Naufal tumbuh menjadi anak manja dan selalu menuruti semua yang dikatakan Hasna. Bukan dia tak berani melawan tapi baginya menuruti orangtua adalah tanda bakti pada orangtua.
“Kau sudah dewasa, Naufal. Kau harus punya pendirian. Harus sudah bisa menentukan jalan hidupmu sendiri. Kau sudah beristri dan seharusnya kau berlaku adil. Aku mengerti seorang anak laki-laki tetap bertanggungjawab pada orangtunaya meskipun sudah menikah. Tapi apa yang kau lakukan padaku ini tak adil, Naufal,” teriak Afifah.
Naufal hanya terdiam mendengar ucapan Afifah. Dia tahu apa yang sudah dilakukannya membuat Afifah sakit hati tapi dia juga tak bisa melawan Hasna. Dia akan merasa sangat berdosa kalau menentang perkataan Hasna.
Angin malam kembali berembus kencang menimbulkan desiran dari pepohonan. Langit malam itu sangat gelap gulita. Awan hitam kembali berarak siap menurunkan butir-butir air ke bumi.
Afifah yang sudah tak tahan dengan Naufal dan keluarganya memutuskan untuk pergi dari rumah mewah itu. Dia berlari keluar diiringi derasnya hujan yang baru saja turun. Naufal mencoba mengejarnya tapi Hasna yang mendengar percakapan mereka dan menyaksikan kepergian Afifah mencegah Naufal.
“Afifah,” teriak Naufal.

Comentário do Livro (110)

  • avatar
    HariandiDicky

    bagus bgt

    17d

      0
  • avatar
    Siti

    👍👍

    15/08

      0
  • avatar
    ZbDesti

    serius

    17/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes