logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 4 Satu Juta Rupiah

Setelah sepekan tinggal di rumah Haidar, Naufal memboyong Afifah ke rumah orangtuanya di Pasteur. Mereka akan tinggal di sana. Mereka juga akan lebih dekat ke kampus. Apalagi Afifah yang sedang menyusun skripsi dan akan lebih sering membuat janji dengan dosennya untuk bimbingan. Naufal? Dia tertinggal beberapa SKS karena sering bolos untuk bekerja. Seorang pengusaha Wedding Organizer seperti dirinya cukup disibukkan kala musim pernikahan dan itu membuat dia mengabaikan pendidikannya.
Afifah cukup nyaman tinggal di sana meskipun adik iparnya sering melontarkan kata-kata yang membuatnya sakit hati. Tapi kedua mertuanya memperlakukan dia cukup baik. Sebelum menikah Afifah pernah beberapa kali bertemu dengan Hasna dan Hamdan saat berkunjung ke rumah Naufal. Mereka menyambut Afifah dan teman-temannya dengan baik.
Sedangkan Jihan, Afifah cukup kenal dengannya. Jihan adalah junior Afifah tapi berbeda fakultas. Sikap Jihan biasa saja bahkan sering menyapa Afifah saat bertemu di kampus. Akan tetapi, sikap Jihan berubah saat mengetahui kakaknya memilih Afifah sebagai calon istri. Apalagi setelah menikah. Jihan semakin tak suka. Baginya status sosial sangatlah penting dan Afifah yang terlahir dari keluarga sederhana tidak selevel dengan keluarganya. Terlebih penampilan Afifah yang syar’i, dianggapnya tidak modis dan sok suci. Jihan menginginkan kakak ipar yang bisa diajak belanja dan jalan-jalan.
“Afifah, tolong ambilkan minum,” perintah Jihan, tanpa memandang Afifah yang kebetulan melewatinya.
“Apa kau tak punya kaki untuk sekadar melangkah mengambil minum?” tanya Afifah, sudah jengah sekali dengan sikap Jihan yang sering menyuruh-nyuruhnnya bak ART.
“Apa kau bilang? Benari-beraninya kau melawanku.” Jihan bangkit dan menutup majalah yang sedang dibacanya.
“Aku ini iparmu, tak bisakah sedikit saja kau---,”
“Ada apa ini?” tanya wanita pemilik bibir tipis saat menghampiri Jihan dan Afifah.
“Afifah, Mi. Dia tak mau mengambilkanku minum,” kata Jihan manja.
“Afifah sedang membantu Mami. Kau ambil minum sendiri,” perintah Hasna, melangkah pergi kembali mempersiapkan catering.
Kegiatan Afifah sekarang tidak hanya menyusun skripsinya tapi dia juga membantu mertuanya jika ada pesanan catering. Ya, keluarga Naufal memang keluarga pengusaha di bidang jasa. Naufal meneruskan usaha papinya di dukung oleh Hasna sebagai penyedia catering dan Jihan sebagai penata rias pengantin.
Jihan kesal memasuki kamarnya. Tak jadi mengambil minum karena dia memang tak haus.
Afifah yang selama ini sabar mulai kesal dan jengah dengan sikap Jihan yang semena-mena padanya. Dia mulai mencoba melawan secara perlahan.
“Kenapa lagi kau dengan Jihan?” tanya Naufal, merebahkan diri di pembaringan.
“Tidak ada apa-apa,” sahut Afifah, jarinya terus menari di papan tombol. Menyelesaikan bab per bab skripsi yang sedang disusunnya.
“Maafkanlah adikku,” ucap Naufal.
“Ya, tak apa. Aku hanya mulai merasa hilang kesabaran diperlakukan seperti ART oleh adikmu.”
Hari berganti, Afifah sudah mempersiapkan skripsinya dari sepekan yang lalu. Hari ini jadwal bimbingan untuk yang ketiga kalinya. Sekitar pukul tujuh dia sudah siap-siap berangkat. Tas punggung sudah menempel di belakang tubuhnya.
“Kau mau ke mana, Afifah?” tanya Hasna, yang juga sudah siap untuk pergi.
“Ada jadwal bimbingan hari ini, Mi,” jawab Afifah.
“Terus yang bantuin Mami siapa? Hari ini ada pesanan catering, Afifah,” ucapnya, tangannya membetulkan kerudung yang dililitkan ke belakang, “dan Mami ada arisan dulu,” sambungnya seraya mengambil sepatu yang akan dikenakannya.
“Tapi, Mi, Afifah harus segera berangkat. Jadwalnya jam delapan.” Afifah melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Ya sudah, pergi sana,” ucap Hasna kesal. Dia menepis tangan Afifah yang hendak menyalaminya.
Selama Afifah tinggal di rumah keluarga Naufal, dia memang diandalkan Hasna membantunya mempersiapkan catering yang dipesan orang-orang. Dia pula yang mengerjakan semua pekerjaan rumah. Lelah? Tentu saja. Namun, Afifah menganggap itu semua sebagai bakti kepada mertuanya.
Berbeda dengan Hasna, dia menganggap semua yang dikerjakan Afifah sangat menguntungkan baginya. Tak perlu membayar mahal ART semua sudah beres. Itulah sebabnya Hasna berlaku baik pada Afifah. Afifah tak pernah menolak jika dia menyuruhnya.
Mentari mulai condong ke barat. Perlahan awan hitam menutupinya. Afifah yang masih bercengkrama dengan kedua sahabatnya mulai melirik titik-titik air yang turun. Gerimis. Dia melihat benda hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. Jarum pendek sudah menunjuk angka empat. Afifah pamitan untuk pulang terlebih dahulu sebelum hujan turun semakin deras. Sebenarnya dia masih rindu kumpul bersama Dania dan Anisha. Semenjak menikah mereka jarang bertemu karena kesibukan Afifah membantu mertuanya.
“Dari mana saja kau?” tanya Hasna ketika Afifah membuka pintu, bahkan salam pun belum terucap dari bibir Afifah.
Jantung Afifah berdegup kencang. Dia takut kalau mertuanya marah karena dia pulang sesore ini.
“Assalamualaikum,” ucap Afifah, bajunya basah tersiram air hujan saat dia turun dari angkutan umum dan berjalan tadi.
“Waalaikumussalam,” jawab Hasna ketus.
Afifah yang merasa kedinginan berlalu begitu saja. Dia ingin cepat-cepat mandi dan mengganti baju. Tapi suara Hasna menghentikan langkahnya.
“Kau belum menjawab pertanyaanku.”
“Paling dia pergi kumpul-kumpul dulu sama teman-temannya, Mi,” celetuk perempuan berambut sepinggang yang muncul tiba-tiba.
Afifah hanya bergeming. Bibirnya bergetar, tubuhnya menggigil. Dia sudah tak tahan lagi menahan dinginnya baju basah yang menempel di tubuhnya.
“Oh jadi benar kau pergi main dulu? Kau tahu banyak pekerjaan yang harus dikerjakan di rumah ini. Malah enak-enakan main,” geram Hasna, matanya membesar kesal pada Afifah yang pergi seharian.
“Ada apa ini? Kau kenapa Afifah?” tanya Naufal yang baru tiba, menghampiri Afifah yang mematung di depan kamarnya.
“Kasih tahu istrimu, dia harus jaga sikap dan ikut aturan rumah ini. Seenaknya pergi seharian,” ucap Hasna seraya berlalu menuju dapur.
Jihan yang masih berada di sana sambil membaca majalah tersenyum puas melihat Afifah yang dimarahi maminya.
Afifah mencoba membendung air matanya. Matanya dia arahkan melihat bola lampu yang masih padam agar bulir bening yang dia tahan tak jatuh. Hidung bangirnya menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Dia tetap bergeming meskipun Naufal melayangkan beberapa pertanyaan. Untuk saat ini Afifah tak ingin berbicara dengan siapapun. Dia sudah tak tahan lagi terus menahan dinginnya baju basah yang dia kenakan.
Satu pekan sejak kejadian itu Hasna menjadi berubah pada Afifah. Sedikit pun kesalahan yang Afifah lakukan akan menjadi besar di mata Hasna. Jihan menyunggingkan senyum kala Hasna menghina Afifah bahkan dia ikut menghina Afifah.
“Jeng Hasna, menantunya cantik ya. Coba kalau dandan akan lebih cantik,” ujar seorang teman Hasna saat berkunjung ke rumahnya.
“Iya, namanya juga dari keluarga menengah ke bawah, Jeng. Mana tahu dandan dan berpakaian modis,” kata Hasna menghina Afifah yang kebetulan melewatinya.
Hati Afifah bagai tersayat sembilu mendengar penghinaan dari mertuanya. Dia bisa tahan saat Jihan terus menghinanya tapi saat ini dia tak kuasa lagi menahan sakit yang terus-menerus ditorehkan oleh mertuanya. Setiap kali dia mengadu kepada Naufal, Naufal hanya menyarankan untuk bersabar menghadapi maminya.
Kegelapan datang begitu cepat padahal jam masih menunjukan pukul lima sore. Namun langit biru yang indah kini berubah kelam. Awan putih berganti hitam. Siap menjatuhkan kembali butir-butir air ke bumi.
“Ini untukmu,” ucap Naufal, menyodorkan lembaran merah lima belas lembar pada Afifah.
“Alham---,”
Tiba-tiba tangan Jihan menyambar uang yang Afifah terima dari Naufal. Kemudian menghitungnya sambil berjalan dan tersenyum.
“Kau ini apa-apaan?” Naufal marah atas sikap adiknya pada sang istri.
“Diam!”
“Ini,” kata Jihan, menyodorkan kembali lima lembar merah pada Afifah.
Afifah tertegun melihat kelakuan adik iparnya. Kesabarannya sudah di ambang batas. Kali ini dia tak ingin terus diinjak-injak oleh Jihan. Pasalnya sudah berkali-kali Jihan melakukan ini padanya.
“Jadi kau sudah berkali-kali mengambil uang yang kuberikan untuk Afifah?” tanya Naufal geram.
“Ya, memangnya kenapa? Semenjak menikah dengan dia kau tak pernah memberiku uang lagi,” kata Jihan, menjatuhkan tubuhnya di atas kursi. Sepuluh lembar merah dia kipas-kipaskan.
Naufal sangat marah mendengar pengakuan adiknya. Dia tidak tahu kalau sebelumnya Jihan selalu mengambil hak Afifah. Afifah yang melihat kakak beradik ini bertengkar diam saja. Dia bersyukur Jihan merebut uangnya di depan Naufal. Jadi tak perlu repot-repot mengadu pada Naufal.
“Berhenti!”
Keduanya kini mematung mendengar suara mami mereka. Hasna menyalahkan Afifah atas terjadinya pertengkaran di antara Naufal dan Jihan. Sebelum Afifah tinggal di sini Naufal dan Jihan memang sangat akur. Jika bertengkar pun tak pernah sehebat ini.
“Afifah tak terima uangnya aku ambil, Mi,” ucap Jihan, bergelayut manja pada Hasna.
“Memangnya berapa uang yang kau ambil?” tanya Hasna.
“Satu juta.”
“Tapi, Mi, itu uang untuk keperluan Afifah,” bela Naufal.
“Uang segitu saja dipermasalahkan. Lagian sisanya cukup ‘kan untukmu? Semua kebutuhan dan makanan sudah tersedia di rumah ini, jadi untuk apalagi,” ucap Hasna.
“Tapi, Mi---“
“Cukup Naufal, Mami tidak mau dengar apa-apa lagi.” Dengan tegas Hasna berkata.
Afifah menundukan kepala meneteskan air mata yang sudah tak kuat bertahan di netranya. Dia berlari ke kamar seraya membanting pintu.

Comentário do Livro (110)

  • avatar
    HariandiDicky

    bagus bgt

    17d

      0
  • avatar
    Siti

    👍👍

    15/08

      0
  • avatar
    ZbDesti

    serius

    17/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes