logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 3 Pertemuan Keluarga

Langit biru bersih nan indah menghiasi kota Bandung di sore hari. Sekumpulan mahasiswa sedang berlatih karate di lapangan kampus yang luas. Sekumpulan lainnya sedang menikmati bacaan di perpustakaan. Beberapa mahasiswa lain masih berkeliaran di sekitar kampus. Afifah dan kedua sahabatnya sedang berbincang di bawah pohon rindang di tepi danau. Dari kejauhan Naufal berjalan menghampiri ketiganya.
“Hai,” sapanya, melambaikan tangan saat tiba di sana. “Kalian sedang apa?” sambungnya seraya ikut duduk bersama ketiga teman perempuannya.
“Menikmati pemandangan sore hari,” celetuk Anisha, kedua tangannya memeluk lutut yang dia satukan.
“Ada apa, Naufal? Mau menyalin tugas kuliah lagi?” tanya Afifah sambil terkikik.
“Tidak, a—aku ingin bicara dengamu berdua saja, boleh?” tanyanya pada Afifah yang masih terkikik geli, teringat Naufal yang sering memaksa menyalin tugas kuliah.
Tiba-tiba Afifah dan kedua sahabatnya bertukar pandang. Mereka merasa aneh saat Naufal hanya ingin bicara berdua dengan Afifah.
“Tak biasanya kau ingin bicara berdua dengan Afifah. Biasanya kita ngobrol dan bercanda bersama,” ucap Dania, matanya tertuju pada Naufal.
Naufal tersenyum lebar dan memandang kedua sahabat Afifah. Menyiratkan permohonan agar mereka meninggalkannya dengan Afifah.
“Baiklah, kami undur diri, Tuan.” Anisha mengejek, bangkit dan berlalu bersama Dania. Memberi Naufal kesempatan untuk berbicara dengan Afifah.
Hari yang sangat cerah dengan udara sejuk menemani mereka berdua duduk di atas rumput. Sesekali Afifah melempar kerikil ke tengah danau, diikuti oleh laki-laki yang duduk di sampingnya.
“Fifah, sebenarnya a—aku,” ucap Naufal ragu.
“Kenapa?” tanya Afifah.
Selama ini dia dan Naufal cukup dekat. Bercanda bersama dan saling ejek. Mengerjakan tugas bersama-sama termasuk dengan Anisha dan Dania. Mereka berempat benar-benar sudah tak canggung lagi.
“Aku mau kau menjadi pendamping hidupku. Menemani sampai akhir hayatku.” Akhirnya Naufal memberanikan diri mengungkapkan perasaannya. Jantungnya berdebar tak berirama. Dia takut Afifah marah dan tak mau berteman dengannya lagi.
Afifah tertegun mendengar pengakuan Naufal. Dia merasa tak mungkin Naufal mempunyai perasaan padanya. Selama ini dia mengangap Naufal sebagai teman dekat saja. Tidak lebih.
“Kau bergurau. Aku tahu itu,” kata Afifah, mulutnya terbuka lebar menertawakan pengakuan Naufal.
“I am serious.” Mata sipit Naufal menatap mata bulat Afifah dengan lekat.
Afifah diam seribu bahasa. Dia melemparkan kerikil lagi ke tengah danau yang ada di depannya. Pandangannya lurus ke sana. Tak tahu harus menolak atau menerima. Tak tahu harus senang atau kecewa. Sepertinya Afifah mati rasa. Dia sudah berkali-kali dikecewakan laki-laki yang dekat dengannya. Ditinggalkan begitu saja saat ada perempuan lain.
“Afifah, maaf kalau aku salah bicara,” ucap Naufal, “tapi semua yang aku ucapkan itu benar dari dalam hati.”
Afifah masih tetap diam. Mencerna semua yang diucapkan Naufal tadi. Sebenarnya dia takut kecewa lagi jika menerima Naufal, tapi dia kenal betul Naufal sangat baik padanya.
Matahari mulai turun di ufuk barat, memancarkan cahaya jingganya ke seluruh penjuru bumi. Segerombol burung terbang menuju sarangnya. Angin berembus melambaikan daun-daun di atas pohon dan melambaikan jilbab kelabu Afifah.
Pada akhirnya Afifah meminta Naufal menemui papanya. Naufal tak menyangka hal itu. Dia berpikir Afifah akan marah dan tak mau berteman dengannya lagi. Naufal merasa sangat bahagia.
“Kenapa kau memilihku?” tanya Afifah tanpa memandang Naufal sedikit pun.
“Aku yakin kau bisa membuat hidupku lebih baik, dan bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anak kita nanti.”
Satu pekan setelah Naufal sendiri menemui papanya Afifah, kini dia datang bersama kedua orangtua dan keluarganya untuk meresmikan hubungannya dengan Afifah. Dia terlihat sangat bahagia karena Afifah menerima dirinya untuk menjadi calon suaminya.
Sesampainya di kediaman Haidar, keluarga Naufal disambut dengan hangat. Beberapa macam kue sudah tersedia di atas meja dan Sophia juga sudah menyajikan menu spesial untuk disantap bersama hari ini.
“Jadi bagaimana?” tanya seorang pria berjanggut tipis tanpa kumis yang mirip sekali dengan Naufal.
“Seperti yang sudah saya katakan, kami menerima permintaan Naufal dan keluarga. Bukan begitu Afifah?” tanya Haidar.
“Em, iya, Pa.” Afifah menunduk dan tersenyum.
“Semua biaya pernikahan biar kami yang menanggung,” ucap Hamdan---papi Naufal.
“Saya juga akan memberikan mahar senilai sepuluh gram emas untuk Afifah,” imbuh Naufal.
Setelah secara resmi keluarga Naufal mengutarakan maksud dan tujuannya untuk melamar Afifah, dan diterima dengan senang hati oleh keluarga Afifah. Akhirnya kedua belah pihak menentukan tanggal untuk pernikahan dua insan tersebut.
“Baiklah sepertinya semua sudah selesai, sebaiknya kita semua menikmati hidangan yang sudah saya sediakan,” ucap Sophia.
***
“Maksudmu apa mau memberikan mahar sebesar itu pada Afifah, Kak?” tanya Jihan sesampainya di rumah.
Dia keberatan dengan keputusan Naufal apalagi papinya menyanggupi untuk membiayai pernikahan kakaknya. Terlalu berlebihan menurut perempuan yang berprofesi sebagai MUA sekaligus mahasiswa itu. Jihan memang kurang menyukai Afifah karena Afifah tak sejalan dengannya. Selain itu menurutnya keluarga Afifah tak selevel dengan keluarganya.
“Aku memintamu cepat menikah karena tak mau melangkahimu tapi tak adakah perempuan lain yang lebih cantik dan baik dari dia?”
“Jaga mulutmu! Afifah itu perempuan baik, cantik dan agamis. Apa kau pikir perempuan baik itu yang sering menghabiskan waktu untuk hal tak jelas sepertimu?” bentak laki-laki pemilik tubuh atletis itu jengkel.
“Sudah! Kok, malah ribut, sih,” kata Hasna, melerai kedua anaknya. “Sudahlah terserah kakakmu saja,” tambahnya pada putrinya, tangannya mengambil dua gelas berisi air putih yang ada di depannya. Memberikannya pada Jihan dan Naufal agar mereka tenang.
“Papi juga bisa-bisanya menyanggupi semua biaya pernikahan Naufal dan Afifah,” ucap Jihan, matanya mengerling pada Hamdan.
“Sudah seharusnya keluarga mempelai pria yang membiayai, Nak. Dulu pun saat Papi dan Mami menikah, keluarga Papi yang menanggung semua biayanya,” sahut Hamdan seraya duduk menikmati berita yang sedang ditayangkan stasiun televisi swasta.
“Ah, Papi.” Jihan mengerutkan dahinya sambil cemberut.
“Mami,” panggilnya manja, meminta dukungan Hasna.
“Naufal, kita yang akan membiayai semua keperluan untuk pernikahanmu. Jadi betul kata Jihan kamu terlalu besar memberikan mahar pada Afifah,” ucap Hasna membela putrinya.
Naufal bungkam. Dia sudah terbiasa dengan kemauan Jihan yang pasti akan dituruti oleh Hasna.
Jihan meminta agar acara pernikahan Naufal dan Afifah digelar secara sederhana kalau Naufal tetap akan memberikan mahar sebesar itu. Namun, Hasna tak setuju. Dia tak ingin malu di depan teman-teman. Mereka akan mengejeknya kalau anaknya menggelar pernikahan sederhana saja.
Sedangkan Hamdan merasa bahwa Naufal sebagai laki-laki memang sudah sepantasnya membiayai pernikahannya. Hamdan yang tak ambil pusing menyuruh Naufal mengalah pada Mami dan adiknya.
Dengan pasrah Naufal menuruti perintah maminya. Biarlah nanti dia akan pikirkan bagaimana cara menyampaikannya pada Afifah. Naufal berlalu memasuki kamarnya yang didominasi warna hitam putih.
Jihan yang merasa menang tersenyum puas. Dia menyetujui Naufal menikah dengan Afifah karena Jihan yang sudah memiliki calon tak ingin melangkahi kakaknya dan untuk saat ini Naufal benar-benar menyukai Afifah. Kriterianya telah berubah setelah lama bergaul dengan Afifah dan kedua sahabatnya. Padahal sebelumnya Naufal sering berganti perempuan dan mereka cantik-cantik.

Comentário do Livro (110)

  • avatar
    HariandiDicky

    bagus bgt

    17d

      0
  • avatar
    Siti

    👍👍

    15/08

      0
  • avatar
    ZbDesti

    serius

    17/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes