logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 2 Mahar Lima Gram Emas

Afifah duduk termenung di kursi di teras rumah papanya. Ditemani kegelapan yang menyelimuti langit malam, tak ada satu pun bintang menampakkan diri. Angin berembus menusuk sampai tulang. Pepohonan bergoyang, melambaikan daun-daunnya, seolah menyapa gadis yang sedang duduk sendirian itu. Malam yang dingin. Sepertinya hujan akan turun.
Satu pekan yang akan datang Afifah akan resmi menyandang gelar seorang istri tapi entah mengapa hatinya meragu. Dia berpikir sejenak untuk mengambil keputusan. Takut terjadi sesuatu hal karena hati yang tak yakin. Dia benar-benar harus mengambil keputusan yang tepat agar tak menyesal kemudian.
Bukan perkara mudah untuk memutuskan hal yang sangat memengaruhi masa depannya. Tak ingin gagal berumahtangga seperti kedua orangtuanya, Afifah terus berpikir agar tak salah mengambil keputusan karena jika salah akan sangat fatal akibatnya.
Dengan keyakinan hati, dia memutuskan akan berbicara pada calon suaminya bahwa dia akan mengikuti kata hatinya untuk membatalkan pernikahannya.
Mengapa aku menerima Naufal saat dia memintaku menjadi istrinya? Batin Afifah.
***
“Kau mau ke mana, Afifah?” tanya seorang wanita yang sangat mirip dengan ibunya.
Afifah yang sedang berjalan sendirian di trotoar jalanan kota terkejut mendengar seseorang menyapanya.
“Bibi, kok, ada di Bandung?” Afifah malah balik bertanya.
“Iya, Bibi mau ke makam ibumu. Lalu bertemu kakakmu,” jawabnya, tangannya kini menggandeng tangan Afifah.
Bibi Vida mengajak Afifah ke taman kota yang letaknya tak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang. Bibi Vida membeli beberapa makanan ringan dan minuman untuk mereka nikmati sambil berbincang. Dia menjelaskan kedatangannya ke Bandung untuk bertemu Anggara---kakak Afifah, dia mau menanyakan perihal pekerjaan yang ditawarkan untuk Bobi, anaknya. Secara tak sengaja mereka bertemu saat berjalan kaki.
“Kau belum menjawab pertanyaanku, Afifah?” tanya Bibi Vida, tangannya merogoh bungkus makanan ringan yang dipegangnya.
“Bertemu Naufal, Bi,” jawab Afifah, pikirannya melayang memikirkan cara menyampaikan niatnya nanti pada Naufal.
“Pernikahanmu satu minggu lagi, ‘kan? Bibi pasti menghadirinya.”
“Iya, tapi….” Afifah berpikir untuk meminta pendapat bibinya tentang keputusannya saat ini.
“Kenapa?”
“Afifah ragu dan ingin membatalkannya saja.” Akhirnya dia mengutarakan perasaannya.
Bibi Vida sangat terkejut mendengarnya. Dia menghirup udara segar taman kota secara perlahan. Tak tahu alasan keponakannya tak yakin dengan pernikahannya dan ingin membatalkannya.
“Untuk apa kau menerima Naufal saat itu, Nak?”
Afifah hanya bergeming. Menundukkan kepalanya yang berbalut jilbab berwarna cokelat muda. Hatinya terlalu rapuh dan sakit. Berulang kali ditinggalkan oleh pria yang mengatakan bersedia menjadi pendamping hidupnya tapi memilih pergi dengan perempuan lain. Itu membuat Afifah tak dapat berpikir jernih. Saat Naufal meminta untuk menikah dengannya, Afifah merasa hatinya terobati dan ingin menunjukkan bahwa dia tak merasa tersakiti. Lagi pula dia mengenal betul sifat dan perilaku Naufal yang baik dan perhatian padanya selama mereka berteman dekat di kampus.
“Jangan bilang kau akan menemui Naufal untuk membatalkan pernikahan kalian,” kata Bibi Vida menyelidik.
Lagi-lagi Afifah membisu. Netranya kini berkaca-kaca. Butiran bening berjatuhan saat dia menutup kelopak matanya.
“Afifah, dengar! Semua keputusan ada pada dirimu. Bibi tak akan memaksamu menikah dengan Naufal tapi tolong pikirkan kembali. Betapa malunya keluargamu, terutama papamu, kalau kaubatalkan pernikahan ini sekarang. Apa kau tak ingat undangan sudah disebar?” Bibi Vida menyeka air mata yang bersimbah di pipi Afifah. “Satu hal lagi, semua sudah dipersiapkan dan biaya yang dikeluarkan pun tak sedikit. Apalagi semua ditanggung oleh keluarga Naufal,” imbuh Bibi Vida.
Afifah baru teringat semua biaya pernikahan ditanggung oleh keluarga Naufal. Dia menghela napas panjang menghirup udara sekitar sedalam-dalamnya. Apa yang akan dikatakan oleh keluarga Naufal jika dia membatalkan pernikahan ini. Dia tak peduli namanya akan tercemar di mata siapapun tapi tidak untuk papanya. Dia tak ingin mempermalukannya. Pikirannya buntu. Hatinya benar-benar sudah pasrah menerima Naufal meskipun dia meragu. Biarlah. Lagi pula Naufal orang yang sangat baik.
“Assalamualaikum.” Afifah mengucapkan salam saat tiba di tempat yang sudah dijanjikan.
“Waalaikumussalam,” sahut Naufal yang sudah menunggu dari tadi.
Afifah meminta maaf sedikit terlambat karena dia tak sengaja bertemu dengan Bibi Vida dan mengobrol sebentar.
Terik matahari membuat mereka memesan es teh lemon di tempat makan tersebut. Tempat makan yang sederhana tapi selalu ramai dikunjungi. Menu andalannya adalah ayam bakar yang sangat lezat dan menjadi menu favorit Afifah jika makan di sini.
“Ada apa memintaku datang ke sini? Rindu?” tanya Naufal, sebuah senyuman menghiasi bibirnya.
Afifah terdiam sejenak. Ingat perkataan Bibi Vida dan dia benar-benar tak dapat mengatakan niatnya pada Naufal. Wajah Haidar dan keluarganya menari-nari dalam bayangannya.
“Ti—tidak ada apa-apa. Hanya ingin bertemu saja,” kata Afifah berbohong.
Naufal terus menyunggingkan senyumnya. Dia senang dan bahagia Afifah ingin bertemu dengannya.
Suara musik mengalun merdu menemani mereka menyantap makan siang yang sudah diantarkan pramusaji.
“Sebenarnya ada yang ingin kukatakan dan kebetulan kau ingin bertemu denganku,” ucap Naufal selepas makanannya habis.
“Apa?”
“Sebelumnya aku minta maaf. A—aku tidak bisa memberikan mahar sesuai yang sudah kita sepakati. Hanya setengahnya saja yang dapat kuberikan untukmu. Sekali lagi aku minta maaf,” jelas Naufal, kepalanya menunduk dan tangannya bergetar. Dia takut Afifah marah dan kecewa.
Mata Afifah melebar mendengarnya. Kecewa? Pasti. Dia memang tak pernah meminta mahar yang tinggi tapi Naufal sendiri yang menjanjikan. Kini keraguannya semakin kuat tapi lagi-lagi dia teringat ucapan Bibi Vida. Afifah hanya tersenyum samar dan mengangguk. Tak meminta penjelasan apapun.
***
Suasana makan malam sekarang berbeda karena ada anggota baru yang duduk di kursi makan keluarga Haidar. Beberapa menu yang dimasak Sophia sudah terhidang di atas meja. Si Bungsu Zalfa malah membeli nasi goreng kambing untuk mengisi perut laparnya.
“Selamat datang di keluarga kami, Naufal,” sambut Haidar selepas menyantap pudding cokelat sebagai makanan penutup.
Naufal tersenyum dan melirik Afifah yang masih menikmati pudingnya.
“Ada yang mau Papa dan Mama tanyakan.”
“Silakan, Pa.” Naufal merasa sangat bahagia sekarang. Apalagi keluarga Afifah menyambutnya dengan baik.
“Papa dan Mama cukup terkejut dengan mahar yang kau berikan untuk Afifah bukankah kita sudah sepakat kau akan memberikan mahar sepuluh gram emas?” tanya Haidar hati-hati. Walaupun Haidar orang yang tegas tapi dia juga sangat berhati-hati dalam bicara, tak ingin menyinggung atau menyakiti perasaan orang lain.
Senyum Naufal memudar. Dia sudah menduga orangtua Afifah pasti akan menanyakan hal ini. Dia mengedip-ngedipkan mata dan menundukkan kepala. Bingung untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan Haidar.
“Maaf, Pa, Ma, sebagian uang untuk mahar terpakai untuk kekurangan biaya pernikahan kami. Jadi Naufal hanya bisa memberikan setengahnya.” Akhirnya Afifah angkat bicara.

Comentário do Livro (110)

  • avatar
    HariandiDicky

    bagus bgt

    17d

      0
  • avatar
    Siti

    👍👍

    15/08

      0
  • avatar
    ZbDesti

    serius

    17/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes