logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 2 Rani dan Raya

Suara sirine ambulans terdengar nyaring saat memasuki halaman rumah bernomor B67 itu. Elena berdiri di teras depan, bersandar pada tiang teras. Wajahnya yang putih terlihat sepucat kertas.
"Duduklah El," bujuk Bu Halimah-tetangga sebelah rumahnya-yang sedari tadi setia menemaninya bersama ibu-ibu yang lain. "Nanti kamu pusing. Kan lagi hamil. Kasihan janinmu, Nduk."
Elena hanya menatap wanita berusia enam puluh tahun itu dengan bingung. Masih tak mengerti apa yang sedang dilakukan Bu Halimah di rumah ini.
‘Mengapa rumah ini mendadak ramai?’, pikirnya. Belum lagi keberadaan ibu-ibu tetangga yang lain yang mendadak sibuk di dapur, membuat teh dan penganan untuk bapak-bapak yang sibuk memasang tenda di halaman depan. Sofa di ruang tamu dikeluarkan. Seseorang juga meminjam kursi-kursi plastik dari rumah Pak RT dan menyusunnya di halaman.
Di kompleks perumahan ini, rata-rata penduduknya memang sudah berusia lanjut. Karena pada awal dibangunnya kompleks ini memang diperuntukkan sebagai perumahan karyawan PT.Suryaindo, tempat Pak Hendra-Mertua Elena-dulu bekerja. Jadi yang tinggal disini rata-rata memang pensiunan seangkatan almarhum Pak Hendra. Elena dan suaminya memang tinggal di rumah peninggalan orangtua Fajar. Mereka baru pindah ke rumah ini setahun yang lalu, untuk merawat Pak Hendra yang mendadak terkena struk.
Sebelumnya Elena dan Fajar merantau ke provinsi lain, disana Fajar bekerja sebagai kurir ekspedisi. Sedangkan Elena bekerja di sebuah minimarket sebagai kasir. Namun ketika Pak Hendra jatuh sakit, merekalah yang dipanggil pulang untuk merawat Pak Hendra yang hanya bisa terbaring di tempat tidur.
Ibu Fajar sudah lama berpulang, sejak Fajar masih duduk di bangku SMA. Sebagai anak sulung, Fajar memilih tidak melanjutkan pendidikan karena mesti merawat adik kembarnya Rani dan Raya yang waktu itu masih kecil. Setelah kedua gadis itu beranjak remaja dan bisa mengurus diri sendiri, barulah Fajar memutuskan pergi dari rumah dan mencari pekerjaan di kota lain.
Beberapa tahun sudah berlalu, kini Rani dan Raya sudah menjelma menjadi dua orang gadis yang cantik. Mereka sudah berusia dua puluh dua tahun. Rani masih kuliah semester akhir di sebuah perguruan tinggi swasta, sedangkan Raya menikah sewaktu masih duduk di bangku SMA. Keduanya memang memiliki perbedaan usia yang lumayan jauh dengan kakaknya, Fajar.
Ambulans itu berhenti di halaman rumah. Orang -orang ramai menyambut, menurunkan jenazah. Elena cuma menatap dari jauh, sama sekali tidak tertarik untuk mendekat. Seolah-olah dia hanyalah seorang penonton di sebuah gedung bioskop, yang sedang menyaksikan sebuah film di layar. Sampai...
"Mas Fajaaarrr!!!," terdengar jerit histeris suara perempuan menyerbu gendang telinga Elena, membuatnya mengerjapkan mata, tersentak dari lamunannya yang panjang.
"Mas Fajar, jangan tinggalkan kami. Huuu," suara tangis seorang perempuan lainnya terdengar.
Elena kembali mengerjapkan mata. " Rani? Raya?" Berjalan tertatih sambil memegangi perutnya yang buncit, Elena menghampiri kedua adik iparnya yang sedang histeris di sebelah jenazah.
"Kenapa Mas Fajar, Mbak? Kamu apakan kakak kami, hah?!"
Elena tergeragap dan mencoba menghindar saat Raya merangsek maju dengan mata merah. Tangannya terjulur ke depan. Lantas...
"Plak!!!"
“Astagfirullah.”
Suara tamparan itu nyaring terdengar. Bu Halimah yang saat itu berada di sebelah Elena kontan memekik dan beristigfar. Sebelah tangannya menangkap tubuh Elena yang sedikit terhuyung.
"Astagfirullah...Sabar, Raya! Apa-apaan kamu datang langsung main gampar kakak iparmu?," bentak Bu Halimah yang kurang senang melihat sikap Raya.
Namun tamparan itu menyadarkan Elena dari ketidaksadarannya. Seolah-olah baru terbangun dari mimpi, dia balas menatap Raya dengan tajam.
“Kenapa kamu menamparku?!”, tanyanya dengan kesal.
"Apa lo? Nggak terima gue gampar?”, balas Raya menantang.
“Jelas aku nggak terima. Aku ini kakak iparmu, Raya!”
“Sejak kapan gue menerima lo sebagai kakak ipar, hah? Dari awal gue memang nggak suka Mas Fajar nikah sama lo. Dasar perempuan pembawa sial! Lo lihat tubuh kakak gue! Kemaren aku masih bertemu Mas Fajar dalam kondisi sehat wal afiat, tapi paginya sudah berubah jadi mayat. Dasar perempuan pembawa sial!" Raya memaki Elena habis-habisan dengan suara keras dan wajah sangar.
Nyess....sesuatu merembes di dada Elena mendengar kata ‘mayat’. Tubuhnya mendadak menggigil dan tungkainya menjadi lemas. Dan Elena pun terjatuh berlutut disebelah jasad suaminya.
‘Mas Fajar,” panggilnya lirih. Air mata berlomba-lomba keluar dari mata Elena, seiiring kesadaran akan kenyataan yang menghantamnya.
“Sabar, Nduk,” ujar Bu Halimah sambil mengelus punggung Elena. “Ikhlaskan Fajar.”
“Enak banget bilang ikhlas. Perempuan ini sudah bikin kami kehilangan kakak kami satu-satunya,” bentak Raya lagi sambil mendorong punggung Elena sehingga tersungkur di atas jasad suaminya.
“Astagfirullah al aziim,” semua yang hadir di ruangan itu serentak beristigfar. Tangis Elena semakin menjadi saat memeluk jasad suaminya yang mulai kaku dan dingin.
"Jaga tingkahmu Raya," Bu Halimah mengingatkan. "Disini ada jenazah kakakmu terbujur, sedang kau tanpa merasa bersalah sudah membuat keributan. Sungguh perbuatanmu ini sangat tidak pantas!"
Raya mendelik menatap Bu Halimah, tetangga yang menurutnya sok alim itu. Sebenarnya Raya ingin membantah Bu Halimah, namun saudara kembarnya-Rani, menarik tangannya.
"Sudah, jangan bikin ribut."
"Gue belum selesai sama perempuan ini, Ran," Raya membantah sambil melepaskan tangannya dari cekalan Rani.
"Sudah, nanti aja dilanjutkan. Sebentar lagi Mas Fajar mau disholatkan ke mesjid. Yuk ikut!"
Raya memang temperamental. Berbeda dengan Rani yang masih bisa sedikit menahan diri. Mungkin karena hidupnya yang getir, masih muda sudah menjadi janda. Raya adalah korban salah pergaulan sehingga masa remanya terpaksa berakhir dengan 'Merried By Accident' alias hamil duluan sebelum menikah. Sama anak muda pengangguran pula. Saat menikah, usia Raya baru 19 tahun, baru saja lulus SMA. Karena keburu hamil, makanya Raya dinikahkan. Itupun hanya bertahan beberapa bulan. Setelah anaknya lahir, mereka pun bercerai.
Kehamilan Raya sangat memukul Pak Hendra. Maklumlah, Pak Hendra sangat menaruh harapan pada kedua anak perempuan kembarnya itu. Fajar sebagai anak sulung dan satu-satunya anak laki-laki dulu menolak untuk melanjutkan kuliah. Bukannya tak ingin atau karena otaknya tidak sanggup. Tapi karena waktu Ibunya meninggal, kedua orang adik kembarnya itu masih kecil. Sehingga Fajar memilih tidak kuliah demi merawat mereka.
Untunglah Rani masih mau melanjutkan pendidikannya. Rani kuliah di jurusan PGSD, biar mudah dapat kerja dengan menjadi guru. Sebagian uang kuliah Rani, Fajar yang tanggung. Karena uang pensiun bapaknya yang tak seberapa mesti dibagi buat Raya yang sudah menjadi janda beranak satu.
Rentetan masalah yang menimpa Raya, mulai dari hamil di luar nikah hingga menjadi janda setelah anaknya lahir, sangat memukul Pak Hendra. Beliau merasa gagal sebagai orangtua. Akibatnya Pak Hendra menderita strook. Tidak mampu bergerak dan beraktivitas sebagaimana biasanya. Hanya bisa terbaring di tempat tidur.
Waktu itu Raya masih tinggal di rumah ini bersama Pak Hendra. Sedangkan Rani dari awal masuk kuliah memang ngekos di dekat kampusnya. Namun semenjak Pak Hendra sakit, Raya hengkang dari rumah dan memilih tinggal di kosan bersama Rani. Sementara anaknya yang bernama Dea dititipkan pada mantan mertuanya.
Raya memang anak yang manja dan tidak bisa diandalkan. Padahal dulunya dia adalah anak kesayangan Pak Hendra. Namun disaat bapaknya sakit dia malah memilih untuk pergi menghindar. Karena itulah Fajar akhirnya mengalah, memilih pulang kampung demi merawat bapaknya. Padahal waktu itu Fajar baru saja membina rumah tangga dengan Elena. Memilih pulang dan keluar dari pekerjaan bukanlah perkara gampang. Apalagi di kampung juga belum tahu mau kerja apa. Namun karena tanggung jawabnya pada orangtua, lagi-lagi Fajar mengalah. Untunglah dia tak salah memilih Elena, wanita solehah yang selalu mendukung suaminya.
Elena segera menjadi menantu kesayangan Pak Hendra. Bahkan kondisinya perlahan mulai membaik sejak dirawat Fajar dan istrinya. Pak Hendra mulai mau duduk di kursi roda, dan sering berjemur di teras. Bahkan beliau mulai mau bicara, walau kata-katanya masih kurang jelas. Beberapa bulan kemudian, Fajar mulai berpikir untuk mencari kerja lagi. Karena bekal tabungannya mulai menipis, sementara menggantungkan hidup pada uang pensiun bapaknya sangat tidak mungkin.
"Sejak Mas Fajar menikah, jatah bulananku menjadi kurang. Padahal tugas kuliahku sangat banyak dan butuh biaya," Rani mengeluhkan jatah bulanannya secara terang-terangan di depan Elena. Tidak ada sungkan dan penghargaan sedikit pun pada istri kakaknya itu.
"Ya wajarkah, Dek. Mas sekarang kan sudah punya istri yang juga wajib diberi nafkah," jawab Fajar waktu itu.
"Trus gimana kuliahku, Mas?"
"Ya nggak gimana-gimana," sela Pak Hendra yang waktu itu masih bisa bicara, walau sudah mulai sakit-sakitan. "Kamu bisa pindah ke rumah ini, biar irit uang kos. Tempat kosmu itu kosan mewah, Nduk. Cocoknya buat anak orang kaya, anak bos. Lah Bapakmu ini sudah tua, cuma pensiunan. Tak usah deh bergaya hidup mewah."
Rani mendelik. "Udahlah aku dipaksa milih jurusan tak bonafid, disuruh pula bergaya kere. Bapak tu maunya apa sih?"
"Bapak mau kamu sadar diri, Nduk. Masmu sekarang sudah punya istri, sudah punya keluarga yang mesti dia nafkahi. Sudah saatnya kamu pulang ke rumah. Toh kampusmu tidak jauh-jauh amat. Kamu boleh pakai motor Bapak. Paling juga cuma setengah jam dari sini ke kampus."
Namun Rani menolak permintaan bapaknya mentah-mentah. "Mana bisa aku belajar disini, Pak. Aku pusing mendengar Dea rewel tiap malam. Sementar Raya tidur kayak kebo. Anaknya menangis tengah malam minta susu, aku juga yang mesti bangun untuk bikinin Dea susu."
"Kamu kan Tantenya, ya wajarlah bikinin Dea susu."
"Pokoknya aku nggak mau pulang. Aku lebih suka ngekos biar lebih konsentrasi belajar!"
Sebenarnya alasan Rani sedikit dibuat-buat. Sebenarnya dia sudah terlanjur nyaman di kosannya yang sewanya lebih dari satu juta sebulan. Tempat itu sangat mewah dan nyaman, kamar tidurnya luas dengan kamar mandi pribadi. Fasilitasnya juga lengkap dengan TV kabel dan Wifi. Membuat Rani enggan pulang ke rumahnya yang ada bayi, saudara kembar yang depresi dan Bapak yang cerewet. Lagipula Rani menganggap kemewahan yang dia dapatkan adalah kompensasi dari hilangnya kasih sayang ibunya yang sudah meninggal. Jadi sudah tugas bapak dan kakaknya untuk membuatnya hidup nyaman. Suatu pemikiran yang sangat egois.
Dulu Fajarlah yang menyokong biaya Rani. Lebih dari setengah gajinya dikirimnya buat biaya kuliah Rani. Padahal sebagai kurir ekspedisi, gaji Fajar waktu itu cuma sebesar UMR, sekitar tiga jutaan rupiah diluar bonus, uang makan dan uang bensin. Fajar memberi Rani dua juta sebulan untuk biaya hidupnya, sedangkan uang SPP yang dibayar per enam bulan ditanggung oleh Pak Hendra. Namun sejak menikah, Fajar memangkas uang bulanan Rani menjadi satu juta lima ratus ribu saja, karena dia juga harus memikirkan biaya hidupnya dengan Elena. Terang aja buat Rani uang sebanyak itu tidak cukup, hanya pas-pasan untuk bayar kos-kosan.
Akibatnya Rani dan Fajar terus-terusan bertengkar, sehingga Fajar menjadi lelah dan tertekan. Tidak hanya itu, Elena juga ikut menjadi korban kebencian Rani. Rani menganggap Elena-lah yang membuat Fajar berubah menjadi pelit dan tidak sayang lagi padanya. Padahal yang terjadi sebenarnya Fajar sudah lelah menghadapi ketidakdewasaan adik-adiknya.

Comentário do Livro (357)

  • avatar
    Rici Gustina

    kasih sama elea

    8d

      0
  • avatar
    ApriliaAulira

    mantap

    10d

      0
  • avatar
    Keeple keceh

    Mntapp

    10d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes