logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 4 Dalangnya Zeina

Meisya tidak menyukai keadaan seperti ini, seharusnya sejak awal tidak dirinya utarakan keresahan akan kesendiriannya selama hampir empat tahun ini pada Zeina, sahabat sekaligus rekan kerjanya yang kadang bisa sangat egois pada pilihan dan ucapannya.
Seolah apa yang Zeina katakan baik untuknya.
“Ze, kenapa harus Alva?” tukasnya cepat, ketika keduanya mendapatkan meja yang tidak jauh dari pintu masuk kafe.
"Kamu mau jawaban seperti apa? karena kalau bagiku tidak ada yang lebih baik darinya. Seperti yang saat ini, ada pria yang membuat aku berpikir ada baiknya bila dia memilih aku."
Meisya menghela napas lelah. Selalu saja temannya itu mudah sekali jatuh cinta.
Tanpa keduanya sadari, mereka telah menjadi pusat perhatian para mata lelaki yang pagi itu berada di sekitaran kafe, baik di dalam maupun luar kafe.
Kaca bening yang tidak menyembunyikan keadaan di dalam kafe, dan orang yang berada di luar dapat melihat pergerakan kedua wanita yang tak lain adalah Zeina dan Meisya.
Kecantikan hakiki bila banyak lelaki menyebutnya.
Yang tengah diperhatikan tidak menyadari hal aneh apapun karena masih asyik dnegan obrolan yang tampak seru dari pandangan orang yang menatap keduanya, termasuk pria yang kini keluar dari bagian dalam kafe, dan mengulas senyum menawan, yang dapat membuat para wanita terpesona pada pandangan pertama oleh parasnya.
Meisya berpikir, ini kesempatan tepat untuk bisa mengetahui apa yang sebenarnya sahabatnya itu inginkan ari sebuah hubungan yang tidak mungkin.
Setelah lari-lari kecil di sekitar perumahan tempat tinggal Zeina, yang seperti biasa mereka berdua akan selalu mengawali liburan pagi hari dengan maraton, berputar di sekitar kompleks dan berakhir di sebuah kafe yang tidak jauh dari rumah Zeina.
Meisya kini tersenyum lembut pada pria di depannya yang saat ini meletakan dua buah kopi dengan aroma berbeda dan dua slice brownies hitam dan putih.
Alir liurnya bisa saja menetes, yang untungnya dengan sangat sadar, Zeina menepuk pelan punggung tangan Meisya ketika tatapan itu tidak juga beralih dari brownies menggoda iman.
“Seperti biasa ya, kalian selalu jadi magnet untuk kafeku, hari biasa sepagi ini tidak akan pernah seramai ini, dan brownies ini bonus untuk kalian, anggap saja tanpa kalian sadari, kehadiran kalian telah banyak membantuku.” ucap pria yang keduanya kenal sebagai pemilik kafe, selain tampan dan keturunan Turki, sejauh ini Meisya menyukainya karena sikapnya yang sangat lembut pada semua pelanggannya.
Jadi tidak ada yang diutamakan, semua pelanggan adalah raja.
"Abas, kalau begitu, bagaimana kalau kita berdua bekerja paruh waktu di weekend, pasti omset dua hari itu akan melejit, tapi tentu ada keuntungan juga bagi kita berdua, bonus makan sepuasnya selama setahun.
Meisya membulatkan kedua matanya mendengar penuturan absurd Zeina, yang bisa di luar logika.
“Hei, itu bukan bonus, tapi bikin kafe orang lain bangkrut,” tukas Meisya yang langsung disambut gelak tawa dari bibir Abas.
Banyak pasang mata yang menatap ketiganya dengan rasa penasaran yang cukup kuat.
Sebagian isi kepala mereka seolah mengatakan secara lantang kalau mereka ingin menggantikan posisi lelaki yang tengah tertawa bersama dua wanita memesona di sana.
Abas, pria tampan yang langsung membuat Meisya terpesona untuk ke sekian kalinya.
Kadang dia berpikir, kenapa tidak dengan Abas saja dia memulai sebuah pendekatan. Setidaknya dia pernah berusaha, namun sayangnya dia terlambat. Abas seminggu yang lalu cerita kalau dia telah memiliki hubungan dengan seseorang yang belum lama dia kenal.
Sehingga perasaan Meisya kian luruh dan ia menyadari kalau dirinya tidak menarik bagi Abas.
Jangankan dia, mungkin Zeina yang jauh lebih cantik saja tidak membuat seorang Abas jatuh cinta seperti kebanyakan pria lainnya yang dengan mudah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan sahabatnya ini.
Zeina mengerucutkan bibirnya ke arah Abas.
“Aku jelas tidak akan bangkrut, tapi kasihan karyawanku yang pekerjaannya kalian ambil alih, bukankah kita harus adil, jadi biarkan seperti ini saja, setidaknya kalian tidak akan pernah kehabisan stok brownies dari kafeku.”
"Nah itu bagian utama. Aku lebih menyukai bayaran dua buah brownies itu dibandingkan dengan yang lain," tukasnya cepat sambil mengedipkan sebelah matanya pada Abas.
Abas langsung memberikan kode oke dengan jempol dan jari telunjuknya membentuk lingkaran.
Meisya langsung saja tersenyum dan mengangkat-angkat alis matanya sebagai tanda setuju dengan ucapan pria Turki itu.
“Baiklah, aku harus segera kembali ke dapur, karena sepertinya akan banyak sekali pesanan kue membeludak karena kalau kalian sadar, kalian telah banyak membuat para pria si dalam kafeku terakar, dan mungkin itu karena keberadaanku,” gelaknya sambil berbalik setelah mengatakan untuk menikmati dan jangan sungkan menambah slice brownies yang kami inginkan.
Keduanya menoleh ke lain arah dan benar saja, hampir keseluruhan pengunjung kafe adalah pria.
“Jadi katakan alasan sebenarnya dari kenapa harus Alva dan keberadaannya sore itu di ruangan Kaffi. Jelas-jelas aku tengah membantunya karena ada kesulitan, namun kehadirannya yang mendada itu membuat Kaffi berpikiran yang tidak-tidak,” ungkapnya lugas.
Zeina menghembuskan napas panjang.
“Kalau aku katakan aku sengaja bagaimana? aku hanya berpikir kalian harus sering berinteraksi meskipun sedikit. Dan alasan lainnya adalah hanya ingin yang terbaik untuk kalian, apa kamu percaya?"
Zeina mengharapkan respon sahabatnya dan dia masih tetap diam yang akhirnya melanjutkan.
"Pasti tidak, jadi kenapa tidak dicoba saja, Alva sendiri sudah oke, ya... meskipun memang jarang berada di dekat kamu, tapi dia memantau juga loh, jadi jangan berpikiran buruk padaku dan padanya ya.”
Meisya masih kurang yakin dengan jawaban Zeina, ia tetap merasa ada yang janggal, termasuk pada Alva kenapa manut saja dengan ucapan Zeina.
“Kamu pasti tengah mengancam dia ya Ze? Hanya karena aku adalah sahabat kamu dan menjodohkan kami berdua. Bukankah itu juga termasuk pada paksaan Ze.”
“Percaya sama aku, kalian berdua itu bisa menjadi yang terbaik di luar dari hubungan persahabatan antara keluarga aku dan dia.”
Meisya mau tidak mau hanya bisa menganggukkan kepala, lihat saja dulu.
Meisya mengerutkan keningnya bingung ketika Zeina tersenyum lebar pada seseorang yang berada di belakangnya.
“Nah, waktunya pas banget, lebih baik kamu tanyakan langsung sama orangnya deh, kebetulan dia ada di sini.”
Orang yang... bersangkutan? Oh, my....
“Pak Alva ada di sini?” ucapnya dalam hati.
“Kalian dengan tenangnya membicarakan orang yang jelas-jelas berada di sini. Itu sungguh tidak sopan?"
Meisya tersentak. “Mati aku,” ucapnya lirih.

Comentário do Livro (28)

  • avatar
    Nia

    awesome

    11h

      0
  • avatar
    WastutiWastuti

    bagus ceritanya

    10/05

      2
  • avatar
    SyamimiNur

    bgus

    01/03

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes