logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 2 GIRI

Sudah seminggu sejak pembacaan surat wasiat itu di kantor Tuan Hardono S.H dan Ros kembali ke rutinitasnya semula. Ia masih tinggal di rumah almarhum Kakek Donosepoetro, dimana Tante Mien dan anak-anaknya juga masih tinggal di situ.
Berbeda dengan Alex bersaudara yang menempati kamar super besar dengan balkon, Ros hanya menempati kamar kecil di belakang dekat dapur, bersebelahan dengan kamar Bik Misna. Kata Bik Misna, kamar itu dulu kamar almarhum ibunya. Saat Tuan Asmoro dan Kakek Donosepoetro masih hidup, Ros menempati kamar di lantai satu, berseberangan dengan kamar Kakek. Namun saat beliau sudah meninggal, mendadak saja kamar itu dikunci, barang-barangnya yang tak terlalu banyak dipindahkan Pak Karso tukang kebun, ke kamar belakang.
Ros tak ada waktu untuk menangis. Hari ini ia ada janji bimbingan dengan dosen di kampus, dan sepulangnya nanti ia harus segera berangkat ke tempat katering, untuk persiapan acara pernikahan seorang selebgram di kotanya, dua minggu lagi.
Ya, Ros bekerja paruh waktu. Sadar bahwa tak akan ada lagi yang memberinya uang saku, Ros nekat untuk bekerja. Dulu semasa Tuan Asmoro dan Kakek masih hidup, mereka selalu memberi Ros uang saku dan uang untuk kebutuhannya. Ros tahu ia harus berhemat, itulah sebabnya gadis itu memilih untuk menabung sebagian uang sakunya dan menggunakan uangnya seefisien mungkin.
Ros baru saja keluar gerbang kampus saat ada mobil silver berhenti tepat di depannya. Kaca mobil terbuka dan seraut wajah tampan dibalik kemudi tersenyum.
"Baru pulang, Ros?"
"Eh ... abang? Iya nih, baru aja selesai bimbingan sama dosen ..."
"Ya sudah, ayo masuk. Abang antar kamu pulang ..."
Bergegas Ros masuk ke dalam mobil. Udara sejuk dan wangi langsung menyambutnya. "Abang baru pulang kerja?"
Giri menoleh ke arah Ros. "Iya. Tadinya mau nelpon kamu dulu, tapi kupikir, nanti sajalah kalau sudah sampai depan kampusmu. Eh ternyata kamu sudah di depan. Kok kamu nggak nelpon abang?"
Ros meringis. "Takut ganggu kerjaan abang. Biasanya abang kan pulangnya sore."
"Tapi setidaknya kamu kabari abang ya Ros? Kamu kan tahu kalau abang selalu mengkhawatirkan kamu ..."
Ros menyentuh sekilas lengan Giri dan tersenyum manis. "Iya bang, aku tahu. Makasih ya ..."
"Kamu mau ke mana siang-siang begini?"
Ros berpikir sejenak. "Aku lapar ..."
"Ya sudah, kita makan dulu. Kamu berangkat kerja ke katering jam berapa?"
"Nanti sore bang, jam empat. Ada briefing buat acara pernikahan dua minggu lagi ..."
Giri tak menjawab. Lelaki itu membelokkan mobilnya di salah satu kafe berarsitektur minimalis. "Kita makan di sini saja ya? Kebetulan aku kenal sama pemiliknya ..."
Ros mengangguk. Lalu mengikuti langkah Giri menuju kafe. Selaginya Ros mencari tempat duduk, Giri menuju konter pemesanan makanan. Tak berapa lama kemudian lelaki itu duduk di seberang Ros.
"Aku sudah pesan makanan. Nggak apa-apa kan?" tanya Giri. Tangannya meraih ponsel yang berada di saku kemejanya. Benda itu berdering sedari tadi. Giri memberi isyarat pada Ros untuk permisi mengangkat telepon dan sedikit menjauh dari situ.
Ros mengamati Giri yang sedang serius menerima telepon, entah dari siapa. Mungkin dari kantornya. Lelaki itu memiliki postur tinggi dan proporsional, gaya busana dan sikapnya mampu mencuri perhatian kaum hawa di sekitarnya. Ros teringat pertemuan pertamanya dengan Giri di salah satu supermarket di Jl Layang. Saat itu Ros hendak mengambil manisan buah leci di rak pajang. Kebetulan tinggal satu dan nampaknya Giri juga menginginkan barang yang sama. Mereka nyaris berebut kaleng itu. Sesaat bertatapan lalu saling melempar senyum. Ujung-ujungnya mereka berkenalan. Nyatanya Ros tetap membagi manisan buah itu dengan Giri. Mereka makan berdua di taman kota.
Angan Ros berhenti memikirkan buah leci itu saat didengarnya suara yang tak asing memasuki kafe. Ah, benar kan, itu Alina dan teman-temannya. Mereka duduk di dekat pot bunga, tak jauh dari Giri yang sedang menelepon. Ros masih mengamati Alina yang mendadak terfokus pada Giri. Tanpa sadar Ros meremas kuat ponsel jelek di tangannya. Ngapain lagi tuh cewek, pakai acara mendadak harus melewati Giri untuk menuju toilet.
Hampir saja Ros berdiri, tapi pramusaji datang dan mengantarkan pesanan makanannya. Setelah mengucapkan terima kasih, Ros menatap hidangan di depannya dengan mata terbuka lebar. Makanan sebanyak ini, apa Giri nggak salah pesan? Karena tak ingin salah paham, akhirnya gadis itu memutuskan untuk menunggu Giri terlebih dulu.
Tak berselang lama, Giri kembali ke tempat duduknya di seberang Ros.
"Maaf Ros ... telepon dari Mama. Biasalah, beliau curhat dulu, apalagi abang belum bisa pulang seminggu ini."
Giri memang tinggal di rumahnya sendiri, yang baru ia bei setahun lalu dan kebetulan rumah barunya lebih dekat ke tempat kerjanya meski untuk itu ia harus meninggalkan ibunya di lain kecamatan, yang tinggal bertiga dengan sang adik dan asisten rumah tangga.
"Iya bang ... nggak apa-apa ..."
"Kok belum makan, Ros?"
"Nah itu ... aku mau tanya bang, nggak salah nih pesan makanan sebanyak ini buat kita berdua?"
Giri tertawa. "Enggak ... kamu tuh harus makan yang banyak. Tubuhmu masih terlalu kurus, aku memang sengaja pesan yang banyak buat kamu. Kalau nggak habis, dibungkus juga bisa ..."
"Oh ... ya sudah. Aku makan saja kalau begitu ...," Ros mulai mengambil sup asparagus di depannya.
Sementara Ros makan, Giri hanya diam dan tersenyum. Sepasang mata teduhnya lekat memandang Ros yang sedang makan dengan lahap. Sedikit banyak Giri memahami keadaan Ros. Asal usul gadis itu, dan bagaimana keadaannya di rumah Nyonya Miendarti. Giri menyukai Ros apa adanya. Kepolosan dan kebaikan hati Ros telah menawannya sejak pertemuan mereka yang pertama.
Sayangnya kenikmatan makan yang Ros rasakan terpecah begitu saja saat didengarnya suara centil seorang gadis menghampiri mejanya.
"Hai Ros ... kamu di sini juga ternyata ..."
Ros mendongak. Sisa mie kluntung masih ada di sudut bibirnya saat matanya bertemu dengan mata bereyeliner tebal di depannya.
"Oh ... hai Lin ..."
Giri mengambil tisu dan mengelap ujung bibir Ros. "Kamu nih lucu. Kalau makan mesti belepotan ...," Giri tertawa lunak.
"Ng ... kamu sama siapa nih?" Alina masih betah berdiri di depan meja Ros.
"Bang ... kenalin ini Alina, " ujar Ros tanpa senyum. "Ini abang Giri, pacarku ..."
"Wow ... kamu bisa punya pacar juga ternyata. Kenalin aku Alina, saudara tiri Ros ...," Alina mengulurkan tangan kanannya ke arah Giri dengan sikap manja.
"Giri ...," lelaki itu menerima uluran jabat tangan Alina sejenak, kemudian melepaskan tangannya.
Ros sengaja tak ingin memperbanyak percakapan dengan Alina, supaya gadis itu paham bahwa ia sedang tak ingin diganggu. Tapi dasar Alina muka badak. Ia malah duduk di samping Ros tanpa permisi.
"Aku ikut gabung sama kalian ya?" Alina memandang Ros dan Giri bergantian penuh harap.
Ros sudah akan membuka mulutnya saat Giri meraih tangan Ros di atas meja dan mendahului menjawab pertanyaan Alina.

Comentário do Livro (167)

  • avatar
    Diansw50

    novelnya bagus sat set and happy end. trims author., Krn bacaan mu yg tak membosankan telah menemaniku sepanjang hari😘😘😘😘😘

    26d

      0
  • avatar
    SusantiSiti

    aku

    28d

      0
  • avatar
    RaniaZahra

    bagus

    28d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes