logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

BAB 8 HADIAH

Jiwa berontak mendengar kata istri darinya. Apakah layak diri ini menyandang gelar itu? Bukankah aku tak dibutuhkan sebagai istri? Bukankah ada mantan akan menjadi istri seutuhnya?
-------
"Caca senang deh, hari ini jalan-jalan ma Om Tio," ucap Bidadari cantik itu sambil menyeruput ice cream, sedang tangan sebelah mengeluarkan plastik penuh makanan.
"Oh, ya," jawabku tetap fokus menyetir menuju rumah, sesekali menanggapi celotehannya. Seperti ia telah lupa dengan laku ayahnya tadi siang.
"Ayah, udah pulang." Caca melompat turun, setelah mobil berhenti, saat l melihat pagar terbuka, ada roda empat Mas Reza terpakir. Halaman rumah Oma ini memang luas.
Tumben Mas Reza keluar kota hanya semalam? Ini juga pulang tanpa ada pemberi tahuan?
Entah kenapa sesak ini muncul lagi. Padahal aku sudah ikhlas. Apapun terjadi sampai ke rumah ini dan sebelum bertemu pria pembuat galau itu. Semoga hati ini baik-baik saja.
Ya .... Allah .... Mohon beri hamba kekuatan dan keikhlasan lebih. Pliss.
Walaupun ragu, tetap melangkah memasuki rumah setelah memberi salam. Terlihat Caca bergelayut manja pada lengan ayahnya di ruang keluarga sambil berceloteh panjang lebar.
"Udah lama datang, Mas?" sapaku meletakkan barang belanjaan Caca di meja sofa.
"Siang tadi. Kamu kurang sehat, ya? Wajahmu pucat." Mas Reza memindaiku. Tatapnya seakan menguliti. Ah, sudahlah, Mas. Lelah rasa jiwa saat ini.
"Caca sama ayah, Sayang. Bunda kayaknya lagi nggak enak badan." Aku mencium pipi Caca, sekaligus menjawab pertanyaan Mas Reza. Tak ingin rasanya berlama-lama di dekatnya. Entah kenapa membuatku tertekan.
"Maaf, Mas. Zahrah ke kamar dulu," ucapku tanpa melihat wajahnya.
Aku langsung membaringkan tubuh di tempat tidur. Badan terasah lemah, tulang pun seakan tak bertenaga.
"Bunda, bangun. Udah Magrib." Caca menggoyang lenganku, ia memakai mukena salat.
"Caca udah salat? Kok nggak nungguin Bunda? tanyaku setelah kesadaran terkumpul, lalu bangun menuju kamar mandi.
"Kata ayah, ntar bangunin Bunda, biar istirahat sedikit lagi," jawabnya setelah aku membersihkan diri.
"Kita tungguin Bunda, di meja makan setelah salat, ya?" Aku menggangguk, Caca keluar kamar.
Setelah melakukan sujud panjang, dan pengaduan kepada Pemilik Takdir. Ada rasa lega di hati.
Kini aku bertekad tak akan bertanya tentang kebersamaan Mas Reza dan Mbak Rita di restoran. Biarlah itu menjadi urusan mereka.
Yang ingin kulakukan sekarang adalah menjaga hati untuk selalu di jalan Allah.
***
Di meja makan, aku banyak diam dan hanya mengangguk mendengar ayah dan anak itu bercanda bersama.
Alangkah ramai suasana jika Mas Reza ada di rumah. Pantas saja Caca tak ingin ayahnya pergi lama-lama.
Sayang sekali, sepertinya aku harus mempersiapkan diri kehilangan moment-moment ini. Huft ....
***
Duduk menghadap laptop, aku memeriksa berkas dan keungan rumah loundry di kamar, sambil minum jus jeruk kesukaanku. Setelah menyiapkan kopi Mas Reza di ruang keluarga.
Biasanya sih, di sana aku mengerjakan hal seperti ini. Tapi ada nyeri di dada ketika melihat pria itu.

Kapan-kapan, meja setrikaan itu akan aku angkat masuk ke kamar sekalian. Biarlah di ruangan ini saja beraktifitas. Agar pria itu jauh dari jangkauan mata, terutama hatiku.
Saat ini, ingin fokus pada apa yang telah kufikirkan. Ya, mudah-mudahan dengan menyibukkan diri dengan sesuatu yang bermanfaat, hati kembali tenang.
Meskipun usaha rumah loundry ini masih kecil. Tapi, pembukuan harus jelas dan kesejahteraan lima pegawainya mesti diperhatikan.
Caca sedang ditidurkan ayahnya sambil membacakan kisah-kisah inspiratif pengantar tidur.
Alhamdulillah, bola mata membulat, keuntungan bulan-bulan terakhir ini meningkat.
Allah Maha Besar. Di sisi hati gelisah. Namun, di tempat lainnya membuatku sumringah.
"Kenapa senyum sendiri nggak ngajak-ngajak?" suara Mas Reza di dekat telinga.
Seketika membuat kaget, jantung terasa melompat. Baju kaosnya menyentuh punggungku. Debar di dada mulai menghentak keras.
"Mas, kenapa masuk nggak ngasih pemberitahuan," tanyaku memegang dada dan mengusap telinga setelah bergeser sedikit agak jauh.
"Udah ketuk pintu tadi dan beri salam berkali-kali, nggak ada jawaban. Ya ... aku ... masuk aja," jawabnya mengangkat kedua tangan tanpa bersalah.

Mungkin karena terlalu fokus mengerjakan pembukuan, aku tak sempat mendengar apapun.
Berbalik sebentar kearahnya tanpa senyum, aku pura-pura fokus ke layar.
"Marah? Emang mendatangi istri harus minta ijin, ya?" ucapnya sambil ikut melantai dan menyandarkan badan ke tempat tidur, lengan kami hampir bersentuhan.
Debar Jantung ini mulai tak terkontrol lagi.
Jiwa berontak mendengar kata istri darinya. Apakah layak aku menyandang gelar itu? Bukankah diri ini tak dibutuhkan sebagai istri? Bukankah ada mantan akan menjadi istri seutuhnya?
Memegang dada lama, sambil terus beristigfar dalam hati. Perih kembali tertoreh pada benda lunak di balik kulit. Mengingat Mbak Rita meminta rujuk dan kejadian tadi siang di restoran.
Hendak berdiri menghindari keadaan ini. Namun, tangan kekar itu menahan lenganku.
"Duduklah, Zahrah. Kamu nggak lagi haus kan? karena sedang minum jus?" cegahnya melirik gelas di dekat laptop yang tinggal setengah. Ternyata hari itu dia tahu aku menghindarinya.
Aku memperbaiki posisi dengan mengambil jarak setengah meter. Rasanya tak ingin melihat wajah pembawa gulana itu.
"Kamu kayaknya berubah," ujarnya membuat jantung semakin bergeser.
Apakah harus jujur?
Aku hanya diam, tak punya jawaban yang pas untuknya.
Mas Reza menarik lenganku. Refleks aku kaget.
Ingin rasanya menarik lengan itu namun kuurungkan, bukankah dia suamiku yang sah? Ia punya hak atas diri ini?
Pria itu memasangkan sebuah cincin putih yang ternyata sedari tadi ia persiapkan pada kotak perhiasan di tangannya.
Mataku membulat, melihat benda berpermata itu berkilau, sepertinya ini berlian.
Kini aku menatap netranya, meminta penjelasan.
"Terimah kasih telah menemani aku dan Caca. Hari ini dua tahun kita telah menikah, semoga kamu suka," ucapnya tersenyum manis, tanganku masih dalam genggamannya. Hangat.
Rasa haru melihat netra teduh itu. Ternyata ia ingat tahun-tahun pernikahan kami. Sedang aku sama sekali tak mengingatnya.
"Makasih, Mas," ucapku datar mengimbangi debar jantung yang keras.
"Ini ada hadiah kecil untukmu." Ia menyerahkan beberapa kertas. Setelah kuteliti. Wow! Sertifikat rumah atas namaku. Letaknya di tengah kota kalau tak salah.
Hadiah kecil katanya?
Ini kedua kali memberi hadiah sama. Dengan kian bertambahnya usia pernikahan tak normal ini.
"Mas, apa ini ngak berlebihan? Ini bukan kecil namanya," tolakku secara halus dengan menyodorkan surat-surat itu kepadanya.
Lelaki itu menatap lekat. Aku membalasnya tajam.
Apakah ini caranya mengikat dan memberatiku dengan benda? Kemudian ia bersama dengan mantannya?
Ya Allah ...
Kenapa perasaan ini tak mampu kulawan? Mengapa tak bisa menerima Mas Reza dengan mantannya? Bukankah Mbak Rita lebih pantas dan berhak untuk mereka? Bukankah aku sudah tahu kondisinya sebelum menerima pernikahan ini?
"Aku ta-."
"Besok kita ke sana. Lihat keadaan rumah itu. Aku sudah janji sama Caca," ujarnya memotong kalimatku.
Ia meletakkan kertas berkekuatan hukum itu di dekat laptop. Kemudian keluar dari kamar setelah mendengar dering HP yang tergeletak di atas meja sofa ruang keluarga.
Aku tak tahu apa maumu, Mas! Apa isi hati dan tujuanmu selama ini? Kalau hanya ingin aku merawat Caca, tak perlu kau menghamburkan uang untukku. Apa kau lupa kalau aku menikah denganmu bukan karena harta?
Meskipun tak bersamamu. Wanita yang tak kau ingin ini, rela hidup dengan putrimu.
Sungguh ...
Hanya Allah yang tahu, betapa sayangnya aku pada darah dagingmu.

Comentário do Livro (98)

  • avatar
    OctaridewiPinkan

    Seru bangettttt🫵🏻✨💖😭

    27d

      0
  • avatar
    GhofurIqbal

    keren

    15/08

      0
  • avatar
    AryaKrishna

    bagus

    10/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes