logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 6

"Tapi, mungkin kalian tahu. Bisakah kalian jelaskan, siapa di foto ini?" pintaku dengan tatapan penuh harap.
Mereka saling berpandangan dan garis mengerut terlihat jelas di kening mereka.
Foto yang aku sodorkan pada mereka adalah foto yang aku temukan di akun medsos seseorang, dari tahunnya cukup lawas, tahun 2014. Dan aku tidak menemukan lagi status terbaru selain tahun tersebut.
"Ni-sa?" ucap mereka bersamaan.
"Iya, wanita ini pernah aku lihat sekitar tiga bulan yang lalu bertamu ke rumah. Bukankah dia juga ada di foto yang kau pajang di rumahmu?" tanyaku ke Syifa. Tatapanku mengarah ke dia dengan harapan ada sedikit kejelasan.
"Dia memang teman seangkatan kami. Akan tetapi, kami tidak pernah bertemu dengannya selama ini," ujar Syifa padaku.
"Mba, tidak bertemu dengannya beberapa bulan ini?" Tatapanku beralih ke Nadia yang terlihat diam semenjak kuperhatikan foto tadi.
"Saya tak ingat dengan jelas ... kemungkinan sekitar sebulan yang lalu," ujarnya terlihat ragu-ragu. "Iya, sekitaran itu," lanjutnya sambil berpikir.
"Nad, kau bertemu dengannya?" tanya Syifa.
Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara mereka. Akan tetapi, mereka terlihat sedang menutupi sesuatu. Aku makin tak nyaman berada agak lama dengan mereka. Semuanya terkesan tertutup dan mereka sangat tidak terbuka denganku.
"Iya, sekitar sebulan yang lalu. Namun saat itu, kebetulan kami hanya bertemu di Mall. Setelah itu, aku tak tahu lagi dia ke mana. Tak banyak yang kami obrolkan, hanya saling menyapa dan seputar menanyakan keadaan. Itu saja," jawab Nadia panjang lebar.
"Mmm ...." Syifa tampak berpikir.
Takada yang bisa aku lakukan selain menunggu mereka saling melempar tanya-jawab.
"Sepeninggal Jannah, ia belum pernah ke rumah dan tidak pernah kulihat lagi. Bisa tunjukkan aku di mana alamatnya? Aku ingin menemuinya."
Tak mungkin aku akan berlama-lama berada di sini, hanya akan menghabiskan waktuku. Aku tidak boleh menyerah. Setidaknya, aku harus mendapatkan sedikit informasi meskipun belum terlalu jelas.
"Saya tak tahu. Saya sudah tidak saling kontak dengannya semenjak nikah," jawab Syifa kemudian matanya melirik ke arah Nadia dengan raut wajah penuh menegang.
Aku pun juga ikut mengalihkan pandanganku ke arah Nadia setelah mendengar jawaban Syifa. Sekarang harapanku ke Nadia. Apakah ia tahu keberadaan Nisa atau tidak?
"Saya juga gak tahu saat ini dia di mana. Dulu dia ngontrak di dekat Minimarket ind***** dekat kampus. Kalau sekarang, saya tidak tahu pindah ke mana." Nadia melanjutkan penjelasannya padaku.
Aku hanya bisa menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya. Setelah sekian lama diam, aku izin ke mereka untuk pamit. Tak lupa kuucapkan terima kasih ke mereka karena sudah mengajakku ke restoran ini untuk bercerita.
Tempatnya sangat ramai dan banyak yang berkunjung di sini setiap saat untuk sekedar ngobrol atau teman bisnis yang ingin mengajak calon kliennya. Suasananya juga sangat mendukung. Lantai bawah sangat cocok untuk orang-orang yang sebutkan tadi. Sedangkan di atas untuk pengunjung dengan suasana yang sedikit bebas untuk para perokok karena ruangannya tidak tersekat dan tertutup oleh jendela.
Setelah mengucapkan terima kasih, aku pun beranjak. Aku tetap berterima kasih ke mereka, setidaknya mereka masih punya kepedulian terhadap almarhumah sahabatnya.
"Sebentar, Pak! Ngomong-ngomong fotonya dapat dari mana? Sepertinya, foto itu sangat familiar, tapi saya tidak ingat di mana." tanya Nadia.
Aku menghentikan langkah sejenak, mendengar tegurannya kemudian berbalik ke arah mereka. "Dari sosmed milik Mba Nadia sendiri," jawabku.
"Maaf, Pa-k Ayes .... melihat-lihat akun sosmed-ku?" tanyanya mengernyitkan dahi.
"Maaf, bukan maksud saya menyelusuri akun sosmed Mba. Kebetulan saja saat saya membuka akun IG Umi yang tidak terkunci di gawaiku, saya melihat akun Mba Nadia dan di sana aku lihat foto wanita yang kalian sebut tadi,"ujarku.
"Mba Nisa?" sambungnya.
"Iya, Mba Nisa. Karena penasaran, gambar tersebut aku screenshot - tak ada maksud lain, hanya ingin menanyakan ke kalian keberadaannya," lanjutku.
"Untuk hal itu saya tidak bisa membantu, Pak," ucap Syifa.
"Insha Allah akan saya beri tahu bapak kalau saya mendapatkan kabar tentang keberadaan Nisa," sambung Nadia.
"Baik, terima kasih."
Aku meraih kembali tas yang sempat kubawa untuk segera berbalik dan berjalan - menuju kendaraan yang telah kuparkirkan. Nadia dan Syifa juga mulai beranjak meninggalkanku. Mereka juga bilang sedang terburu-buru ada urusan.
"Assalamualaikum, Pak Ayes." Seseorang menyapaku.
Aku tersentak di tengah keramaian ini ada yang mengenalku. Kuangkat wajahku untuk melihat siapa gerangan yang menyapaku.
"Waalaikumsalam. Pak Ihsan ...."
"Wah, ente memang luar biasa bisa bertemu dua sekaligus!"
"Maksudnya, Pak?" Aku sedikit bingung dengan pernyataannya, tak mengerti apa maksudnya.
"Tidak, hanya bercanda, Pak. Siapa kedua akhwat itu?" tanyanya padaku sambil melirik ke arah dua wanita tersebut yang baru saja meninggalkanku saat Pak Ihsan menyapaku.
"Oh, mereka yang anda maksud! Mereka berdua hanya sahabat almarhumah istriku!"
"Dalam keadaan berduka, kau masih sempat bertemu mereka," sindirnya.
"Mereka hanya ingin mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya Jannah," jawabku seadanya, tak ingin terpancing emosi.
Ia memang cukup pedas sindirannya padaku dan keluarga beberapa hari ini semenjak kabar meninggalnya Jannah.
"Di tempat seperti ini! Kenapa tidak di rumah?" cecarnya lagi.
"Kebetulan ketemunya di sini."
"Wah, semua serba kebetulan ya! Kita juga kebetulan bertemu di sini," lanjutnya. Kali ini ucapannya makin pedas. Nyesek sih, iya. Tahan, tahan.
"Oh, iya. Saya pamit dulu."
"Wah, cepat sekali, Pak. Padahal kita baru bertemu di sini. Aku masih ingin berbincang-bincang dengan anda."
"Bapak tidak punya seorang teman untuk bercerita?"
"Duduklah dulu, Pak Ayes. Sebentar lagi mereka akan tiba. Karena mereka belum datang, aku masih ingin bercerita dengan bapak."
"Maaf, Pak. Ada banyak urusan yang harus saya selesaikan."
Aku mencoba, menolak dengan halus. Tak tahu lagi bagaimana caranya agar tidak bercerita lebih lama dengannya. Bisa-bisa tensi darahku semakin naik-turun tak beraturan. Atau bisa-bisa stroke mendadak di sini karena meladeni obrolannya yang makin pedas dan tajam, setajam silet.
"Bukannya hari ini, hari ahad, Pak? Di rumah juga tak ada istrimu, pasti tidak ada yang menunggu!"
Tak tahu jawaban apalagi yang harus kuucapkan padanya. Ada saja celetuknya bila kita menjawab. Tak heran, kami di kantor menjulukinya sebagai manusia sejuta jawaban. Anda dan kami tak mampu meladeninya bila mengobrol.
"Saya punya anak-anak yang menungguku di rumah."
"Alaah, pastinya dititipin ke eyangnya. Gak mungkin dibiarkan di rumah sendirian! Sudah, yuk, duduk dulu. Gak usah nyari alasan!"
***
Bersambung ....

Comentário do Livro (227)

  • avatar
    ねえ

    cerita yang menarik

    8d

      0
  • avatar
    Nurul FitriResa

    bagus

    20d

      0
  • avatar
    AmeliaDessi

    bagus

    01/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes