logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 5

"Assalamualaikum." Aku mengetuk pintu.
"Waalaikumsalam." Suara lembut seorang wanita menjawab salam kemudian pintu terbuka. "Eh, Nak Ayes, sudah pulang. Mari Nak, silakan!"
"Makasih, Nyai." Aku duduk di atas sofa kemudian menyandarkan kepala.
Pikiranku masih dipenuhi oleh tanda tanya tadi. Siapa wanita di sebelah Jannah. Ingin sekali kumenemuinya, tetapi di mana. Namanya pun aku taktahu, apalagi tempat tinggalnya.
"Ntar ya, Mbah ambilin air minum."
"Gak usah, Nyai. Ayes, sudah minum."
Aku menolak karena sungkan selalu diperlakukan seperti tamu. Padahal, aku anak mantunya. Tapi, inilah sikap kedua mertuaku, yang selalu memerhatikan kami. Mereka sangat peduli dengan kegiatan kami setiap hari. Mereka akan selalu menanyakan kabar kami dan tentunya cucu-cucunya tiap saat.
Wajar saja, mungkin karena sisa mereka berdua di rumah. Ketiga anaknya sudah menikah dan masing-masing tinggal bersama keluarga mereka yang agak jauh dari rumah ini. Kalau kami tak sempat membesuk mereka, maka mereka atau salah satunya yang akan membesuk kami.
"Kalau gitu makan dulu ya." Nyai menyiapkan makanan untukku. Aku menoleh ke arah kamar.
"Kami sudah makan dari tadi. Kami pikir Nak Ayes akan lama pulang, jadi kami makan lebih dulu."
"Oh, iya. Baik Nyai." Sepertinya, ia mengerti maksudku.
Aku hanya tak enak bila makan sendiri atau lebih awal. Ternyata, mereka sudah makan lebih dulu. Ia menyiapkan kembali beberapa perlengkapan makan di atas meja.
"Tak usah bersedih ya! Ini semua cobaan buat Nak Ayes dan juga Mbah." Nyai membuka percakapan saat aku makan. Ia masih menemaniku makan walaupun ia sudah makan sebelumnya. "Saya dan juga Mbah semua terpukul dengan kabar ini. Semoga saja ini fitnah." Tak terasa embun menetes di pipinya.
Aku juga tak kuat menahan cobaan ini. Cibiran dan cemoohan juga datang bertubi-tubi padaku. Tak hanya tetangga, kerabat terdekat pun berubah, memperlihatkan sikap asli mereka yang sesungguhnya.
Mataku juga berkaca-kaca, tetapi kutahan sekuat tenaga. Tak mungkin aku kelihatan lemah di depan mertuaku. Aku harus tunjukkan bahwa aku juga kuat seperti mereka yang tetap santun menghadapi orang di luar sana.
"Iya, Nyai. Ayes sudah ikhlas. Semoga ini semua ada hikmahnya," sambungku, mencoba kelihatan tegar.
"Nak Ayes, kalau punya masalah cerita ya ke Mbah-mu ini. Jangan pendam sendiri nanti jadi beban. Nak Ayes, akhir-akhir ini selalu melamun kata Mba Yai-mu. Mbah Yai yang cerita." Tatapannya masygul ke arahku hingga hatiku trenyuh. Seketika air yang tadinya kutahan, melompat di ujung netraku.
Ah, aku memang payah!
Bisa-bisanya menunjukkan kelemahanku sampai ia tahu kalau aku juga bersedih.
"Assalamualaikum." Suara dari luar memberi salam kemudian masuk.
"Wa'alaikumsalam," jawab kami serentak sambil menoleh ke arah pintu.
"Eh, sudah lama datang, Nak? Gimana perasaannya, udah lega?" Ust. Hisyam menyapaku dan ikut bergabung bersama kami.
"Alhamdulillah, lumayan, Yai. Udah enakkan!" jawabku meskipun tidak mudah secepat itu luka ini sembuh.
"Ke mana saja?" tanyanya sambil tersenyum. Binar wajahnya tidak menunjukkan keterpurukan atau pun sedih.
Jujur, aku sangat iri melihat mereka, dapat tersenyum dalam keadaan seperti ini. Mereka lebih berbesar hati daripada aku yang lebih banyak melamun. Padahal, mereka pihak yang lebih terpukul daripada aku karena berita tersebut. Sehingga aku berbisik di dalam hati bahwa mereka memang hebat dan patut dicontoh.
"Tidak ke mana-mana, Yai. Hanya ke rumah teman - ada hajatan kecil."
"Ya, sudah. Mungkin kau butuh istirahat. Mbah mau ke kamar dulu ya." Ia pun pamit dan menuju kamarnya.
Aku tahu siang seperti ini, ia pasti akan melanjutkan zikirnya sesuai rutinitas hariannya yang tak pernah ditinggalkan.
"Mbah juga mau ke kamar dulu ya." Nyai juga mulai beranjak dari tempat duduknya.
Aku pun ikut beranjak menuju kamar. Saat membuka pintu kamar, seketika memoriku memutar kembali tentang masa lalu. Saat itu pertama kali, aku tinggal di kamar ini bersama Jannah. Setelah lelahnya seharian mengikuti prosesi pernikahan, kami pun kembali ke kamar ini.
Malam yang penuh warna. Kami menghabiskan malam dengan berbagi cerita. Apapun itu. Bahkan, topiknya selalu berubah-ubah dan saling sambung-menyambung.
Kulihat Riski dan Reza sedang tertidur. Kutatap kedua wajah yang masih polos itu. Aku taktahu. Apakah mereka merasa kehilangan atau tidak. Namun, suatu saat nanti mereka pasti akan menanyakan keberadaan umi mereka yang tidak kunjung pulang. Sepertinya, mereka mulai sadar dengan keberadaanku.
"Ayah dah pulang," ucap salah seorang dari mereka. Aku tersenyum kemudian menghampirinya dan membelai rambutnya.
"Iya. Kalian gak nakal kan?"
"Tidak, ayah. Tadi Mbah Yai ngajakin jalan. Keliling kota sama Riski," ucap Reza, menjelaskan.
"Diajak ke mana, aja?"
"Ke kebun binatang, Yah," timpal Riski.
"Emang, Riski gak takut?"
"Gak dong, yah. Kan ada Mbah sama Reza!"
"Baik, kalian lanjut tidur ya!" Kupasangkan kembali selimut me badan mereka, soalnya di luar sudah mulai hujan deras.
Di awal bulan Desember selalu diawali dengan hujan. Untungnya aku pulang tadi, hujan belum deras.
"Baik, Ayah," jawab mereka bersamaan.
***
Aku tidak patah semangat. Kunjunganku kali ini semoga saja membuahkan hasil.
"Ke sini Mba. Silakan duduk!"
Syifa mempersilakan seseorang duduk. Ia datang bersama seorang wanita. Aku tidak tahu siapa wanita yang bersamanya. Dahiku mengerut seperti pernah melihatnya, tapi di mana.
"Ini Pak Ayes, suami almarhumah Jannah." Syifa memperkenalkanku kepada wanita yang baru saja duduk itu.
Seketika wajahnya berubah memerah. Sebenarnya, aku tidak mengerti mengapa Syifa membawa wanita ini ke sini. Dan apa yang mereka tahu dari Istriku atau kehidupan kami.
"Saya ukhti Nadia, sahabat Syifa dan juga Jannah," ucapnya kemudian.
"Jadi, dia yang di samping Jannah, di foto kemarin yang sempat aku lihat?" bisikku dalam hati dengan bertanya-tanya.
Aku makin antusias mendengar ia memperkenalkan diri. Aku sedikit senang, artinya ada sedikit harapan untuk mendapatkan beberapa informasi dari mereka.
"Iya, dulu kami bertiga sahabatan. Ketika mendengar kabar tersebut kami juga sangat bersedih bahkan lebih bersedih seperti kehilangan separuh tubuh kami. Jannah banyak memberi warna dalam hidup kami, menuntun dan menasehati kami agar selalu tetap dalam jalan yang Allah ridhoi." Syifa membuka percakapan untuk menjelaskan semuanya padaku.
"Tapi, apakah kalian tahu kalau dia memiliki musuh atau ada seseorang yang kalian anggap bahwa orang tersebut membenci Jannah?" Aku bertanya sambil mengarahkan pandanganku ke mereka berdua.
Aku masih menunggu jawaban mereka berdua. Mereka seperti sedang berpikir, entah apa yang mereka pikirkan. Terkadang, saling berpandangan - kebingungan kemudian menggeleng kepala.
"Kami tidak yakin ... karena selama ini ia sangat baik sama kami dan semua teman-teman kami."
"Tapi, mungkin kalian tahu. Bisakah kalian jelaskan, siapa di foto ini?" pintaku dengan tatapan penuh harap.
Mereka saling berpandangan dan garis mengerut terlihat jelas di kening mereka.
Foto yang aku sodorkan pada mereka adalah foto yang aku temukan di akun medsos seseorang, dari tahunnya cukup lawas, tahun 2014. Dan aku tidak menemukan lagi status terbaru selain tahun tersebut.
***
Bersambung ....

Comentário do Livro (227)

  • avatar
    ねえ

    cerita yang menarik

    8d

      0
  • avatar
    Nurul FitriResa

    bagus

    20d

      0
  • avatar
    AmeliaDessi

    bagus

    01/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes