logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 2 Makanan sisa

“Siap, Sayang.” Ku kecup pipinya sebelum berlalu melaksanakan perintahnya untuk bersiap-siap pergi ke kantor.
Kembali ke meja makan dan semua hidangan lezat yang Tari masak sudah siap tersaji di atas meja makan.
“Enak banget kayaknya makanannya, Dek.” Ujarku dengan semangat duduk berseberangan dengan Ibu.
“Kamu makan yang banyak, Pras biar kerjamu konsen. Jangan lupa minum vitamin juga.” Titah Ibu padaku saat Tari sedang mengambilkan nasi beserta beberapa lauk untukku.
“Kamu tidak ikut makan, Dek?” Ku lihat Tari hanya duduk tanpa mengambil makanan sedikitpun untuknya.
“Aku sudah makan tadi, Mas. Maaf ya aku makan terlebih dahulu.” Ujar Tari dengan menundukan kepalanya. Terdengar nada berat dari suaranya.
“Sudah sejak Adel lahir kita tidak pernah lagi makan bersama, Dek. Kamu memang selalu menemani Mas makan tapi kamu tidak pernah ikut makan. Mas rindu kita makan sama-sama lagi.” Jujurku. Memang sejak Tari melahirkan Adel, ia sudah tidak pernah lagi terlihat makan bersama denganku. Setiap aku makan pasti Tari beralasan sudah makan terlebih dahulu sebelum ku.
“Sudahlah, Pras ibu menyusui emang begitu. Mudah lapar jadi ya biarin Tari makan terlebih dahulu. Kamu makan saja dan jangan jadikan itu pikiran untukmu. Lagian kan yang terpenting Tari sudah makan.” Ibu menimpali ucapanku.
“Maaf, Mas.” Tari semakin menundukkan kepalanya. Selalu seperti itu jika aku menyinggung hal ini. Aneh memang, jika ibu menyusui akan lebih sering merasakan lapar tapi anehnya tidak pernah sekalipun aku melihat Tari makan.
“Ya sudah, Dek tidak apa-apa yang penting kamu makan dan kamu juga harus makan yang banyak karena kamu harus berbagi nutrisi dengan Adel.” Ku usap pucuk kepala Tari yang masih menunduk.
Aku makan dengan sesekali melihat Tari yang sering menunduk saat melihatku menyuapkan makanan kedalam mulutku. Seperti seorang yang menginginkannya namun enggan. Entahlah mungkin aku salah mengira.
“Kamu mau, Dek? Sini Mas suapin.” Ku dekatkan satu sendok nasi dengan lauk kearah Tari.
“Nggak usah, Mas.”
“Sekali saja.”
Tari menerima suapan yang aku berikan. Dia tersenyum manis kearahku. Manis sekali menurutku. Senyumnya yang tak pernah berubah meski pipinya kian menirus, tak segembul saat aku baru bertemu dengannya dulu.
“Lagi ya, Dek.” Ujarku.
“Tidak, Mas tidak usah. Aku kenyang.” Ucapnya dengan menjauhkan sendok yang ku dekatkan kearahnya.
Terlihat sekali perubahan ekspresi dari raut wajah Tari. Senyum yang baru saja merekah seakan hilang entah kemana di gantikan dengan raut wajah seperti orang ketakutan.
“Kamu kenapa, Dek?” Tanyaku khawatir dengan perubahan Tari yang sangat drastis ini.
“Tidak apa, Mas lebih baik Mas lanjutkan sarapannya aku tinggal dulu. Nanti aku kembali lagi.” Tari berlalu meninggalkanku tanpa senyuman. Ku lihat Ibu yang tengah menunduk seperti menahan senyum.
“Ada apa, Bu?”
“Ah tidak. Ayo makan yang banyak, Pras. Habiskan makanmu, Nak.”
Acara sarapan aku lanjutkan dengan hikmat bersama Ibu. Tak ku ketahui kemana perginya Tari sejak tadi. Mungkin ia melihat Adel ke kamar kami. Pikirku.
“Dek, Mas berangkat kerja dulu ya.” Teriakku saat sudah menyelesaikan sarapanku.
“Bu, Pras berangkat kerja dulu ya, Bu. Pras nitip Laras dan Adel.” Tuturku pada Ibu yang masih duduk memakan buah apel kesukaannya.
“Iya, Pras tenang saja. Ibu pasti jaga menantu dan cucu Ibu.” Jawab beliau dengan senyum yang merekah.
“Mas.” Suara Tari yang memanggilku dari arah belakang. Wanita yang ku nikahi tiga tahun yang lalu itu berjalan terponggoh menghampiriku lalu mencium takzim tanganku. Aku yakin dia telah menyisipkan doa tulusnya untuk keselamatan dan kelancaran pekerjaanku nantinya.
“Mas berangkat dulu ya, Dek kabari Mas jika ada apa-apa dengan Adel.” Ku kecup pucuk kepala Tari lalu menyalami ibu dan siap berangkat ke kantor.
Dering ponsel membuatku menepikan mobil yang baru saja keluar dari pintu gerbang rumahku. Panggilan dari atasan yang membuatku kembali mengecek berkas-berkas yang akan aku bawa. Nanti siang akan ada pertemuan penting dengan rekan bisnis perusahaan tempatku bekerja dan itu merupakan pertemuan yang sangat penting.
Aku menepuk keningku sendiri saat hampir saja aku melewatkan satu dokumen yang sangat penting di ruang kerja pribadiku di rumah. Cerobohnya aku sampai dokumen sepenting itu sampai hampir tertinggal.
Ku putar balik kendaraan yang ku tumpangi dan bergegas memasuki ruang kerja pribadiku di rumah untuk mengambil dokumen yang sempat tertinggal. Rasa haus di tenggorokan membuatku memutar balik langkah menuju ke dapur untuk sekedar meminum air dingin yang akan melegakan tenggorokan.
“Apa yang kamu lakukan, Dek?” Mataku terbelalak saat aku melihat Tari, istriku tengah makan makanan sisa yang sudah berada di wastafel. Memang barusan aku tidak menghabiskan sarapanku karena kenyang dan alhasil masih ada sisa di piring makanku yang saat ini sedang di makan oleh Tari.
“M-Mas.” Ucapnya gugup dengan segera meletakkan kembali piring yang jelas-jelas ia ambil dari wastafel dan ia makan isinya.
“Apa yang kamu lakukan, Tari. Apa kurang makanan yang ada di meja makan hingga kamu makan makanan sisa seperti ini?” Tanyaku mencengkeram lengannya agar ia mau menatap kearahku.
“Ma-maaf, Mas.” Hanya itu yang mampu Tari katakan dengan air mata yang keluar menganak sungai di pipi yang tirus itu.
“Ada apa ini ribut-ribut?” Teriakan Ibu menggema dari arah luar dapur.

Comentário do Livro (674)

  • avatar
    Arahma

    ceritanya bagus

    5d

      0
  • avatar
    Sella Andriani

    keren sih ini suka

    8d

      0
  • avatar
    Ari

    cara penulisan ada yg kurang/salah seperti kotak tapi di tulis otak

    15d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes