logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 4 - A

Adanya ketidakadilan adalah karena besarnya sebuah keegoisan.
••E••
"Gimana dok, keadaan anak saya?" tanya bu Sinta pada dokter yang memeriksanya. Ia dan Erkan sudah diselamatkan oleh petugas pemadam, menggunakan tangga bergerak. Para petugas bergerak dengan cepat menolong mereka dan memadamkan api.
Dokter Evan tersenyum, dokter termuda yang ada di rumah sakit Husada ini. "Tidak apa-apa, ibu baik-baik saja. Jika masalah kandungan ibu, ibu bisa tanyakan pada dokter Merly." Dokter Evan memutar tubuhnya, menghadap ke ranjang sebelahnya. Terdapat Erkan, yang masih memejamkan matanya.
Bu Sinta, mendudukkan tubuhnya. "Erkan nggak papa kan dok?" tanya bu Sinta. Melihat wajah pucat Erkan, muncul perasaan khawatir di hatinya.
Dokter Evan, membenarkan posisi kepala Erkan. Lalu berbalik, "sekarang Erkan sudah baik-baik saja. Setelah dia sadar, suruh dia makan. Karena maaghnya kambuh, tidak baik dibiarkan. Takutnya, maaghnya menjadi kronis, dan itu akan lebih membahayakan lagi untuk kondisinya,"jelas Dokter Evan.
Bu Sinta mengangguk kaku, ia baru mengetahui jika anak muridnya mempunyai penyakit maag.
Brak
Bu Sinta dan dokter Evan sontak menoleh kearah pintu. Kirain suami saya, batin bu Sinta.
"Bagaimana dia?" Pertanyaan ambigu itu, membuat bu Sinta dan dokter Evan terdiam. "Erkan." Sekarang mereka mulai mengerti.
"Ah iya. Erkan baik-baik saja, dia hanya belum siuman." Alan mengangguk. Ya, yang membuka pintu tanpa permisi adalah Alan. Ayah Erkan, dan itu tidak ada yang mengetahuinya.
"Bisa, saya bawa dia pulang sekarang?" tanya pak Alan pada dokter Evan.
Evan mengerutkan dahinya, "apa harus sekarang?" tanya Evan tidak membalas pertanyaan pak Alan.
"Iya, dia anak murid saya dan juga tinggal di rumah saya. Saya yang akan bertanggung jawab." Evan terdiam, lalu mengangguk.
Bu Sinta hanya diam, segan untuk ikut memberi kritik takutnya ia malah dipecat. Ia masih sayang anaknya, daripada Erkan muridnya. Terlihat Alan mengambil hp dari saku jasnya, lalu memainkannya sebentar dan menempelkan ke telinga kanannya-menelpon. "Ke sini." Hanya itu yang diucap, setelahnya ia kembali memasukkan hp-nya ke sakunya lagi.
Beberapa menit kemudian, masuklah seorang berbaju hitam-tegap. "Apa yang harus saya lakukan pak?" tanyanya berdiri di samping Alan.
"Bawa dia," ucap Alan mengarahkan matanya melihat Erkan. Orang itu mengangguk, ia langsung mengangkat tubuh Erkan dan dokter Evan yang terburu-buru melepaskan infus yang masih menempel di tangan Erkan.
Brak
"Cocok," gumam bu Sinta. Matanya menatap nanar pintu kamar rawat, melihat sikap pak Alan, sepertinya tidak ada hal baik untuk Erkan. Jika boleh menyuarakan hatinya, dia ingin tahu bagaimana keadaan sebenarnya seorang Erkan. Anak ini terlalu banyak berpura-pura, dan semuanya dengan mudah terpampang di mata karena dia bukan seorang aktor yang tengah berperan.
Di dalam mobil yang sudah terdapat Erkan yang disandarkan di samping Alan masih dalam keadaan memejamkan matanya. Alan mendengkus, pria yang memasuki kepala empat itu terlihat sangat tidak menyukai posisinya sekarang. Area rumahnya sudah terlihat, tepat mobilnya memasuki rumah. Ia membuka pintu di samping Erkan, lalu mendorong tubuh Erkan keluar.
"Sssh," lenguh Erkan karena terbangun paksa. Erkan berguling dua kali, kepalanya membentur pinggiran batu-batu yang tersusun di depan rumah. Alan mendorong Erkan keluar dari mobilnya tanpa hati, saat lajunya lambat karena memang sudah memasuki pelataran rumah yang luas. Supir dan satpam penjaga yang berada di depan sempat terkejut, namun mereka tidak melakukan apa-apa sebelum diperintahkan.Alan keluar dari mobilnya. Ia berjalan memasuki rumahnya, dan mengisyaratkan pengawalnya untuk membawa Erkan. Ia berjalan tertatih-tatih, walaupun dipapah ia tetap kesusahan berjalan. Di dalam hatinya terus berucap istigfar. Erkan melenguh, sepertinya pengawal ayahnya sudah terlatih untuk menyiksanya.
"Lihat, anak bodoh ini. Dia sudah mulai berani mencoba berontak. Papa harap kalian tidak seperti anak menjijikan ini, anak bodoh."
Erkan terdiam, mulutnya tertutup rapat tanpa ringisan Kesakitan. Ia menunduk melihat kaki-kaki orangtua dan saudaranya yang duduk di sofa, dan dirinya yang berlutut.
"Dia sekarang ingin belajar menjadi pembunuh rupanya, dengan membakar sekolah."
Erkan mengangkat kepalanya menatap Ayahnya, kemudian menunduk lagi. Ia tidak seharusnya bersikap seperti itu. "Aku tidak melakukan hal gila itu." Erkan berucap pelan.
"Ck, kebanyakan ngelak lu." Erkan terkesiap mendapat topi yang mendarat di wajahnya. Kelvan sang pemilik topi, mencoba menahan amarahnya.
"Mulai sekarang, kamu tidak usah sekolah lagi. Buang-buang uang saya saja," ucapan Alan bagaikan petir di malam hari.
Seketika Erkan blank, pikirannya kosong. Erkan tersenyum miris, kemudian menghela napas. Ia tidak akan berteriak dan menjelaskan bahwa dirinya tidak melakukan hal yang dituduhkan, berpikiran saja tidak. Namun, membela diri pun tidak mungkin. Dirinya hanya bisa menuruti dan menjalankan perintah.
"Anak sial! ambilkan sepatu saya yang warna cream."
Erkan mengangkat kepalanya, lalu mengangguk. Ia kemudian berdiri, namun sebelum ia benar-benar pergi dari ruang keluarga itu. "Cocok. Pembantu." Ucapan itu terdengar di telinganya, mendengung dan menyengat hatinya. Entah keberapa kali hatinya berdenyut nyeri. Erkan menambah jalannya menjadi cepat, lalu kembali membawa sepatu yang diinginkan bundanya. Ia menunduk memberikan sepatu itu di depan kaki ibu yang melahirkannya, lalu memasang kan nya. Erkan tidak perlu diperintah, ia mengerti dan peka akan sekitarnya. Semua yang berada di ruang keluarga itu, memandang diam ke arah Erkan. Caswita pemilik kaki, hanya terdiam dengan wajah dinginnya. Setelah memasangkan sepatu di kaki bundanya, Erkan mundur.
"Sudah, semuanya ayo kita pergi." Intruksi Alan membuat anggota keluarganya berdiri dan berjalan keluar mengikuti Alan. Kecuali Erkan, ia memang ikut berjalan di belakang. Namun, ia tidak akan bergabung mungkin tidak akan pernah. Ia hanya mengantar dan melihat keluarga bahagia itu menaiki mobil keluarga yang besar dan sedikit panjang, tentunya dengan fasilitas yang memadai. Erkan tetap bergeming, terus memandangi mobil keluarganya yang mulai menjauh dari pelataran rumah.
Satu tetes air mata jatuh dari pelupuk matanya, secara cepat ia menghapusnya. Erkan berbalik, memasuki kamar kecilnya. Tangannya, terangkat memegang perutnya yang sakit. Ia juga memeriksa dahinya, terasa sakit namun tidak berdarah sama seperti hatinya.
Erkan berjalan memasuki kamarnya, dan menuju kamar mandi. Ia mengambil gayung dan mengambil air lalu menyiramkan ke kepalanya. Tidak peduli, jika ia masih memakai baju seragamnya. Tidak ada lagi harapan masa depannya, ia tidak tau harus berusaha seperti apa lagi. Ia sudah benar-benar merasa menjadi orang yang paling berdosa. Ia selalu mengeluh, jarang bersyukur. Erkan selalu menyalahkan dirinya, baginya takdir tuhan tidak pernah salah.
Dirinya sadar jika ia tidak seharusnya lemah, tidak seharusnya mengalah. Pernah dengar kata-kata ini, “Keluarga adalah harta yang paling berharga.”
Dalam kesendiriannya, dia hanya ingin mempertahan sebuah keluarga untuk dirinya sendiri.

Comentário do Livro (73)

  • avatar
    Reffan Adilla Silviani

    berbagai macam cobaan terus ia terima, selalu di cerca Dengan perasangka buruk dari sodara sodaranya, tak pernah sedikitpun ke baikan keluar di hadapan keluarga nya, rasa sakit yang selalu ia terima, terlebih sakit hati yang amat luar biasa ia terima, hanya demi pengakuan yang ia inginkan, berusaha untuk tetap tegar, demi harapan dan sebuah pengakuan.

    05/06/2022

      1
  • avatar
    AjaHanifah

    asyik membaca sampai lupa waktu ceritanya bagus 👍

    05/08

      0
  • avatar
    MadureShaka

    bagus sih

    27/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes