logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

BAB 6 Aku tidak Mau jadi Anaknya Om

Aku kecewa, aku menangis sekeras mungkin, aku memberontak sekeras-kerasnya. Om bohong, Om pasti tidak ingin aku pulang, Om pasti ingin aku tinggal disini selamanya. Aku berlari keluar sambil memanggil Nenek, Nenek, Nenek..., Om Dimas pasti berbohong padaku. Nenek pasti masih hidup, Nenekku pasti masih ada dikampung menungguku pulang. Ain ingin memeluk Nenek dengan cara yang paling mengasihi.
Andai Ain tahu begini jadinya, tidak mungkin Ain akan pergi meninggalkan Nenek. Apalah hidupku sekarang jika tak ada lagi yang bisa kujadikan sandaran beban hidupku.
Om Dimas dan istrinya mengejarku. Mereka seakan merasa bersalah. Mereka juga menangis melihat keadaanku memberontak. Mereka menangkapku, memelukku dengan segenap hati, menenangkanku dengan lemah lembut. Air mata diantara kami bertiga mewakili perasaan kami saat ini. Hanya saja, aku beda dengan mereka berdua. Mereka menangis cuman karena melihat air mata kesedihan ini jatuh dari air mataku sementara aku, merasakan jarum suntik menusuk lambung dan hatiku.
Aku marah ! aku benci sama Om Dimas sama istrinya. Gara-gara mereka aku berpisah dengan Neneku. Aku menyalahkan situasi saat ini, aku tidak perduli pelukan mereka. Aku masih memberontak, lepaskan aku Om, lepaskan aku, aku ingin kekapal.
Biarkan aku pergi sekarang !.
Aku tidak mau jadi anaknya Om, tidak mau Om !. Om berbohong padaku, Om kejam, mengapa Om memperlakukan Ain seperti ini. Haruskah Om mengatakan itu sekarang padaku ?.
Panggilku tak bisa menembus ruang perpisahanku dengan Nenek yang jaraknya hanyalah tangisan yang tiada berarti lagi.
Nenek..., Nenek, belum meninggalkan ? Nenek masih hidupkan ?. Dengan perasaan lusuh, aku bertanya pada setiap arah yang ada di depanku, aku melompat-lompat seperti orang gila. Aku tidak menerima kenyataan ini, aku menafikan kebenaran ini. Bagaimana mungkin Tuhan memisahkanku dengan orang yang satu-satunya menyayangiku tanpa mengeluhkan tingkah lakuku sampai detik ini.
"Tuhan, apakah aku ini memang pantas Engkau hukum seperti ini ?" aku mempertanyakan eksistensi lahirku kedunia ini dalam keadaan berteriak-teriak. Jika aku dilahirkan hanya karena merasakan segala luka ini, Tuhan, sebaiknya ambillah aku. Aku bosan Tuhan menjalani hidup ini."
"Ain !" panggilnya padaku.
"Tidak boleh menyalahkan kehendak Tuhan. KetetapanNya adalah yang paling benar bagi hambanNya."
Panggilan dan nasehatnya seakan menjawab ketidak percayaanku terhadap kabar tentang Nenenkku. Aku melihat Om Dimas dengan mata basahku. Dia pun melihatku dengan mata basahnya sementara Ibu guruku baru menunjukkan wajah belas kasihnya padaku.
"Pulangkan aku Om ! pulangkan aku, aku ingin pulang sekarang Om. Aku ingin menemui Nenenkku, Om, tolong pulangkan aku sekarang !."
Om Dimas dan istirinya masih menangis. Mereka tidak tahu mau berbicara apa. Satu-satunya cara mereka mendamaikanku adalah dengan cara memelukku.
"Lepaskan aku, Om !, Lepaskan aku, Bu !. Kalian hanya menangis karena melihatku bersedih. Kalian bahkan tidak tahu seperti apa pikiran, hati, dan jiwaku saat ini. Kalian pintar berpura-pura didepanku, kalian merasa bersalah karena melihatku begini. Coba jika Nenekku masih hidup mungkin kalian tidak akan pernah berpikir untuk memulangkan ku ke kampungku."
Aku mencoba mengajak diriku untuk memahami kondisi ini. Dalam sikap ambifalenku ku ucapkan segala resah yang tidak lagi bersahabat denganku kepada Om Dimas dan istrinya. Sudah hampir satu jam aku menangis, rasanya empedu mengumpul dalam dadaku membuatku berantakan tak sadar diri. Walau aku kuat berkompromi, memahami kebenaran informasi ini tetap saja diriku robek seperti kertas.
"Om, apakah Nenekku sudah meninggal ?" aku masih mempertanyakan kebenarannya dalam kesedihan yang tidak bisa aku bendung.
Lagi, Om Dimas masih belum bisa menjawab pertanyaannku. Sampai pada akhirnya, aku memintanya untuk mengantarkanku kembali ke dermaga dimana Om mendapatkan informasi ini. Aku ingin menanyakannya langsung pada orang yang mengatakan bahwa Nenekku sudah meninggal.
Tidak tahu harus mendamaikan tangisku seperti apa. Om Dimas langsung mengambil kunci motornya tanpa mengganti baju koko yang dipakainya saat sholat tadi.
Kamipun langsung menuju dermaga dengan perasaan sedih. Aku hanya berharap semoga kabar yang Om Dimas terima tidak benar. Alhasil, diperjalanan, kami melihat orang yang membawa kabar itu, dia sedang berbelanja disalah satu toko sembako. Om pun memberhentikan motor yang kami kendarai. Dari samping jalan, aku memperhatikan orang yang membawa kabar itu sepertinya aku kenal.
Derai air mataku belum habis, suara sesak yang keluar masuk dari mulut dan hidungku menarik simpati setiap yang lewat dijalan. Aku tidak perduli sama mereka, mau ditertawakan atau bahkan dianggap kampungan, terserah ! yang ingin aku tahu, apakah Nenenkku masih hidup atau Om yang berbohong padaku.
Gemetar badanku ketika kulihat Om Dimas bersama orang yang bawa kabar itu keluar dari dalam toko semabako. Samar tapi jelas, aku mengenal orang itu. Mereka berdua berjalan menuju kearahku. Aku bersegera menghampiri mereka dalam tangisku yang gelegar. Disitu, aku memeluk ABK kapal, dia memang satu kampungku tapi rumahnya diujung. Dengan tangis yang semakin deras, aku menanyakan kabar tentang Nenenkku.
"Om Ali, apa benar Nenekku telah meninggal ?."
Aku ingin mendengar jawaban bahwa Nenekku masih hidup. Nyatanya bertolak belakang dengan ketidak percayaanku bahwa Nenekku sudah tiada. Mendengar pertanyaanku dan melihat kondisiku yang lunglai, lusuh dan parah, Om Ali menundukkan wajah sambil merangkulku. Sederhana tapi jawabannya bukan yang aku harapan yang ingin aku dengarkan. Dia masih merangkulku dengan pelukannya yang semakin erat.
Lalu, dia berkata padaku dengan nada yang rendah.
"Ain, maafkan Om Ali, ini kehendak Allah. Nenekkmu memang sudah meninggal dan aku masih sempat menghadiri acara pemakamannya hari itu."
Mendengar kejelasan kepergian Nenekku, aku semakin memusuhi Om Dimas. Aku menyalahkannya atas kepergian Nenekku. Seandainya ini bukan skenario Om Dimas yang menyuruh istrinya untuk mengajakku keselayar tentu Nenekku masih hidup. Paling tidak, kepergiannya, aku masih ada disampingnya saat detik-detik terakhir hembusan nafasnya ikut aku saksikan.
"Kamu kejam, Om" sambil kutatap Om Dimas yang terlihat sama sepertiku.
"Ain, jangan menangis lagi. Benar yang dikatakan Pak Ali bahwa kematian seseorang sudah ditakdirkan oleh Allah. Ada tidaknya kamu disana, Nenekmu pasti akan dipanggil menghadap kepada TuhanNya. Kamu masih kecil, belum terlalu paham dengan perpisahan diantara manusia yang saling menyayangi. Sudah ya ! Om juga sakit atas musibah ini. Tapi bukan berarti rasa sakitmu itu ditumpahkan tanpa memperhatikan kondisimu saat ini. Sudah ya !."
"Ain harus kemana, Om ? tanyaku pada Om Dimas. Ain lelah dengan kehidupan ini. Ain mau pulang kekampung bersama Om Ali. Ain tidak ingin lagi melihat Om Dimas, Ain tidak mau jadi anak Om Dimas."
Betul-betul serba salah. Hati tersayat sebilah duka yang merobek jantung hidupku. Aku sudah tidak punya pilihan untuk melanjutkan sekolah di Selayar.
Kubaringkan diriku diatas tanah jalan KH Hayung setelah rangkulan pelukan Om Ali melepaskanku. Aku menggigil seperti orang demam. Orang-orang yang berada disitu mengerumuniku seakan aku adalah tontonan hiburan buat mereka.
Aku ingin kekapal Om Ali, tolong bawa aku ke kapal bersamamu. Ain tidak ingin bersama Om Dimas disini.
Satu kenangan yang mengikhlaskanku dari Om Dimas melepas kepergianku. Dia memelukku seerat mungkin dan mencium kedua belah pipiku sama keningku.
"Ain, pergilah bersama Om Ali, Om akan mencoba memahami keadaanmu dan keadaanku. Semoga dikemudian hari, kita masih bertemu."
Selepas perkataan itu, aku melihat Om Dimas pulang menaiki motornya dengan tangis yang cukup dalam.

Comentário do Livro (116)

  • avatar
    LUTFHI

    waw bagus

    5d

      0
  • avatar
    GirlApril

    baguss

    15d

      0
  • avatar
    ramdaniDani

    sangat baik

    23d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes