logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 7 Tawanya Bukan Untukku

Alan baru kembali ke rumahnya setelah ditinggal jauh oleh Zoya. Pantat dan sikunya masih terasa sakit gara-gara sengaja dijatuhkan oleh gadis itu.
"Tuan Alan kenapa?" tanya Tantri, pelayan utama di rumahnya.
"Cepat ambilkan obat luka. Ini perih sekali."
Tantri pun mengompres luka kecil di siku anak majikannya itu dan menutupnya dengan plaster. Alan yang melihat plaster itu merasa ada yang perlu dibenahi di sana.
"Ganti!" titahnya.
"Kenapa diganti? Bukankah plasternya masih steril?" sanggah Tantri.
"Pokoknya ganti, jangan pakai plaster, pakai perban."
Alan mengambil sendiri perban dan membalut lukanya menjadi terlihat cukup lebar dan serius. Tantri yang tidak paham maksudnya pun hanya bisa menuruti keinginan sang tuan, lalu menyimpan kembali kotak obat itu.
Pria itu segera mandi dengan kesulitan agar pembalut lukanya tidak basah. Lalu, ia bersiap pergi ke acara peluncuran buku yang sudah diingatkan oleh sang ibu, sebelum berangkat ke tempat kerja.
***
Azalea seorang anak tuna netra berhasil membuat novel pertamanya dengan huruf braille. Ia dibantu oleh donatur, meluncurkan buku itu dalam terjemahan bahasa latin dan juga dalam bentuk audio.
Acara peluncuran itu cukup sukses dan seribu eksemplar novel itu laris terjual, sejak sebulan lalu saat dibuka masa pre-order dan hari itu semuabakan dikirim ke pemesan.
Zoya ikut datang ke acara itu karena Azalea adalah salah satu anak didiknya saat ia menjadi pengajar sukarela di sekolah luar biasa Adiyatma. Ia menghampiri gadis remaja itu dengan membawa sebuket bunga mawar putih sebagai bentuk apresiasi.
"Kak Zo, terima kasih sudah datang. Lea senang sekali, semua berkat dukungan dari Kak Zo."
Gadis itu meraba-raba tangan Zoya. Zoya pun meletakkan telapak tangan Azalea ke pipinya. "Kenapa harus berterima kasih, Lea? Kau punya monster dalam dirimu yang perlu ditunjukkan pada orang-orang. Aku yakin, kau punya semua yang kau ingin wujudkan. Aku tunggu kejutan lain di tahun depan."
Zoya mengusap-usap puncak kepala gadis itu dan mereka pun berpelukan dengan kasih sayang yang menyatu di hati masing-masing.
Azalea cukup sibuk hari itu. Dia bukan hanya didatangi Zoya, tetapi juga guru-guru lain, serta para donatur yayasan.
Seorang donatur utama dalam acara itu malah datang terlambat. Saat pria penyumbang seluruh biaya penerbitan buku Azalea datang, ia berteriak memanggil nama sang gadis tuna netra.
"Lea! Apa kau lupa untuk berpesta denganku?"
"Kak Alan?"
Azalea merasa sangat senang sekali. Ia segera menoleh ke arah sumber suara. Saat mereka sudah saling berhadapan, hal yang paling suka gadis itu lakukan adalah meraba-raba wajah Alan.
Bukan hanya Lea yang melihat ke sumber suara, Zoya pun ikut menoleh karena suara itu seperti pernah ia dengar.
"Kak Alan, kenapa kau selalu tampil tampan?"
"Ah, kau bisa saja. Bahkan di duniamu yang gelap kau bisa melihat ketampananku."
"Iya. Hidungmu ini, mancung sekali," ujar Lea lalu menggemas hidung Alan.
Azalea kemudian meraba-raba tangan pria itu. Lalu, ia menemukan sesuatu yang tidak biasa di sana.
"Apa kau terluka?"
"Ya … begitulah." Alan menyadari kalau di sana juga ada Zoya. Ia berpikir, itu adalah kesempatan yang tepat untuk menarik perhatian gadis jutek itu. "Seorang gadis gendut menabrakku dengan sengaja. Aku terjatuh dan tanganku mengeluarkan darah cukup banyak. Tapi … kau tidak perlu khawatir Lea, aku pria jantan yang tidak akan menangis oleh luka seperti ini."
Gadis yang terlahir istimewa itu merasa lega mendapat jawaban kalau Alan baik-baik saja.
***
Zoya duduk bersama rekan-rekannya yang lain dan menikmati kudapan yang disediakan. Saat semua rekannya pergi, ia pun dihampiri oleh Alan.
Pria itu menggunakan kemeja lengan pendek dan sengaja mengekspos perbannya. Ia berencana akan menunjukkan pada Zoya saat di rumah. Tentu saja dengan mencari kesempatan bila gadis itu keluar istananya. Namun, kesempatan emas malah datang di saat itu.
"Astaga … kata orang jodoh itu tidak ke mana-mana. Tapi, ke mana pun aku pergi, jodohku selalu ada di sana. Aku beruntung tidak menjadi Atheis."
Zoya mendengar jelas apa yang dikatakan pria itu. Namun, ia lebih memilih sibuk dengan pudingnya daripada berinteraksi dengan Alan.
"Kau tidak ada rencana untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu?" goda Alan lagi.
"Perbuatan apa?" jawab gadis itu ketus.
"Aku bahkan sudah menolongmu dari pengaruh obat dan mengantarmu pulang. Kau malah mencelakakanku. Apa kau tidak punya sopan santun?"
Zoya membelalak dan menghentikan kegiatannya menyendok puding susu. "Kapan?"
"Kau benar-benar lupa?" Alan bertanya balik dan tidak menyangka kalau gadis itu sama sekali tidak ingat dengannya.
"Kau memang pintar mengarang."
Saat gadis itu ingin beranjak pergi, Alan menahan pergelangan tangannya. "Jadi, obat apa yang dicampur ke dalam minumanmu saat itu?"
Wajah Zoya merah padam seketika, antara malu dan marah bercampur jadi satu. Tidak mungkin ia menjawab yang sebenarnya di tengah keramaian itu. Yang ada ia hanya akan mempermalukan dirinya sendiri.
"Apa pedulimu?"
Zoya menyentak tangannya hingga terlepas dari genggaman Alan. Hal itu membuat Alan semakin penasaran padanya.
"Pak Arlan Harirangga, mari berfoto bersama! Nona Zoya juga, ayo berkumpul."
"Harirangga?" Zoya terkejut mendengar nama belakang pria itu. "Tidak! Tidak mungkin dia pemilik yayasan Harirangga. Itu hanya nama yang mirip."
Semua orang yang hadir di acara itu pun membuat formasi untuk tangkap gambar. Alan selalu mencari celah agar bisa berdekatan dengan gadis pujaannya. Namun, sebisa mungkin Zoya juga selalu menghindarinya.
Kelakuan Alan yang cukup menarik perhatian pun menjadi hiburan bagi semua orang yang hadir. Namun, itu artinya menjadi ejekan bagi Zoya yang tidak suka didekati Alan.
Alan melihat gelagat Zoya akan pulang sendiri. Ia pun menggunakan kesempatan itu untuk mendekati sang gadis.
"Mau aku antar?" tawarnya.
"Tidak. Aku sedang menunggu supir. Lagi pula, dengan apa aku akan diantar? Mobil yang mesinnya sangat eksis itu?" ejeknya pada mobil kantor yang saat itu ia gunakan.
"Ya … kalau kau mau. Kalau tidak mau, kita bisa menaiki itu!" tunjuk Alan pada sebuah sedan yang atapnya bisa dibuka. Pria itunmerasa beruntung karena kini Zoya benar-benar sudah mengingatnya.
Zoya menoleh dan cukup takjub dengan mobil Alan yang harganya milyaran.
"Tidak. Supirku sudah dekat."
Tidak lama kemudian, sebuah mobil model jeep warna putih berhenti di depan mereka dan gadis itu segera naik, lalu pergi tanpa berpamitan pada Alan.
Pria itu merasa sedikit kecewa karena selalu diacuhkan. Namun, ia tetap ingin mendekati Zoya dan mulai mengikutinya.
Mobilnya melaju membelah jalanan yang tidak terlalu padat. Sampai bertemu dengan mobil gadis itu, ia pun memposisikan kendaraannya agat selalu berada di belakang kendaraan Zoya.
Mobil putih itu berhenti di sebuah restoran. Zoya turun dari mobil dan supirnya ikut turun. Lalu, sang supir menghentikan sebuah kendaraan umum dan menaikinya.
"Hm … nakal juga ternyata. Supirnya disuruh pulang lebih dulu," guman Alan.
Pria itu terus memperhatikan Zoya yang terlihat sangat anggun di matanya. Gadis itu mengenakan dress dengan rok mekar warna putih dengan motif bunga. Wegdes membalut kaki jenjangnya dan sebuah tas kecil ditenteng dengan elegan.
Gadis itu memasuki restoran dan seorang pria sudah menunggunya.
Alan memicingkan sedikit matanya agar penglihatannya semakin tajam, memperhatikan siapa pria itu. Mereka bahkan berciuman pipi dan berpelukan.
"Sial! Kenapa dia menemui pria itu?" umpatnya saat melihat Zoya tertawa mesra dengan Alden. Tawa yang tidak dilihatnya di wajah gadis itu, walaupun mereka berada di tempat yang sama selama dua jam.

Comentário do Livro (323)

  • avatar
    ZahiraUlvia

    bagus

    1d

      0
  • avatar
    slayyymira

    bagus aku sangan menyukai cerita inii🤩

    7d

      0
  • avatar
    PnkAura

    aplikasi ini sangat bagus

    12d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes