logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 3 Tetangga Tapi Tak Mesra

Alden merasa menang saat pria yang mencoba mempermalukannya itu ditampar oleh sang kekasih. Ia segera mengejar Zoya yang berlari meninggalkan kawasan hiburan malam itu.
"Sayang, tunggu!"
Akhirnya pria berambut sedikit gondrong itu bisa meraih lengan gadisnya dan membawanya ke dalam pelukan.
"Apa kau benar ingin meracuniku?"
Zoya menghindar dan melepas pelukan. Ia hanya merasa terlalu bodoh untuk bergaul di tempat seperti itu.
"Itu tidak mungkin. Itu tadi hanya …."
"Apa?" Zoya tidak sabar karena Alden menjeda kalimatnya terlalu lama.
Pria berkulit coklat manis itu mendekat dan berbisik, "Itu obat perangsang."
"Hah?"
"Bukankah kita berencana untuk melakukan itu? Makanya aku memberi sesuatu yang tidak akan bisa kau lupakan, Sayang."
Plak!
Kali ini tamparan keras didaratkan oleh Zoya ke pipi kekasihnya. "Jangan pernah menemuiku lagi!" Lantas ia kembali berlari ke sembarang arah.
"Dasar jalang sok lugu," umpat Alden.
Zoya merasa malu dengan apa yang dilakukan oleh Alden. Mungkin selama ini ia mengkhayal bisa merasakan apa yang sering didengarnya saat menelepon Bela. Namun, yang ia inginkan adalah atas rasa saling suka. Bukan cara memaksa dengan bantuan obat-obatan seperti itu.
Gadis itu berhenti di sebuah minimarket dan mengambil sebotol kopi instan. Ia duduk di kursi yang selalu tersedia di teras minimarket itu.
Tangannya sibuk mengutak-atik ponsel, berharap ada satu taksi online yang mengambil orderannya. Namun, malam sudah terlalu larut. Gadis yang hampir putus asa itu pun mencari nomor ponsel Sakti dan dengan sejuta keraguan, ia menimbang-nimbang untuk menghubungi kakaknya itu.
***
Pria berjaket hitam tadi akhirnya keluar dari klub dengan mengendarai minibus merek Avinza, inventaris kantor yang biasa dipakai karyawan.
Saat mengarahkan mobil ke apartemennya, ia melihat Zoya yang duduk sendirian sambil sesekali memandangi sekitar dan ponselnya bergantian.
"Maura, tolong jangan pergi lagi," gumamnya.
Pria itu pun singgah dan duduk di hadapan Zoya setelah membeli sebuah minuman.
"Butuh tumpangan?" tawarnya saat meletakkan minuman dengan merek dan rasa yang sama dengan Zoya, di meja.
"Tidak, terima kasih," tolaknya yang masih bimbang apakah harus menghubungi Sakri atau tidak.
"Mungkin aku lancang sudah menumpahkan minuman itu dengan sengaja. Tapi, aku boleh menebus kesalahan, kan?"
Kesalahan yang dibuat Alden cukup membuat Zoya merasa paranoid terhadap laki-laki. Terlebih dengan orang yang baru dikenal seperti pria itu.
"Tidak. Aku akan pulang sendiri. Kau pergi saja dan jangan sok baik." Gadis itu berkata dengan ketus dan membuat si pria semakin betah berlama-lama memandangi wajah juteknya.
"Apa rumahmu di Royal Cempaka?" Pria yang berwajah a la timur tengah itu menyebutkan salah satu kompleks perumahan elit di kota.
"Wah …," ucap gadis itu takjub. "Bagaimana bisa kau menebaknya?"
Pria itu pun tersenyum. "Haha ... aku hanya berharap tebakanku benar. Berarti kau tidak tinggal di Grand Royal Cempaka, kan?"
"Astaga!" seru Zoya, lalu menggeleng-geleng. "Semua tebakanmu salah besar. Pergilah! Aku pusing mendengarmu terus mengoceh."
Padahal gadis itu tinggal di Grand Royal Cempaka. Pria itu hanya berharap tidak mengantar gadis itu ke sekitaran rumah ibunya yang berada di kompleks yang sama.
Pria itu pun bangkit dari duduknya. "Baiklah. Ayo!"
Tingkah percaya diri pria itu benar-benar membuat Zoya terheran-heran. Namun, kali ini ia sudah merasa lelah apalagi harus berdebat. Ia pun bangkit dan berjalan beriringan dengan pria itu.
"Ini hanya karena kau terus memaksa. Lain kali kalau bertemu lagi, jangan pernah paksa aku seperti ini. Sebab aku bahkan tidak ingin bertegur sapa denganmu."
Pria itu seperti tidak ingin berkedip saat memandangi Zoya berjalan dengan anggunnya. Gaun mininya membuat lekuk tubuhnya terlihat sangat indah dan menggoda. Rambutnya panjang terurai bagai helaian-helaian sutra. Aroma parfumnya menyerbak saat ia berjalan dan tertiup angin.
Zoya duduk di bangku penumpang dan pria itu duduk di kursi pengemudi. Mereka saling diam dan cukup lama, mobil itu belum menyala sama sekali.
Pria bercambang tipis itu membuka jaketnya.
"Tidak perlu. Aku tidak kedinginan. Ini bukan film romansa yang selalu ada adegan serah terima jaket seperti itu," tolak Zoya sekan paham apa yang akan dilakukan oleh pria itu selanjutnya.
"Aku gerah makanya jaket ini kubuka. Aku hanya menumpangimu sampai ke rumah. Jadi, jangan kira ini adalah kencan. Jadi, kau tidak perlu repot-repot merasa terlalu percaya diri seperti itu. Bukankah itu memalukan?"
Seperti terkena serangan telak, Zoya pun memilih diam hingga mesin mobil itu menderu.
"Mobil macam apa ini? Kenapa mesinnya sangat ingin menunjukkan eksistensi?" gumamnya karena merasa mesin mobil itu sangat berisik.
"Kau akan menaiki mobil ini sekali lagi, nanti. Di lain waktu. Lihat saja," balas pria itu yang dengan leluasa memutar-mutar kemudi, lalu membelah jalanan menuju perumahan Grand Royal Cempaka.
Perjalanan menuju perumahan itu sekitar satu jam dari tempat asal mereka saat itu. Zoya melipat tangan di dada dan memilih melihat ke awan yang tersekat kaca jendela. Awan kelabu di malam hari serta mendung yang jelas terasa, membuat bulu-bulu halus di tubuhnya meremang karena dingin.
Pria itu memutar AC agar mengeluarkan hawa hangat. Namun, dengan soknya, Zoya kembali memutar pendingin itu ke suhu sebelumnya. "Aku gerah," katanya dengan angkuh.
Pria itu hanya menggidikkan bahu seolah-olah berkata, "Terserah!" Ia mengemudi dengan sesekali melirik ke kaca spion yang sengaja ia arahkan pada gadis itu.
Zoya sesekali tampak menggigil dengan mata sayup-sayup menahan kantuk. Namun, pria itu masih enggan memberikan jaketnya karena tahu gadis itu akan menolaknya lagi.
Sepuluh menit perjalanan, akhirnya Zoya benar-benar ketiduran. Dengan perlahan, pria itu menutupi tubuh bagian atas si gadis dengan jaketnya. Sesekali pria itu menggeleng karena pusing. Pusing karena harus menonton tubuh indah dengan busana terbuka di depannya.
Mobil berhenti di perumahan tujuan mereka dan pria itu meminggirkan mobilnya, lalu mematikan mesin. Ia memilih untuk berdiam diri di dalam mobil agar bisa lebih leluasa memandangi gadis yang tertidur dengan mulut menganga itu.
Rambut panjang dengan warna coklat kemerahan itu menutupi sebagian wajahnya. Dengan iseng, pria itu mengambil ponsel, lalu memotret pemandangan yang membuat moodnya sangat baik.
Seorang wanita berpiyama menghampiri mobil mereka yang terparkir di pinggiran jalan perumahan. Itu adalah Sari dan dia mengetuk kaca dengan tergesa-gesa.
Zoya pun perlahan mulai sadar dari dengkuran halusnya. Ia melihat Sari seperti orang yang dikejar-kejar hantu. Namun, Zoya tidak kunjung terbangun. Akhirnya, pria itu turun tangan dan mengguncang perlahan tubuh Zoya hingga gadis itu terbangun.
"Astaga, kita sudah sampai. Kenapa kau tidak membangunkanku?" ujarnya yang terburu-buru melepas sabuk pengaman.
Akan tetapi, pengait sabuk itu macet dan tidak bisa ditanggalkan. Zoya yang melihat kepanikan dari raut muka Sari, pun menjadi ikut panik. Bayang-bayang Sakti yang sebentar lagi berubah menjadi singa, kini mengisi segala perumpamaan di kepalanya.
"Ah, sial! Mobil tidak tau diri!" umpatnya.
Pria itu tergelak melihat tingkah gadis di depannya. Ia pun mendekat agar bisa menolong. Namun, tubuhnya didorong kuat oleh Zoya.
"Mau apa kau? Jangan berani macam-macam, ya!"
"Astaga. Ini mobilku dan kau sedang kepayahan. Biar aku tolong membukanya."
"Tidak perlu, aku bisa sendiri," ketusnya yang masih berusaha, tetapi tetap tidak terlepas.
"Zoya, cepatlah keluar. Kau dalam bahaya!" teriak Sari masih dengan memukul-mukul kaca mobil.
"Biar aku tolong, Zoya. Lihat dia sangat panik menunggumu keluar," kata pria itu saat menunjuk Sari dengan ujung bibirnya.
"Jangan sok akrab," kata Zoya pasrah dan akhirnya membiarkan pria itu membukakan sabuk untuknya.
Hanya dalam sekali usaha, sabuk itu berhasil terlepas. "Sial. Kenapa aku tidak bisa melepas sabuk bodoh ini? Apa kau sengaja membuatnya macet agar bisa dekat-dekat denganku?" ujarnya, lalu membuka pintu dan keluar.
"Tuhan, malaikat macam apa yang hobi mengumpat? Kenapa kau kirim dia di saat seperti ini?" Tawa renyah dari bibir tipis pria itu menggema memenuhi ruang mobil yang kecil.
"Ada apa, Sari? Apa Kak Sakti tau kalau aku ke luar?" tanyanya cemas.
Sari melihat penampilan Zoya yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Biasnya gadis itu memakai pakaian tertutup. Kalaupun ia keluar rumah dengan menggunakan tanktop, ia selalu memakai cardigan untuk menutupi lengannya yang mulus.
Plak! Sari memukul lengan Zoya dan membuat gadis itu mengaduh.
"Kenapa kau keluar dengan pakaian seperti ini? Kau mau jual diri, hah?"
Sari selalu bertingkah melebihi sikap pelayan pada majikannya. Mereka berdua bagai bersahabat tanpa adanya sekat. Terlebih bagi Sari, Zoya adalah sosok adik ipar yang harus selalu ia lindungi, bahkan dari suaminya sendiri.
"Aku … aku hanya ingin sesekali seperti ini. Apa ini salah?"
"Tentu saja. Dasar bodoh."
Sari memberikan setelan piyama yang ia bawa. Saat mengetahui gadis itu tidak ada di kamarnya, ia menebak-nebak pasti Zoya keluar. Agar bisa mengelabui Sakti, Sari pun membawa pakaian itu dan menunggunya di pos satpam dekat gerbang rumah.
Saat sebuah mobil melintas dan ia melihat wanita seperti Zoya di dalamnya, ia pun mendekati mobil yang berhenti tidak terlalu jauh dari rumah majikannya itu.
Setidaknya saat Sakti marah karena adiknya keluar malam, Zoya memberi alasan kalau ia hanya mencari angin di sekitar kompleks. Namun, tidak terlintas sedikitpun dalam benak Sari kalau Zoya akan berpakaian layaknya wanita jalang seperti itu.
Di luar mobil, Zoya dengan cepat menutupi tubunya dengan piyama itu, lalu pergi bersama Sari tanpa berpamitan pada orang yang sudah mengantarnya.
"Bagaimana ini, Sari? Apa Kak Sakti tau kalau aku ke luar?" tanyanya saat berlari.
"Iya. Tuan dan Nyonya juga sedang menunggumu sekarang. Aku tadi bilang kalau kau merajuk dan pergi. Aku juga bilang, mungkin kau ingin duduk di taman untuk menghilangkan suntuk."
"Kau memang selalu bisa diandalkan, Sari."
"Tentu saja, Adik Ipar," jawabnya di dalam hati.
Pria yang tadi mengantar, tertawa sumbang melihat tingkah dua wanita itu yang bahkan tidak mengucapkan terimakasih setelah ia mengantar.
Ia menyalakan lagi mobilnya dan melajukannya dengan perlahan, lalu berhenti di depan gerbang rumah dekat ia parkir tadi.
Berkali-kali klakson ia tekan, hingga seorang satpam berseragam safari keluar. Gerbang dibuka, dan ia memberi arahan agar mobil itu segera masuk setelah pintu besar itu dibuka.
Pria itu menurunkan kaca mobil yang dihampiri oleh satpam.
"Wah … tumben Tuan Alan ke sini?"
"Aku cuma sedang kangen dengan Mami. Apa Mami sudah tidur?"
"Kalau jam segini, sepertinya sudah. Silahkan masuk saja, Tuan!" titah satpam itu.
"Terima kasih, Ujang."
Pria bernama Alan itu pun turun dari mobil setelah memarkirkannya dengan baik. Sebelum masuk ke pintu utama rumah, ia menatap bangunan yang tak kalah megah milik keluarga Zoya dari rumah yang ia kunjungi.
"Zoya? Nama yang cantik untuk mengganti Maura," gumamnya, lalu melangkah memasuki rumah yang tak lain adalah milik orang ibunya itu.

Comentário do Livro (323)

  • avatar
    ZahiraUlvia

    bagus

    2d

      0
  • avatar
    slayyymira

    bagus aku sangan menyukai cerita inii🤩

    7d

      0
  • avatar
    PnkAura

    aplikasi ini sangat bagus

    12d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes