logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 5. Kesepakatan dan Malam Pertama

“Beraninya kau ....” Mas Dirga mengepalkan tangannya menahan amarah.

Maafkan aku, Mas. Hanya ini satu-satunya cara untukku mempertahankan pernikahan kita. Biarkan aku sebentar saja merasakan menjadi istri yang sesungguhnya. Aku hanya berharap Mas Dirga akan mengabulkan syarat dariku. Kulirik suamiku yang menghela napas dalam dan tersenyum meremehkan. Tapi pernyataannya membuatku akhirnya merasa lega.

“Oke. Aku akan memenuhi segala persyaratan yang kamu ajukan tadi. Hanya enam bulan saja kamu akan menjadi istriku yang sesungguhnya. Segala yang kau mau akan kupenuhi semuanya. Setelah aku menikahi Anita semuanya akan berakhir. Sandiwara kita tak perlu ditutupi lagi,” Aku tersenyum kaku mendengarkan kalimat demi kalimat yang terlontar dari mulut Mas Dirga. Tertawa di dalam hati merasa miris dengan nasib sendiri. Menjadi seorang istri yang mendapatkan haknya sebagai syarat agar merelakan tempat untuk wanita lain dalam pernikahannya.

“Syukurlah, Mas. Aku harap Mas tidak melanggar semua larangan yang aku ajukan tadi. Jika tidak, aku akan berubah pikiran.” Mas Dirga menatap tajam ke arahku mungkin dia marah dengan yang aku ucapkan barusan. Terlebih tak menyangka dengan segala keberanianku mengancam dan membantah segala perintahnya.

“Baik. Akan kucoba memenuhi syarat yang kau minta,” ujar Mas Dirga sambil berdiri meninggalkanku menuju balkon. Kulihat dia termenung di sana. Hati ini sebenarnya tak tega melihat Mas Dirga seperti itu, tapi mau bagaimana lagi. Aku tak bisa begitu saja merelakan suamiku menikahi wanita lain.

Jujur saja meskipun sikap Mas Dirga kepadaku tak ada yang membuatku senang. Tetap hati ini sudah jatuh cinta kepadanya. Bohong jika aku tak terpesona dengan segala karisma yang ada pada sosok suamiku. Dia tampan, menarik, Juga menawan hanya satu kekurangannya, sikapnya yang tak layak padaku.


Sudah satu jam kami di kamar, sebaiknya aku mengajak Mas Dirga untuk makan malam bersama. Aku hanya tak ingin dia mengabaikan kesehatannya, bergegas menghampirinya.

“Mas ....” Dia menoleh memandangku dengan wajah heran.

“Ada apa lagi?” tanya Mas Dirga dengan penekanan.

“Lebih baik kita makan dulu dengan ayah di bawah, Mas. Aku sudah membuatkan makanan kesukaan Mas Dirga. Ayo kita turun.” Kuberanikan diri untuk memegang tangannya. Mengajaknya keluar kamar. Ada keterkejutan di wajah Mas Dirga melihatku tak biasanya seperti ini. Dia hendak menepis tanganku, tapi aku tetap tak melepaskan tautan tangan kami.

Ini baru awal, Mas. Akan kutunjukkan kalau aku juga bisa mengambil hatimu. Akan kupastikan kamu mencintaiku.

Setelah kami sampai di meja makan kulihat ayah mertua dan ibu baru saja beres makan malam. Ya, sejak aku menikah dengan Mas Dirga ibu selalu disuruh makan bersama di meja makan. Meski awalnya kami merasa tak enak tapi demi menghargai keinginan Ayah Mertua kami menurut saja. Apalagi aku memiliki kewajiban melayani suamiku saat dia hendak makan.

Ayah mertua dan ibu pergi ke kamar masing-masing setelah makan malam. Meninggalkan kami berdua di ruang makan. Kulayani Mas Dirga dengan sepenuh hati, berkali-kali aku coba menunjukkan perhatian padanya. Meski kulihat ada raut tidak suka dan tatapan sinis yang ditunjukkannya.

Aku tak peduli. Aku tak kan menyerah meraih cinta darimu, Mas. Meski aku tak tahu aku akan memenangkan hatimu atau tidak.

Setelah kami makan malam bersama, kami ke kamar. Kulihat suamiku mengambil laptop dan duduk di atas sofa. Beberapa kali juga kulihat dia mengecek ponselnya. Aku tahu dia sedang bertukar pesan dengan Anita – kekasihnya.

Daripada aku terus-menerus melihat Mas Dirga yang sedang membereskan pekerjaannya lebih baik aku tidur terlebih dahulu. Sudah satu jam aku menunggu Mas Dirga tapi belum ada tanda-tanda dia akan tidur. Tak terasa akhirnya aku terlelap ke alam mimpi.

Saat terbangun tengah malam, kuraba kasur di sebelahku kosong. Ke mana Mas Dirga? Apa dia pergi? Tiba-tiba aku merasa takut suamiku mengingkari janjinya. Melanggar syarat yang aku berikan kepadanya. Apa Mas Dirga pergi ke tempat Anita? Tidak ... itu jangan sampai terjadi. Kalau iya berarti dia sudah mengingkari janjinya.


Bergegas aku bangun dan mencari keberadaan Mas Dirga di seluruh penjuru kamar tapi nihil dia tak ada. Aku turun ke bawah tetap berusaha mencarinya, lagi-lagi suamiku tak ditemukan. Mungkinkah dia pergi? Kalau iya berarti Mas Dirga pasti memakai mobilnya. Segera kulihat kendaraan yang sering dipakai suamiku di garasi. Benar saja, mobil itu sudah tak terparkir di sana. Aku yakin Mas Dirga lah yang sudah memakainya. Tapi ke mana malam-malam begini dia pergi? Apakah menemui Anita? Seketika itu juga tubuhku lemas. Belum semalam kami membuat kesepakatan, tapi Mas Dirga tetap melanggarnya. Haruskah aku menyerah?
Tidak! Aku tak kan menyerah sekarang. Mungkin menghilangkan kebiasaan Mas Dirga itu sulit, tapi aku yakin suatu saat dia akan berubah. Akan kucari cara agar suamiku itu tak bisa melanggar lagi janjinya padaku.


Sudah dua jam aku menunggu kepulangan Mas Dirga. Rasa kantuk ini menguap begitu saja, jadi kuputuskan mengambil wudu dan melaksanakan salat malam sembari menunggu suamiku datang. Benar saja saat aku sedang melaksanakan sembahyang Mas Dirga pulang dengan keadaan sempoyongan.

Matanya memerah, bau alkohol menyengat di seluruh badannya. Apa yang sebenarnya terjadi? Dari mana suamiku tadi sampai pulang dalam keadaan mabuk seperti ini. Benarkah dia baru saja menemui Anita?

Kuhampiri suamiku yang sudah tersungkur di atas ranjang. Membantunya membuka sepatu dan membenarkan posisi tidurnya. Kucium bajunya juga ternyata ada tumpahan alkohol di sana. Mungkin aku harus mengganti baju Mas Dirga dan mengelap badannya dengan air hangat.


Kulipat mukena yang masih dipakai tadi. Berlalu dari kamar lalu turun ke dapur untuk membawa air hangat. Setelah kembali ke kamar aku mengambil handuk kecil dan baju ganti untuk Mas Dirga. Kubuka satu persatu kancing kemeja suamiku lalu mengelap badannya perlahan-lahan. Ada yang berbeda di dalam sini ketika tak sengaja aku meraba tubuh atletis Mas Dirga. Bagaimanapun aku wanita normal dan ini pertama kalinya aku menyentuh tubuh laki-laki selain bapak ketika dia sakit dulu.

Saat semuanya hampir selesai, aku terkejut tangan Mas Dirga menggenggam tanganku. Dia menarikku ke dalam pelukannya. Aku tak kuasa menghindar ketika dia membalikkan posisi tubuh kami. Kini posisiku ada di bawah suamiku, membuatku merona dengan segala perlakuannya. Bahkan ini pertama kalinya bibir ini bersentuhan dengan seorang laki-laki. Semuanya terjadi dengan cepat, kami sama-sama terbakar dalam lautan gelora. Bahkan sakit yang kurasakan karena ini pertama kalinya untukku tak membuat Mas Dirga menghentikan kegiatannya. Aku terbuai dengan segala kemesraan yang diberikan suamiku, pemujaannya, sampai ketika saat-saat terakhir sesuatu yang tak kuinginkan terjadi. Membuat hati ini sakit luar biasa.

Dengan rela hati aku menyerahkan semuanya, mencoba memberikan hak suamiku serta menjadi seorang istri seutuhnya. Tapi apa yang kudapat? Ternyata pemujaan yang aku rasakan bukan tertuju untukku. Dia menganggapku orang lain. Wanita yang menjadi kekasihnya. Ya, dia suamiku menggumamkan nama Anita di akhir penyatuan kami.

Istri mana yang tak sakit hati, ketika untuk pertama kalinya menyerahkan sesuatu yang selalu dijaga selama hidupnya. Saat itu pula suaminya tak memandang dia sebagai seseorang yang disentuhnya, tapi dia malah mengkhayalkan wanita lain. Aku tahu Mas Dirga tak sadar dengan apa yang dilakukannya, tapi itu tak mengurangi sakitnya hati ini. Setelah segalanya tuntas Mas Dirga tertidur di sampingku.


Tak terasa air mata ini tumpah ketika mengingat kejadian barusan. Untuk kesekian kalinya Mas Dirga menorehkan luka di hati ini. Sebegitu cinta kah kamu, Mas. Kepada Anita? Sampai-sampai dalam keadaan sadar ataupun tidak tetap namanya yang kamu ingat. Kucoba bangun dari ranjang. Meski rasanya masih terasa sakit tapi tak kuhiraukan. Bergegas ke kamar mandi dan membersihkan diri. Berharap dengan mandi membuat hati yang sedang diselimuti kekecewaan akan reda. Satu jam aku tak keluar kamar mandi, betah dengan lamunanku tentang Mas Dirga dan Anita serta rasa sakit yang ditorehkan mereka.


Haruskah aku memaafkan Mas Dirga? Apakah aku bisa melupakan apa yang telah terjadi malam ini? Apa Mas Dirga ingat dengan apa yang dilakukannya tadi? Semua pertanyaan itu berputar di otakku.

Setelah mandi selesai, aku merebahkan badanku di samping Mas Dirga. Menghadap untuk melihat wajah suamiku. Kulihat tidurnya begitu nyenyak. Ada dorongan dari dalam diri ini ketika melihat wajahnya. Tak sadar aku menyentuh wajah Mas Dirga. Dia memang tampan wanita mana pun pasti tergila-gila padanya. Apalagi Anita yang tentu sudah lama dikenal Mas Dirga. Aku tahu aku bodoh setelah berkali-kali Mas Dirga menyakitiku, tapi diri ini tetap saja ingin bertahan. Tak sadar setelah satu setengah tahun menikah dengannya, makin hari aku semakin jatuh cinta padanya. Hanya cinta sepihak.


Pagi ini aku terbangun agak kesiangan. Gara-gara memandang wajah Mas Dirga ketika tidur semalam membuatku tertidur kembali pukul tiga pagi. Cepat-cepat aku bergegas membangunkan Mas Dirga. Mulai saat ini dia harus mengubah kebiasaan. Aku harus sering mengajaknya untuk menunaikan ibadah. Mas Dirga menggeliat ketika kubangunkan dan mengajaknya salat subuh. Tapi tetap tak dihiraukannya, sangat sulit sekali membuat dia berubah. Segera kubangunkan dia dengan cara menempelkan air di tangan ke mukanya. Dia terbangun dan menatapku tajam.

“Apa-apaan kamu ini?” teriak Mas Dirga. Aku menyuruhnya untuk bangun dan membersihkan diri. Tapi saat dia hendak bangun matanya terbelalak melihat penampilannya yang tak memakai sehelai benang pun.

“Hey! Kenapa aku tak memakai apa pun? Memangnya apa yang terjadi semalam?” tanya suamiku dengan raut wajah heran. Aku yang bingung harus menjawab apa hanya bisa diam dan segera berlalu ke kamar mandi untuk mengambil wudu. Sampai saat keluar pun aku masih melihat Mas Dirga seperti sedang melamun memikirkan sesuatu. Mungkin sedang mengingat-ingat apa yang terjadi semalam.

Aku tak mungkin mengatakan segalanya. Mana mungkin kukatakan kalau dia telah meniduriku dengan mengkhayalkan wanita lain. Tidak ... aku tak mau lagi menyakiti hatiku dengan hal-hal yang seperti itu. Bergegas menggelar sejadah dan menghadap pada-Nya, memohon agar aku selalu diberikan kekuatan dalam menjalani rumah tangga ini.

“Aku ingat sekarang apa yang terjadi semalam. Aku pikir semalam sudah bercint* dengan Anita, tapi apa aku malah melakukannya denganmu, hah?” tanya Mas Dirga saat aku sudah beres salat dan hendak menyimpan mukena di atas nakas. Aku tak menghiraukannya bergegas meninggalkan Mas Dirga. Akan tetapi langkah ini terhenti saat Mas Dirga mencekal tanganku meminta penjelasan. Aku tetap bergeming.

“Berarti benar kita semalam melakukannya? Anggap saja itu sebuah kesalahan yang aku perbuat.” Kata-kata Mas Dirga sungguh membuatku benar-benar seolah tak memiliki harga diri. Apa katanya? Dia anggap semalam itu hanya kesalahan? Aku tak tahu harus mengatakan apa, segera berlalu dari hadapan Mas Dirga dengan amarah di dada, lalu keluar dari kamar sambil mengusap air mata yang tak berhenti mengalir.

Apa yang harus kulakukan untuk membuatmu menghargaiku, Mas?

Comentário do Livro (1063)

  • avatar
    Peth Desmond

    good story

    1d

      0
  • avatar
    Rici Gustina

    saya sangat suka cerita ini

    6d

      0
  • avatar
    AnwarChaerul

    mantap

    15d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes