logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 7

"Kamu capek Ki?"
Saat ini Kia berada di ketinggian dan Ben menanyakan pertanyaan yang jelas jawabannya. Kia tidak mungkin meminta Ben menggendongnya kan?
Kia meneguk air mineralnya dengan rakus hingga menimbulkan suara berisik sementara Ben memperhatikannya.
"Aku nggak jadi ke Jepang Ben." ucap Kia lemah, dia menyimpan botol air mineralnya ke dalam tas. "Ibuku yang baik hati buat rencana sendiri, katanya kalau tahun ini aku nekat ke Jepang. Dia bakal minta orang jemput paksa aku di sini. Menurutmu aku harus gimana?" 
"Ikuti kata hatimu karena impian kamu memang ke Jepang kan?"
"Kenapa sih aku harus hidup di keluarga berantakan?" tanya Kia diiringi tawa sinis.
"Kamu nggak bisa nyalahin takdir Ki kalau kenyataannya memang hidupmu begitu. Jangan lihat sisi buruknya karena semua hal pasti ada sisi positifnya. Kamu beruntung masih punya orang tua sedangkan aku cuma punya paman. Meskipun keluargamu nggak harmonis, tapi kamu masih punya aku Ki. Sampai kapan pun aku bakal dukung kamu. Jadi, jangan ragu buat ngambil keputusan."
"Ibuku brengsek terus nikah sama orang brengsek, tapi aku nggak mau disebut anak brengsek, meskipun kenyataannya memang aku bukan orang baik-baik." 
"Ki, aku percaya kamu bakal nemu kebahagiaanmu sendiri. So, jangan sedih karena masalah sepele, toh ibumu nggak ngasih apa-apa kecuali larangan. Manusia boleh berkuasa, tapi dilihat dari perintahnya."
Kia tersenyum kecil. "Makasih Ben kamu memang sahabat terbaikku."
"Sebutan sahabat itu aku bosan lho. Sekali-sekali mau donk naik peringkat misalnya jadi pengeran berkuda putih." Ben terkekeh pelan melihat wajah Kia yang cemberut. "Atau kamu udah ketemu sama pengeran itu."
Pipi Kia memanas mengingat pertemuannya dengan Rain serta sikap dingin laki-laki itu yang membuatnya tertarik. 
"Apaan sih!" sangkal Kia supaya Ben berhenti memperhatikannya. 
"Aku kenal kamu nggak sehari dua hari dan aku yakin kalau kamu sekarang lagi naksir sama seseorang, tebakanku benar kan?"
"Aku bukan kamu sehari kenal sama cewek langsung dipacarin." ucap Kia sengaja mengubah topik pembicaraan.
"Pacaran nggak harus cinta Ki."
"Jadi, kamu nggak cinta sama Eren?"
"Kamu sering ngomong masalah nggak penting." Ben mengacak rambut Kia hingga berantakan lalu bangkit dari duduknya. "Lanjut biar cepat sampai puncak."
"Aku nggak mau!" 
Tanpa aba-aba, Ben berjongkok dengan punggung menghadap Kia. "Naik."
"Aku bukan anak kecil Ben."
"Aku nggak mau dengar keluhan, ayo naik!"
"Huh, dasar kamu!" Kia mendengus, tapi tak urung naik ke punggung Ben.
Mereka berjalan santai melewati jalan berdebu, jalan menanjak tampaknya tidak membuat Ben kesulitan menggendong Kia di punggungnya. Mendaki gunung membawa ransel sudah cukup merepotkan apalagi Kia yang beratnya dua kali lipat dari ransel Ben. Bahkan laki-laki itu bersusah payah membawa ransel di gendongan depan mirip monyet menggendong bayinya. Kia terkikik pelan tak urung menarik perhatian Ben.
"Pasti lagi mikir yang jelek-jelek." ucap Ben.
"Aku baru sadar kalau kamu mirip orang utan bawa anaknya. Tenaga kamu cukup besar ya." 
"Tenaga apa nih?" tanya Ben sengaja memperlambat langkahnya.
"Apa ya?" Kia pura-pura berpikir.
"Malam ini nginap di sini ya Ki, aku udah bawa persiapan buat semalam di sini."
"Kamu gila Ben! Suhu di Bromo tu dingin banget apalagi pas malam. Emang kamu mau ke mana sih?!"
"Mau ke Semeru."
"Parah kamu!"
Kia mengeluarkan keluhan selama perjalanan menuju tempat untuk melihat sunset. Ajakan Ben untuk bermalam Kia tolak mentah-mentah sebab dia masih cukup waras tidur di atap terbuka dengan suhu rendah. Kia bukan pecinta alam bebas salahkan saja dia tidak menuruti keinginan Ben.
"Kalau gitu habis dari sini kita lanjut ke Rinjani."
Ben dengan entengnya mengatakan kalimat itu sehingga Kia terpaksa menjewer telinga Ben kuat-kuat.
"Kamu kira aku punya ilmu teleportasi?!" tanya Kia kesal.
"Kan demi lihat bunga edelweiss yang abadi itu. Katanya kamu mau lihat edelweiss sebelum lihat sakura."
"Nggak mau!" 
Kia meronta dalam gendongan Ben, tapi usahanya sia-sia karena Ben lebih dulu mengunci kakinya menyebabkan Kia tidak bisa bergerak bebas. 
Dasar tidak berperasaan!
***
"Lain kali aku nggak mau naik gunung." ucap Kia setelah berada dalam perjalanan pulang. Keluhan panjangnya berakhir setelah berada dalam mobil dan bisa menyenderkan kepalanya yang terasa berat. "Aku mau mati tahu!"
Ben mengusap kepala Kia lembut sementara tangan sebelahnya fokus menyetir. "Maaf ya." ucapnya memohon.
"Huh!" 
Suara ponsel mengalihkan perhatian Kia dari kekesalannya. Ponsel milik Ben yang berada di tasnya menampilkan nama Eren. Kia menyerahkan ponsel itu pada Ben, tapi segera ditolak dengan gelengan keras.
"Kamu aja yang angkat."
Mau tidak mau Kia terpaksa mengangkat panggilan dari Eren dan menunggu hingga perempuan itu mengeluarkan suara.
"Ben, kapan kamu datang?"
Suara lembut yang mendominasi terdengar tidak sabar di telinga Kia. Pasti Ben sengaja membuat perempuan itu menunggu!
"Ben lagi di jalan nggak bisa angkat telepon." ucap Kia terpaksa berbohong demi sahabatnya yang menyebalkan itu.
"Oh, gitu ya?"
Mendengar nada kecewa yang begitu kental itu Kia menjadi tidak tega dan menyerahkan ponsel itu pada Ben. Meskipun laki-laki itu tampak keberatan, tapi bersedia menerimanya setelah menepikan mobil di sisi jalan.
Hari sudah gelap Kia memperhatikan sekitarnya barangkali ada makhluk halus yang melintas. Dia tidak takut hantu dan penasaran tentang dunia mistis, meski berulangkali Ben membuang rasa penasarannya. Dengan cara mendatangi tempat angker seperti kuburan atau rumah kosong.
"Berhenti hubungi aku!"
Teriakan keras dengan lemparan ponsel di dashboard mengalihkan perhatian Kia.
"Kenapa sama Eren?" tanya Kia setelah emosi Ben mereda. Mobil pun kembali melaju dengan kecepatan sedang.
"Berhenti bahas dia."
"Emosi kamu meningkat saat dengar nama Eren, ini pertama kalinya kamu emosi gara-gara cewek. Kenapa sih Ben?" 
Kia bukan tipe orang yang suka ikut campur, tapi berbeda jika itu Ben. Sahabat yang sejak kecil selalu di sampingnya terlihat begitu kacau setelah mengenal Eren. Kia mungkin tidak berpengalaman menyangkut hubungan lawan jenis. Namun, hidupnya yang berantakan itu bukan tidak mungkin Ben juga mengalaminya.
Dan, itu karena Eren.
Kia mengusap pundak Ben hanya itu satu-satunya cara supaya Ben merasa lebih baik. Ya, merasa lebih baik untuk sementara waktu.
"Maaf, aku nggak bakal nanya-nanya soal dia." ucap Kia pelan.
"Kamu nggak salah Ki. Aku minta maaf."
"Kamu kelihatan capek banget, lebih baik kita nginap di hotel. Aku tahu hotel yang bagus di sekitar sini." 
Kemarahan Ben sepenuhnya hilang saat mereka memasuki hotel. Kia memesan dua kamar berdekatan untuk berjaga-jaga barangkali Ben membutuhkannya. Mereka berjalan bersisian menuju lorong hotel yang sepi. Kia merasa canggung dengan sikap diamnya Ben. Entah apa yang terjadi, tapi Kia merasa tidak nyaman bersama Ben yang bersikap seperti orang asing.
"Ki, aku minta maaf."
Setelah mengatakan kalimat itu Ben mencium bibirnya, ciuman tergesa-gesa sehingga Kia lupa cara untuk bernapas. Namun, seseorang yang berdiri di lorong hotel itu membuatnya terpaku. Ben tidak melihatnya dan terus menciuminya, tapi Kia tidak lupa bagaimana ekspresi orang itu.
Eren.
***

Comentário do Livro (214)

  • avatar
    Bento99Yaksa

    bagus

    7d

      0
  • avatar
    NoSono

    baik

    9d

      0
  • avatar
    EttoyHendar

    bagus

    24d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes