logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Game Over, 04

"SURPRISEEE!"
Saima berkedip beberapa kali. Wajahnya masih sama, datar—tanpa ada sedikitpun sesuatu bernama keterkejutan di sana saat mendapati kekasihnya itu berdiri, mengumbar senyum lebar lengkap dengan tangan memegang sebuah buket bunga. "Kamu ngapain di sini?"
Raut yang semula sumringah tersebut langsung berubah muram. "Babe ... kok nanyanya gitu, sih?" Protes Jaendra.
"Emang aku harus nanya apa?"
Jaendra berdecak. "Responmu ituloh, mengecewakan banget. Seriously, aku ini lagi ngasih kamu surprise! Kaget dikit kenapa, sih?"
"Tapi aku nggak kaget, Jae."
"Pura-pura, kan bisa."
"Dosa," sahut Saima sebelum bertanya, "Pagi-pagi dateng ke sini, kamu nggak kuliah?"
"Babe ..."
"Aku serius." Saima berkata datar. "Aku nggak mau, kamu bolos kuliah cuma karena melakukan hal nggak berguna kaya gini."
"Ini bukan hal nggak berguna tapi ini surprise. Beda." Jaendra menarik hidung Saima gemas. "Lagian aku juga nggak bolos, kok. Negatif thinking banget, sih."
Saima melipat tangan di dada. "Terus?"
"Aku masuk, Babe ... tapi nanti. Hari ini aku cuma ada kelas siang," terang Jaendra. "Makanya aku gabut, bingung mau ngapain—dan ... ya, udah ... tiba-tiba keinget kamu, jadi kangen, jadi pengen ketemu, akhirnya dateng, deh ke sini sekalian aja bikin surprise."
"Oke. Tapi soal surprise ..." Saima melirik buket bunga yang Jaendra bawa. "... kamu tahu, aku nggak suka dikasih bunga."
"Yap, karena kamu bukan kuburan?"
Saima mengangguk setuju.
Jaendra tertawa, memperlihatkan lesung pipinya. "Jujur, Babe. Sampe saat ini aku sebenarnya masih heran sama alasan kenapa kamu nggak suka sama bunga."
"Itu hak kamu."
"Iya, sih. Tapi kok, bisa alasannya itu???"
"Berani berbeda itu keren."
"Kamu bisa aja."
Saima hanya mengendikan bahu acuh.
Jaendra tersenyum menenangkan. "Tenang aja, ini bukan buat kamu kok—bunga ini mau aku kasih ke calon mertua ..." Calon mertua yang pemuda itu maksud di sini jelas adalah orang tua Saima. "... sebagai tanda permintaan maaf karena kemarin nggak bisa ikut jemput di bandara."
"Mama, Papa sama sekali nggak mempermasalahkannya, Jae."
Jaendra mengangguk kecil. "Tapi aku mempermasalahkannya, Babe."
"Ya, udah."
"Ya, udah apa?"
"Suka-suka kamu aja, itu hak kamu juga."
"Good girl." Jaendra mengacak rambut Saima sebelum, "Tadaaa!" Pemuda itu mengangkat sebuah kunci mobil.
Saima menggernyit.
"Surprise dari aku buat kamu," sambung Jaendra.
"Kunci mobil?" Jaendra mengangguk akan pertanyaan yang Saima ajukan. "Kamu nggak lagi berniat ngasih aku mobil, kan?"
"Kalo kamu nggak keberatan."
"Jangan gila."
"Bercanda, Babeee." Jaendra nyengir. "Tapi kalo kamu mau, aku beneran, lho kasih mobilnya ke kamu. Serius."
Saima mendengus. "Aku nggak mau."
Demi apapun, melihat dari latar belakang keluarga Jaendra—memang bukan perkara yang sulit untuk Jaendra memberinya mobil secara cuma-cuma. Saima bahkan sangsi, kalau pemuda itu bahkan lebih dari mampu untuk memberinya yang jauh lebih dari itu. Hanya saja sayang sekali, ia mau menjadi pacar Jaendra bukan untuk mendapat hal-hal demikian meskipun Jaendra memberikannya dengan alasan sebagai tanda kasih sayang.
"Kamu emang pacarku." Lagi, Jaendra mengacak rambut Saima. "Hari ini aku pengin nganterin kamu ke sekolah," ungkap pemuda itu, menjelaskan alasan dibalik kunci mobil yang diperlihatkan tersebut.
"Jae—"
"Nooo, nggak boleh nolak. Aku beneran bakal marah kalo kamu lakuin itu!" Jaendra segera mengangkat tangan menghentikan, saat mendapati Saima membuka mulut, seakan pemuda itu tahu kalau apapun yang akan dikeluarkan pasti berisi penolakan.
Saima memutar bola mata malas. Bersikeras mendebat sepertinya akan membuang-buang waktu terlebih, ia belum mengenakan seragam walaupun ia sudah mandi tadi. Tidak mau mendapat kemungkinan terlambat datang ke sekolah, Saima memilih mengalah lalu mempersilakan Jaendra masuk sekalian menawari pemuda itu untuk sarapan bersama yang tentu langsung diterima dengan senang hati.
"Oh, ya, Babe." Jaendra memanggil tepat di dua langkah kaki Saima. "Mungkin kamu udah muak dan bosen dengernya—tapi aku nggak peduli." Pemuda itu tersenyum lebar sebelum berdeham. "Kamu cantik dan aku tahu setiap orang yang liat kamu pasti setuju sama gagasan itu—tapi, demi Tuhan ... harus banget, ya? Kamu kelihatan jauuuh ... lebih cantik dengan rambut digerai gini?"
"Ini bukan pertama kali kamu lihat rambutku digerai."
"Memang, tapi sejarang itu kamu gerai rambut."
"Kamu suka?"
"Hah?" Jaendra nampak kaget.
Entahlah, jika sebelumnya Saima hanya diam tetapi untuk kali ini ia memberi respon, "Rambutku yang digerai ... gini?"
"Banget."
"Bakal aku pertimbangkan."
"Pertimbangkan apa?"
"Coba sering-sering gerai rambut."
"Babe, bukannya kamu pernah bilang rasanya nggak nyaman kalo rambutnya digerai?"
"Tapi kamu suka." Saima melihat Jaendra menelan ludah. Ia menggeleng tak masalah, "Makanya, ya udah." Sebuah jawaban yang mungkin menjadi sesuatu yang tidak terduga bagi Jaendra. Makanya ia biarkan saja pemuda itu melenggang masuk berjalan mendahului lengkap dengan sebelah tangan mengusap tengkuk.
Gelagat Jaendra yang selalu mengusap tengkuk setiap merasa sangat salah tingkah tidak pernah gagal membuat Saima terkekeh geli. Menggelengkan kepala, ia kemudian menyusul masuk.
Di antara langkah santai kakinya, sebuah notifikasi terdengar dari ponsel yang memang Saima kantungi di saku celana kulot panjang yang kini ia kenakan. Begitu dicek, pesan itu ternyata datang dari seseorang yang waktu itu mengajaknya berteman.
Benar, Niken.
Setelah beberapa hari yang lalu saling bertukar kontak, Saima tidak menyangka jika sekarang ... menjadi hari pertama gadis itu mengiriminya pesan.
Niken Lourina: Hai, Saima! Sorry baru menghubungi lo sekarang karena gue bingung harus memulai dari mana:")
Niken Lourina: Minggu besok, gimana kalo kita nongkrong cantik di ćafe? Biar enak ngobrolnya. Karena jujur, gue anaknya nggak pandai ngobrol lewat hp:")
Niken Lourina: Deal?
***
Seperti sebelumnya Saima menerima ajakan berteman Niken, ia juga tidak punya alasan untuk menolak ajakan bertemu Niken. Itu sebabnya, ia mengajak April. Terbukti, sahabat bermulut gandanya mampu menghapus canggung dan nongkrong krik-krik yang ada dalam bayangannya tidak pernah terjadi meski dalam obrolan—hanya menimpali sesekali.
"Gue penasaran." April kembali memulai obrolan ketika pelayan yang tadi mengantar pesanan telah pergi. "Gimana rasanya?"
"Apa?" Tanya Niken.
Saima hanya mengangkat sebelah alis saat April menggerling ke arahnya. "Gue rasa Kak Jaendra yang dulu sama Kak Jaendra yang sekarang nggak ada bedanya. Jadi ... gimana rasanya? Satu kampus, satu jurusan bahkan jadi temen yang suka nongkrong bareng sama Kak Jaendra?"
"Ya, nggak gimana-gimana."
"Bohong banget."
Niken terkekeh seraya menatap Saima. "Kelihatan banget, ya?"
"Ayo dong cerita!"
"Hm, ya ... seneng?"
"Cuma itu?"
"Lo bilang dulu pernah satu sekolah sama Jaendra? Lo pasti tahu gimana dia bersikap. Senengnya disitu."
"Ah, sudah gue duga." April menjentikkan jari. "Itu senengnya. Nggak senengnya?"
"Menurut lo ada nggak?" Beralih dari April, Niken sepenuhnya memusatkan pandangan pada Saima, seolah tengah meminta pendapat padanya.
"Pastinya ada!" Sambar April. "Eh, nggak tau juga deng. Menurut lo gimana, Sai?"
"Ada." Saima menjawab tetapi dengan tatapan tertuju pada minumannya yang sedang ia aduk dengan sedotan. "Jae bukan orang yang bisa menyenangkan semua orang."
"Begitulah kira-kira jawaban dari seorang pacar Jaendra Eka Maharga." April bertepuk tangan.
"Menurut gue sih, nggak ada, ya. Karena Jaendra emang sebaik itu," sangkal Niken.
"Bener," setuju April. "Tapi, kayaknya bukan itu maksud dari kalimat Saima deh, Kak. Gue pun tahu sebaik apa Kak Jaendra, tapi kita juga nggak tau kalo karena sikap kebangetan baik Kak Jaendra juga menimbulkan harapan lebih?"
"Maksudnya?"
"Itulah kenapa gue bilang tadi kalo nggak ada bedanya Kak Jaendra yang dulu sama Kak Jaendra yang sekarang. Itu cowok selalu dikelilingi cewek."
"..."
"Gimana nggak? Udah ganteng, soft boy pula. Apa nggak bikin belingsatan? Makanya harus hati-hati pake banget biar nggak salah paham kalo deket sama Kak Jaendra. Dia ini nggak sadar setiap baik khususnya sama cewek tuh, seolah mengistimewakan cewek itu padahal mah biasa aja."
"Ahahaha. Pasti sulit jadi Saima."
"Dan dugaan lo sangat salah besar, Kak," cibir April menunjuk Saima sebelum telunjuk itu turun dan menunjuk ponselnya. "Lo lihat kenapa itu hp dari tadi nyala-nyala terus?"
Niken menatap Saima lekat. "Dari Jaendra?"
"Seratus buat lo, Kak!" April yang menjawab.
"Kok nggak dibalas?"
"Nah, itu. Apalah arti cewek-cewek gak jelas di sekitar Kak Jaendra, dia aja gak sesusah itu buat cuekin pacarnya langsung."
Saima melirik datar. "Apasih, Pril."
Fyi, Saima memang tidak mengatakan apapun pada Jaendra mengenai janji temunya dengan Niken, ia juga lupa hari ini belum memberi kabar apapun. Makanya tidak heran jika pemuda itu tak berhenti memberondongnya dengan pesan tanpa henti. Itulah sebabnya ia memilih menonaktifkan ponsel. Nanti, ia akan memberi kabar—bila sudah merasa perlu.
"Pantes," gumam Niken.
"Pantes apa?" Tentu yang menjawab bukan Saima.
"Ah, itu ... Jaendra sering kelihatan misuh-misuh depan hp. Kenapa, sih ini anak? Tapi begitu tahu apa penyebabnya, ya udah. Gue maklumi, tapi nggak tau, sih sama yang lain soalnya mereka pada panggil Jaendra itu bucin."
"Wah, terus gimana sama Kak Jaendra?"
"Terima-terima aja, malah seneng banget kayanya dipanggil begitu."
"Kok gemes???"
"Ahahaha."
"Emang gila ini anak." April menggeleng heboh sambil menatap Saima. "Bisa-bisanya gitu nganggurin pacarnya yang modelnya kaya Kak Jaendra? Sumpah kalo aja gue nggak tau, gue bahkan dengan suka rela jadi salah satu cewek yang ngarepin Kak Jaendra. Tapi gimana? Niat itu kayaknya gak akan pernah kesampaian karena boro-boro jadi kenyataan, dalam mimpi pun kayaknya tetep aja gak mungkin. Karena gue tau! Kalo secinta mati itu emang Kak Jaendra sama Saima!"
"Oh ... ya?"
Saima berhenti mengaduk minuman.
"Gue saksinya! Saksi yang lihat semua, gimana Kak Jaendra berjuang buat dapetin Saima! Beuh, rasanya ingin menjadi seperti ironmen."
Saima mendongak.
"Eung ... gitu, ya?" Niken tertawa.
Tunggu. April boleh saja tidak memiliki beban ketika mengungkapkan sesuatu. Namun gadis itu tidak cukup peka, kapan seharusnya berhenti.
"Ho'oh. Butuh waktu satu tahun buat Saima benar-benar luluh dan mau jadi pacarnya Kak." April menggeleng tak habis pikir. "Bukan main."
Lagi, Niken tertawa.
Saima meneliti. "April." Dan telunjuk sahabatnya langsung menempat di bibirnya.
Bukan, Saima sedang tidak berusaha untuk menyangkal apa yang tengah coba April bagi. Toh, memang fakta sekalipun diungkapkan dengan cara berlebihan.
"Lo mending mingkem dulu, Sai. Cerita gue belum selesai."
Saima menarik turun telunjuk April. Baiklah, gadis itu tidak hanya cukup tetapi memang sangat tidak peka.
Tetap asik bercerita padahal meski terlihat berusaha keras menutupi, Saima mendapatinya. Niken tidak lagi bisa mempertahankan raut keramahan yang sebelumnya di perlihatkan. Ada sesuatu yang nampak ditahan.
"Untung Kak Jaendra orangnya pantang mundur dan nggak menyerah!" Lanjut April mengebu-gebu. "Kak Jaendra orangnya nggak gampang berpaling! Terbukti tuh, bukan lagi rahasia kalo dia dikelilingi cewek-cewek yang lebih cantik, yang lebih aduhay wadidaw dari Saima, kan? Tapi tetep, dia bucinnya sama ini anak!!!"
Lalu, untuk kali ini juga tanpa sepengetahuan April, Saima juga mendapatinya. Senyum sinis yang sempat terpatri di wajah Niken sesudah gadis itu menggumamkan beberapa kata tanpa suara. Seperti umpatan.
"Ya Tuhan ... nyari model cowok yang kaya punya temen gue di mana, sih? Gue juga pengin punya yang sesetia ituuu!"
"Ahahaha."
Saima diam. Keterdiaman yang berlangsung lama sampai sosok Niken pamit pergi selepas menerima telpon yang katanya dari teman yang menyuruh gadis itu segera datang.
"Pokoknya kalo lo mau nongkrong sama dia lagi, lo kudu ajak gue! Sumpah, berasa mimpi gue bisa nongkrong sama ratu kampus macam Kak Niken!"
Menoleh, Saima menggernyit. "Ratu kampus?"
"Lo nggak tau?"
"Nggak." Lagipula menurutnya hal tersebut bukan sesuatu yang penting dan menjadi keharusan untuk Saima tahu.
April berdecak. "Gini nih, jadinya kalo punya akun instagram cuma buat posting tugas sekolah!"
Saima tidak menjawab. Pandangan yang tenang mengedar, kembali menatap luar dari balik dinding kaca ćafe walau sosok yang sebelumnya ia tatap sudah tidak lagi terlihat di sana.
"April."
"Apa?"
"Kayanya bener," ucap Saima serius.
"Bener apaan?"
Membasahi bibir. Saima tidak berniat menoleh sedikit saja sekalipun apa yang ia katakan selanjutnya membuat April menyemburkan kembali minum yang memang tengah diteguk.
"Jae. Dia ... selingkuh."
***

Comentário do Livro (56)

  • avatar
    Rusmiati

    suka banget sama alur ceritanya, bikin greget dan gak mau berhenti baca... kharakter Saima the best banget, mampu menyembunyikan perasaan itu gak mudah dan gw salut sama saima. jadi baper pokonya.

    08/08/2022

      3
  • avatar
    harmoniWahana

    bagus sekali

    9d

      0
  • avatar
    SaputraAprianda

    bagus 😎😎😎😎😎😎😎😎😎😎😎😎

    25/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes