logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 7 Seven

"Lo, Mira—tunangannya Janu?"
Mira tergagap. Ia tak menyangka akan mendapat pertanyaan semacam itu tanpa aba-aba, dari seseorang yang dari lubuk hatinya yang terdalam—sudah ia anggap sebagai rival, mungkin?
Jean terkekeh sinis. Yang membuat Mira menipiskan bibir adalah ketika mendapati gadis berkemeja itu beranjak dari duduk lantas memandangnya dari atas sampai bawah dengan tatapan meremeh.
"Yeah, cukup mengecewakan. Ternyata lo jauh dari ekspektasi gue."
Mira mendongak, ia pun beranjak berdiri.
"Maksud kamu apa?" Sorot mata Mira menajam ragu-ragu namun menjadi menegas di detik berikutnya kala mendapati Jean makin-makin menjadi, seakan tengah memandangnya bak sampah tidak berguna.
"Lo nangkapnya di pikiran, maksud gue gimana?"
Demi Tuhan. Hanya bermodal mengamati dari jarak jauh ternyata tidak lantas berarti membuat Mira cukup sedikit mengerti bagaimana sosok sebenarnya Jean Anindita yang saat itu, selalu terlihat sebagai seorang penyendiri, tidak peduli sekitar dan pendiam ternyata ... bisa bertingkah semacam ini. Betul-betul mengejutkannya.
"Gue nggak berharap banyak sih, tapi kalo dilihat-lihat, lo pasti masuk satu dari sekian orang yang tahulah gimana hubungan gue sama Janu."
"..."
"Gimana pun, waktu itu sebelum gue pindah, gue juga sempat beberapa kali gak sengaja denger banyak orang ngomongin dan nyebut nama lo—jadi, secara gak langsung gue juga kenal siapa lo meski kalo boleh jujur, itu bukan keinginan gue banget."
"..."
Jean mengetuk-ngetukkan sebelah sepatunya. Masih mempertahankan tatapan meremeh, gadis itu berkata, "But, listen me. Tanpa marga 'Ajidarma' dibelakang nama lo, lo itu bukan apa-apa."
"..."
"So, jangan merasa besar kepala dulu karena lo bisa jadi tunangannya Janu." Jean menepukkan pelan sebelah tangannya yang tidak sedang membawa barang ke bahu Mira. "Karena jika lo dibandingkan dengan gue, lo juga bukan apa-apa buat Janu. Status lo sebagai tunangannya, nggak ada artinya."
Mira tertegun. Pandangannya meredup, merasa tertohok telak. Kalimat yang tadi ingin ia lontarkan, berakhir tertahan di ujung lidah dengan kedua tangannya yang mengepal kuat menahan emosi.
"Mau bukti?"
Entah bukti yang seperti apa yang Jean maksud karena saat Mira menatap tepat kedua mata gadis itu, yang sedang ditatap matanya justru mengalihkan pandangan ke arah lain—yang detik berikutnya adalah Jean melenggang pergi setelah menyempatkan diri melempar senyum penuh kemenangan yang sungguh, menimbulkan tanda tanya.
Tapi berikutnya Mira jadi paham. Begitu ia memutar badan, ia menemukan sosok Janu yang berdiri tak jauh dari tempatnya. Spontan, jantungnya berdetum cepat.
Berdeham, Mira lantas berjalan mendekat. Menatap sosok berwajah datar—yang kini membawa sebuah cup kopi disalah satu tangan—dengan garis wajah yang ia coba buat seperti biasa, lembut.
"Janu?" Lewat ekor mata, Mira menyempatkan diri melirik sekilas kepergian Jean yang masih bisa dilihat dengan kedua mata lalu setelahnya mengalihkan pandangan pada pemuda di hadapannya. Ia mengulas senyum. "Udah selesai beli minumnya?"
Janu tidak menjawab namun setidaknya Mira merasa sedikit lega karena pemuda itu tidak menepis sebelah tangannya yang bertengger di salah satu lengan kokoh tersebut pun tidak menolak ajakannya untuk segera masuk ke mobil.
Senyumnya mengembang. Entahlah, Mira merasa teramat senang dan menang karena mendapati fakta jikalau Janu sepertinya lebih memilihnya ketimbang memilih mengejar Jean yang ia yakin seratus persen kalau tadi, Janu melihat keberadaan gadis itu.
Mulanya.
Karena lagi-lagi, kejutan tak terduga muncul saat Janu mengucapkan beberapa kata pertama yang membuat Mira diam tak berkutik—tepat jeda beberapa saat setelah ia mendudukan diri di kursi samping kemudi.
"Lo bisa pulang sendiri?"
Percayalah. Kalimat tersebut lebih terdengar seperti sebuah perintah yang tak terbantahkan daripada sebuah pertanyaan.
"Janu—"
"Keluar."
***
Demi apapun. Usia Mira masih 16 tahun dan masih duduk dibangku kelas sebelas SMA. Usia yang terlalu dini untuk mengenal tempat remang-remang berisi hingar-bingar manusia-manusia yang menari dibawah lampu disko dengan musik berdentum yang begitu memekikan telinga.
Namun nyatanya, sekarang Mira ada disini. Di sebuah Club yang letak keberadaannya, baru ia ketahui.
Mira tahu, ini salah. Tetapi untuk sekedar menghentikan langkah pun, ia merasa rugi. Rasa penasaran itu ada dan terbentuk kuat sekarang, hingga hanya membuatnya berakhir anteng mengekor dibelakang sosok yang beberapa waktu lalu bertemu tak sengaja dengannya.
"Gue tahu, suasana hati lo lagi nggak baik-baik aja." Rendi berkata, masih dengan kedua tangan yang masuk ke kantung hoodie. "So, gue rasa ini tempat yang cocok untuk menenangkan diri."
Melirik suasana sekitar, Mira lantas melempar tatapan datar tak percaya yang mana membuat Rendi mengeluarkan kekehan.
Pemuda ber-hoodie hitam yang tudungnya dipakai itu tersenyum penuh arti. "Trust me."
Mira menipiskan bibir. Ia sedang tidak mood menanyakan bagaimana sosok yang dikenal kalem dan tidak banyak tingkah tersebut tahu tempat laknat semacam ini. Yang sekarang dibutuhkannya adalah sebuah pelampiasan, untuk suasana hatinya yang masih memburuk karena perlakuan tidak punya hati Janu yang menyuruhnya turun dari mobil lalu dan meninggalkannya seorang diri di pinggir jalan.
Entah apa yang ingin tunangannya itu lakukan. Namun Mira yakin seratus persen kalau Janu pasti akan mengejar Jean dan membawa gadis itu ikut serta pulang bersama. Yang artinya jika ditelaah lebih ringkas, disini, Janu lebih memilih Jean daripada dirinya.
Nampak asumsinya tersebut sepertinya memang benar adanya, membuat Mira rasanya ingin mengamuk. Tapi tunggu, akankah Janu peduli jikalau dirinya mengamuk? Tidak.
Ah, yeah. Seorang Miracle Ajidarma memang semenyedihkan itu bukan?
Rendi membawanya ke sebuah meja, dimana pemuda itu juga memesan sebuah minuman pada seorang bartender yang salah satunya diberikan padanya setelah mendudukan tubuh di salah satu kursi yang tersedia.
Mengernyitkan dahi ketika mencium sekilas aroma minuman di gelasnya, mendongak, Mira menatap Rendi tak menyangka.
Mira pikir, pemuda itu akan memesan sebuah minuman yang mengandung alkohol atau sejenisnya tapi apa ini? Jus jeruk? Sungguh, ia baru tahu jika minuman ini ternyata dijual juga di bar.
"Nggak usah heran gitu, Mir." Rendi tersenyum kalem. "Gue bawa lo ke tempat aneh ini, bukan berarti gue juga mau nyekokin lo minuman aneh juga, ya."
"..."
"Gue masih sayang nyawa, bagaimanapun."
Mira kembali menggernyit. Tidak mengerti dengan maksud kalimat barusan. Bukannya menjelaskan lebih lanjut, Rendi justru hanya melempar senyuman.
Yang membuatnya kian tak mengerti adalah ketika pemuda itu tiba-tiba beranjak begitu saja tanpa pamit. Dari tempatnya duduk, Mira masih bisa melihat sosok Rendi yang berdiri diantara kerumunan, tengah menggeret seorang gadis ber-dress mini yang entah siapa ia tidak tahu karena wajahnya tidak bisa ia lihat dengan jelas karena pencahayaan yang minim.
Bertingkah cuek, Mira memilih meminum habis minumannya dalam sekali teguk.
Tapi, tunggu. Ada yang aneh disini.
Sejak kapan jus jeruk berubah rasa menjadi rasa minuman basi seperti ini?
Kepala yang mulai terasa pusing membuat Mira tidak bisa berfikir jernih kalau minuman alkohol yang entah milik siapa yang tadi ternyata, tidak sengaja gadis berwajah baby face tersebut minum dan kini, mulai bereaksi dan mempengaruhi kesadaran akal sehatnya.
Bagaimana setelahnya semua terasa buram dan berakhir Mira tidak mengingat apa-apa. Pun, dengan aksi gila yang tidak sadar telah dilakukan yang demi apapun, ketika nanti Mira diberi keajaiban untuk mengingatnya, gadis itu mungkin tak lagi punya keberanian untuk menampakan diri di hadapan Janu.
Iya, Janu. Entah bagaimana si dingin tersebut ada disini, tapi kenyataannya memang begitu. Mira masih bisa mengenalinya dengan jelas walau berjalan pun, ia sudah sempoyongan.
"J-janu?" Mira menyipitkan mata, lantas terkekeh sendiri sembari melangkah menjauhi dance floor, mendekat pada sosok menjulang yang berdiri beberapa langkah tak jauh darinya. "Kamu, kah itu?"
"Pulang."
Terkekeh lagi. Mira mendongak, menatap Janu dengan sorot mata yang begitu sayu. Kedua tangannya terulur yang kemudian meraup wajah Janu, mengusapnya lembut. "Kamu, nyamperin aku, ya?"
"..."
"Aku nggak nyangka. Aku pikir ... kamu nggak peduli tapi ternyata kamu ... beneran ada disini."
"Pulang. Mira." Janu berusaha menampik tangan Mira yang bertengger dipipi namun gadis itu tetap kukuh meletakan keduanya disana.
"Galak!" Mira mempautkan bibirnya namun hanya sebentar karena berikutnya gadis itu malah tersenyum sumringah. "Itu berarti, disini, kamu lebih milih aku dari pada Jean, kan?"
"..."
"Iya, kan? Iya, kan? Iya, kan?"
"..."
"Demi apa?!" Mira memberi respon seolah-olah Janu mengatakan iya. Padahal mengangguk pun, pemuda itu tidak. "Aku benar-benar senang, Nu. Terimakasih," katanya terdengar tulus yang sungguh, berbanding terbalik dengan hal berikut yang dilakukannya.
Plak!
"Brengsek!" Umpat Mira yang kemudian adalah mendorong tubuh Janu saat setelah tadi ia tampar. Gadis itu melayangkan tatapan penuh amarah. "Kamu emang manusia nggak punya hati, ya, Nu!"
"..."
"Tega-teganya kamu suruh aku turun dari mobil dan ninggalin aku di pinggir jalan sendirian?!"
"..."
"Selama ini aku selalu sabar ngadepin tingkah dingin kamu! Tapi bukan gini caranya, Nu! Gimanapun, aku juga manusia biasa! Sabar aku ada batasnya! Hiks," luap Mira disertai tangis. Tidak peduli kalau yang sedang dimarahi hanya diam seperti patung.
Mira memukul-mukul dada Janu sembari menangis tersedu-sedu. Tingkahnya ini mungkin terlihat manusiawi, bak tidak seperti seorang yang tengah dalam pengaruh minuman. Tetapi di menit selanjutnya gadis itu melakukan sebuah tindakan yang apabila dalam keadaan sadar, akan sulit dilakukannya—yang membuktikan, kalau kesadarannya memang betul-betul tengah dipengaruhi.
"Aku cinta kamu Janu."
"Mira, pul—"
"Sangat," lanjut Mira memotong yang setelahnya adalah mengalungkan tangannya ke leher Janu. Tangisnya telah mereda meski jejak air mata itu masih ada di pelupuk mata.
Mendongak, Mira tersenyum. Ditatapnya tepat mata Janu yang selalu menyorot tajam itu intens dan lama. Mendekat, gadis itu berjinjit. Berikutnya, ia menguburkan wajahnya di celuk leher Janu lantas, melabuhkan sebuah kecupan di sana.
Bukan. Bukan hanya sebuah kecupan sepertinya. Sebab, yang disebut sebuah kecupan tidak mungkin meninggalkan sebuah bekas merah keunguan seperti yang tergambar tersebut.
***

Comentário do Livro (26)

  • avatar
    LukycoyyyLuki

    Bagus

    26/06

      0
  • avatar
    ApriyantoGilangg

    keren nivelnya

    20/06

      0
  • avatar
    WahidIbnu

    baguss

    14/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes