logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 6 Six

Satu dari sekian kebiasaan Janu yang Mira ketahui adalah, pemuda itu tidak bisa tertidur pulas jika tidak memeluk sesuatu.
Karenanya, ia juga tak lagi kaget ketika membuka sedikit pintu kamar Janu dan mendapati si pemilik kamar sedang tertidur—dengan sebuah guling abu-abu berada dalam pelukan. Sungguh, posisi tidur pemuda itu betul-betul bisa dikatakan imut—untuk ukuran laki-laki—namun tetap saja tidak sinkron dengan ekspresi datar yang tercipta, sekalipun kedua mata tersebut tengah tertutup tenang.
Mira terkekeh tetapi kekehan geli tersebut tidak berlangsung lama lantaran sebuah tepukan yang terasa di bahu otomatis, membuatnya menutup pintu dan membalikan badan kaget.
"Mira? Lagi ngapain?"
"Eh? Kak Jaendra?" Mira meringis mendapati kehadiran saudara satu-satunya Janu. "Ah, hm~itu anu ..."
"Anu? Ada apa dengan anu?"
"Bukan gitu maksudku, Kak." Mira menggigit bibirnya, mengerjap panik membuat sosok pemilik lesung dikedua pipi tersebut menyemburkan tawa.
Well, jika saja hati Mira belum terpatri penuh dengan nama Janu Dwi Maharga didalamnya mungkin, ia akan dibuat jatuh hati dengan seorang Jaendra Eka Maharga hanya dengan disuguhi tawa pria itu yang demi apapun—seperti ubin masjid, ngademin.
Bukan. Bukannya Mira sedang mengatakan bila Janu kurang tampan jika dibandingkan dengan sang kakak. Justru malah paras yang dimiliki keduanya bak pinang dibelah dua.
Sama tampannya dan sama menawannya.
Yang membedakan hanyalah sikap keduanya. Jika Janu cenderung dingin dan tak tersentuh sementara Jaendra justru sebaliknya. Namun tetap saja hal tersebut tentu tidak mengurangi secuil pun karisma masing-masing.
"Itu Kak, aku disuruh mama buat panggilin Janu, tapi Janu-nya lagi tidur." Mama yang Mira maksud disini adalah wanita yang telah melahirkan Janu juga sosok di hadapannya.
"Bangunin kalo gitu."
Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, Mira nyengir. "Aku nggak tega, Kak. Hehehe ... "
Jaendra memutar bola matanya malas. "Ck. Dasar bucin."
"Nggak."
"Nggak salah maksudnya?"
Mira menggeleng. "Nggak lagi ngaku. Wlee~ " ia menjulurkan lidah tetapi setelahnya jadi memekik begitu Jaendra melabuhkan sebuah sentilan di dahinya.
"Pengin tak ih."
"Hehehe. Kak Jaendra juga bucin." Mira menyeringai, begitu mengingat kelakuan pemuda itu saat berinteraksi dengan sang pacar yang tentu ia kenal namanya.
"Emang." Jaendra sama sekali tidak menyangkal.
Jika tadi dahi Mira kena sentil, kini dahinya justru mendapat usapan lembut yang setelahnya adalah si pelaku beranjak pergi namun baru satu dua langkah, Jaendra kembali memutar badan dan menatapnya penuh makna tetapi diselingi kerlipan jail.
"Mira."
"Iya, Kak?"
"Gue saranin, kalo lo mau bangunin si Janu jauhan aja. Di pintu, jangan masuk ke kamar."
"Lho? Memangnya kenapa, Kak?"
"Diem-diem gitu, si kanebo kering sebenarnya harimau."
"H-hah?"
Jaendra mendekat, lalu berbisik pelan, "Suka nerkam."
***
Entahlah. Suasana keramaian jalanan begitu membisingkan namun anehnya, hal tersebut tidak bisa membantu mengurangi sedikitpun kesuraman yang tercipta di dalam mobil Janu.
Berkali-kali Mira melirik Janu lewat ekor mata tetapi berhenti ketika pemuda itu menoleh dan tahu apa yang tengah ia lakukan.
"Janu."
"..."
"Janu."
"..."
"Jan—"
"Diam."
Mira merengut, menatap sebal pada sosok yang sama yang tadi mengusirnya untuk segera pulang dari rumah, padahal ia bertamu bahkan belum lama.
"Aku tuh, masih kesal ya, sama kamu!" Adu Mira. Tidak peduli Janu mau mendengarnya atau tidak.
"..."
"Masa aku lagi main ke rumah, kamu suruh-suruh aku cepet pulang! Padahal, Mama aja nggak gitu!"
"..."
"Kamu kenapa, sih?" Mira menolehkan kepala sepenuhnya pada pemuda di kursi kemudi yang tatapannya tetap fokus pada jalanan di depan sana. "Marah, gara-gara aku bangunin kamu tidur?"
"..."
"Atau, kamu marah gara-gara aku masuk ke kamar kamu dan liat kamu ternyata tidur gak pake baj—'
"Bisa diem, nggak?"
Melengos. Mira mengantupkan bibir rapat untuk sesaat karena detik berikutnya, bibirnya kembali terbuka saat Janu tiba-tiba menghentikan mobil. Meneguk saliva, ia kembali menoleh tapi dengan raut wajah panik.
"J-janu, kenapa berhenti? Kamu nggak lagi niat turunin aku di jalan, kan?"
"Turun."
"Janu?" Mira shock. "Kamu serius?"
Janu mengangguk tanpa menoleh sedikitpun.
"S-serius mau turunin a-aku di jal—"
"Gue haus," potong pemuda itu segera yang setelah adalah menolehkan kepala hingga wajah datarnya terpampang jelas ketika maju mencopot sabuk pengaman di badan Mira.
"Bentar." Mira menahan lengan Janu saat pemuda itu hendak membuka pintu mobil untuk keluar. "Maksud kamu, aku disuruh turun karena kamu haus mau mampir beli minum?"
"Menurut lo?"
"Harus banget nih, aku ikut turun?"
"Terserah."
Mira mendesis lantas membiarkan saja Janu keluar lebih dulu. Melihat dari kaca mobil bagaimana teriknya mata hari bersinar hari ini, ia dibuat malas untuk ikut beranjak keluar juga.
Oleh sebab itu, Mira lebih memilih berdiam diri di dalam mobil dengan kepala yang tanpa aba-aba mengingat sekelebat kejadian satu minggu lalu. Tepatnya kejadian saat kedatangan Janu ketika ia bertandang di basecamp.
Tidak ada kejadian 'wah' setelahnya—selain, Janu yang kemudian mengantarnya pulang. Mungkin, selain kesal karena waktunya bersama Jean terganggu, pemuda itu juga marah dengan Mira lantaran ia yang tidak izin terlebih dahulu saat datang ke basecamp.
Biar bagaimanapun, minggu lalu adalah kali pertama ia datang sendiri ke sana. Well, Mira pernah datang beberapa kali dengan Janu namun tidak sampai ikut masuk ke dalam.
Tetapi, bukan itu poin penting dari kejadian minggu lalu melainkan, sebuah kata yang sempat Rendi bisikan waktu itu.
'Segalanya.'
Demi apapun. Rasa perih itu ada, namun bodohnya Mira malah memilih bertingkah bak ia betul-betul tidak paham dengan makna kata tersebut. Padahal fakta yang ada, jelas tidak seperti itu.
Mira menghela nafas. Menegakkan kepalanya yang awalnya tertunduk dan menatap lurus ke depan.
Mengerjapkan kedua matanya beberapa kali. Terlalu banyak melamun sepertinya membuat Mira berdelusi melihat sosok Jean Anindita di depan sana. Namun ternyata, sosok tersebut bahkan begitu nyata—bahkan, ketika ia mencoba mengusap kedua mata untuk memastikannya.
Entah bagaimana mulanya, tahu-tahu Mira sudah turun dari mobil dan berlari pada sosok yang tadi ia pikir tak nyata. Menjongkokkan tubuh lantas, kedua tangannya spontan terulur dan tergerak membantu memunguti barang-barang Jean yang jatuh tercecer.
"Terimakasih." Jean berkata sambil mengulas senyum ramah dan menoleh sekilas.
"Iya, sama-sama."
Begitu keduanya sama-sama akan berdiri, bandul kalung Mira yang notabene-nya adalah cincin tunangannya dengan Janu ternyata tersangkut di gelang rantai milik Jean.
"Biar gue bantu lepasin," kata Jean tanpa menunggu jawaban Mira. Gadis itu menggunakan sebelah tangannya yang lain untuk melepaskan sangkutan tersebut dan, berhasil.
Yang tidak Mira mengerti disini adalah ketika Jean justru menahan bandul tersebut, menatap lamat-lamat cincin perak polos yang bagian dalamnya terukir nama Janu Dwi Maharga. Lalu, detik berikutnya gadis itu mendongak. Raut keramahan yang sebelumnya tercipta kini hilang tanpa jejak berganti menjadi raut dingin yang begitu tak bersahabat.
"Lo, Mira—tunangannya Janu?"
***

Comentário do Livro (26)

  • avatar
    LukycoyyyLuki

    Bagus

    26/06

      0
  • avatar
    ApriyantoGilangg

    keren nivelnya

    20/06

      0
  • avatar
    WahidIbnu

    baguss

    14/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes