logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 5 Five

Jean Anindita;
Gadis itu, bukan sosok si jelita yang punya popularitas di sekolah. Well, parasnya memang cantik namun bukan apa-apa jika dibandingkan dengan teman sekelas sepupunya—Lio, yang konon katanya punya paras bak boneka barbie.
Gadis itu juga bukan pula sosok si jenius, yang keberadaannya akan selalu diendus oleh setiap guru sebagai topik perbincangan. Nilai akademiknya biasa-biasa saja, namun tidak lantas cocok apabila dicap bodoh.
Jean hanyalah Jean. Si biasa tetapi tampak luar biasa jika sudah berinteraksi dengan seorang Janu Dwi Maharga.
Entah siapa Jean sebenarnya dan bagaimana caranya, keberadaan gadis itu yang mulanya hanya bak seperti kerikil di jalan, mampu mengubah sikap Janu yang sedingin dan sepekat malam menjadi sehangat dan secerah pagi.
Mira tahu. Ia bahkan sudah menyaksikannya dengan jelas lewat kedua mata kepalanya sendiri.
Bagaimana Janu bersikap lembut untuk Jean.
Bagaimana Janu tersenyum lebar untuk Jean.
Dan, bagaimana lewat sorot mata Janu, Jean berbeda untuk pemuda itu.
Ini menyakitkan. Melihat keberadaan Jean tadi saat di taman bersama Janu setelah terakhir kali Mira melihat gadis itu satu tahun yang lalu di sekolah hari itu—ia rasa, statusnya sebagai tunangan Janu kian tak ada artinya.
Ini menyedihkan. Disaat Mira ingin berjuang lebih keras untuk Janu—lagi-lagi, belum sempat melakukan usaha apapun, ia sudah lebih dulu menyadari bila dirinya ... kalah.
***
Seharusnya Mira tahu jikalau pilihan datang ke sini---sebuah basecamp yang biasanya digunakan sebagai tempat ngumpul Janu dan 5 temannya—bukanlah pilihan yang tepat.
Persetan dengan hal tersebut! Mira benar-benar tidak peduli, pun saat beberapa pasang mata yang menatapnya penuh tanya ketika ia membuka pintu basecamp tersebut dengan kencang.
"Lha, Mira?!" Kaget Haikal. "Kesasar apa gimana, nih?" Pemuda yang tadinya asik menggaruk-garuk pantat tersebut lantas mendekat, menatap Mira dari ujung kepala sampai ujung kaki. Begitu terus hingga tiga kali.
Barangkali Haikal merasa heran dengan penampilan Mira yang banjir keringat atau kehadirannya yang tanpa Janu di sampingnya. Mungkin saja.
Mira tidak menjawab. Yang ia lakukan justru memindai kondisi ruangan yang ternyata begitu berantakan dengan kulit kacang tersebar dimana-mana, sampah bungkus snack dan kaleng soda tertumpuk di meja, barang-barang yang ada pun tumpang tindih tersimpan asal.
Di pojok ruangan, Mira mendapati Adinata dan Rendi yang sedang bergotong-royong beberes. Kedua pemuda itu sama-sama mengulas senyum tipis ke arahnya, meskipun ia tidak menampik jika ada secercah tanda tanya di sepasang netra keduanya.
Mira diam. Ia masih tetap menutup rapat mulutnya bahkan ketika melihat Ale dan Aji yang tertidur saling berpelukan di karpet dengan posisi yang begitu ... ambigu—yang jika dalam keadaan normal, pasti akan membuatnya berteriak histeris.
Tidak ada yang aneh dengan pemandangan tersebut kecuali ketiadaan sosok yang tengah Mira cari.
"Janu nggak ada, Mir." Suara Rendi menyadarkan lamunan yang entah kapan Mira mulai. Netranya bergerak menatap pemuda berkaos putih tersebut lalu ia menyibir dalam hati.
Ah, Janu. Rupanya melihat keberadaan pemuda itu di taman tadi, bukan sekedar ilusi semata.
"Janu sudah lumayan pergi lama, kemungkinan dia akan pulang dalam waktu dekat. " Adinata berkata sembari tersenyum. "Kalau kamu mau, kamu bisa menunggu," lanjut si prince charming tersebut—tanpa menanggalkan sesuatu yang terulas manis di bibirnya.
Haikal yang ikut mendengar perkataan Adinata lantas segera mendekat dan menyenggol siku pemuda itu kemudian sembari melempar tatapan.
Ada raut protes yang tergambar di wajah Haikal namun tidak melakukan apapun begitu mendapati Adinata hanya tersenyum yang setelahnya adalah pemuda itu kembali mengerjakan apa yang tengah dikerjakan.
"Lo bisa duduk dulu, Mir." Rendi berjalan mendekat sambil mengulurkan kaleng soda untuk Mira. "Biar gue telpon Janu, biar dia cepet ke sini."
"Nggak usah, Ren."
Mira menggeleng bersamaan dengan sebelah tangannya menahan tangan Rendi yang hendak mengambil ponsel di kantung celana. Membuat pemuda itu menggernyit dan menatapnya beberapa saat.
"Oke," ucap Rendi pada akhirnya.
Mira pikir, Rendi akan membiarkannya sendiri tetapi pemuda itu malah kembali membalikan badan dan mengucapkan sederet kata yang membuat sesuatu yang mati-matian ia tahan, goyah.
"Ungkapkan semuanya, Mira. Selagi Tuhan masih bermurah hati ngasih lo kesempatan."
Tertegun. Mira menatap tepat sorot tenang Rendi, dan berujar lirih, "Rendi ..."
"Ya?"
Mira menggigit bibir bawa, tatapannya gelisah.
"Ada yang mau lo tanyain?"
"Y-ya."
Pemuda itu melempar senyum penuh arti. "Gue tebak ... ini pasti tentang Jean, kan?" Ada nada serupa bisikan ketika menyebut nama gadis yang membuat degup jantung Mira berdetak cepat.
Sempat menelan ludah susah payah akhirnya Mira mengangguk, meski perlahan. Ia tidak harus merasa heran menghadapi tingkat kepekaan super yang dimiliki sahabat tunangannya yang satu ini.
"Ah. Nggak nyangka gue, lo bakal tau kepulangan Jean secepat ini. Lebih cepat dari perkiraan gue." Rendi menggeleng, bak kagum dengan fakta yang ada. "Jadi, apa yang mau lo tanyain?"
"Jean." Mira mengepalkan kedua tangan, mencoba menguatkan diri. "Sebenarnya ... dia siapa? Siapanya Janu?"
Renjun terkekeh. "Sudah gue duga ..." pemuda itu menggantungkan kalimatnya, mengulur waktu, menambah resah dan menyiksa Mira dalam kubangan keingintahuan.
"Siapa Jean?" Ulang Mira tak sabaran.
"..."
"Siapa Jean, Rendi? Siapa?" Tuntut Mira. "Orang yang Janu ... s-sayangi? Atau ci-cintai, k-kah?" Kini ia bahkan tidak bisa menghindari bagaimana suaranya yang mulai terdapat gemetar.
Rendi tampak tidak berniat menjawab, tidak sebelum pintu basecamp terjeblak tiba-tiba dan berdiri sosok Janu dengan raut wajah begitu dingin.
"Anjirun sekali! Nggak yang betina, nggak yang jantan, kok pada sama-sama punya hobi buka pintu sembarang! Tanpa salam pula?! Haish, emang dah cocok bet lu pada tunangan!" Cerocos Haikal. Tidak peduli karenanya, Ale dan Aji sampai terbangun.
Bersamaan dengan langkah Janu yang berderap mendekat, Rendi terlihat sempat menggeleng yang setelahnya adalah menarik Mira—memposisikan telinga gadis itu tepat di dekat bibir lalu berbisik pelan;
"Segalanya."
Dan, Mira tidak memerlukan banyak alasan sebab satu kata yang ia dengar tersebut sudah lebih dari mampu membuat hatinya serasa hancur berkeping-keping.
Mira menatap Rendi yang sempat tersenyum setelah menjauhkan diri. Ia masih berdiri kaku ditempat, pasrah saja ketika Janu memposisikan diri berdiri di tengah-tengah.
"Lho, Nu?!" Seru Rendi tapi ia tidak terlihat seperti orang yang kaget. "Kok ada disini? Bukannya tadi lo pamit nggak bisa ikut nongkrong karena harus nemenin ..." Pemuda itu kemudian berhenti berbicara, entah karena apa. Sebab, Mira tidak bisa melihat karena pandangannya terhalang oleh punggung tegap Janu yang menjulang dekat dan tepat di hadapannya.
Sempat terjadi keheningan sebelum suara tenang tetapi hangat milik Adinata menimpali.
"Saya yang mengirim pesan pada Janu untuk kemari karena Mira datang mencari."
"Terus? Gimana sama Jean?" Tanya Rendi.
"Ren," tegur Aji khawatir yang merasa suasana bertambah tegang. Sementara Ale yang berada di sampingnya justru terlihat menikmati dengan mulut penuh camilan bersama Haikal.
Meski kalau boleh jujur, keduanya sama khawatirnya dengan Aji. Bukan hanya Ale dan Haikal yang tahu tetapi mereka semua paling tahu bagaimana marah yang sebenarnya makhluk bernama Janu Dwi Maharga.
Rendi tak bergeming, jusru kembali lanjut bertanya, "Lo tinggal gitu aja?"
"Berisik."
Rendi membiarkan ketika Adinata meng-kode agar ia berhenti.
Baiklah.
Setelahnya, Janu yang tadi membelakangi itu berbalik. Sepenuhnya menghadap Mira.
"Janu—"
"Kenapa ke sini?" Potong Janu. Nada suaranya tetap dingin tetapi ada amarah yang bisa Mira rasakan.
Jemari Mira tertaut saling meremas. Kepalanya menunduk takut, "A-aku—"
"Nggak bilang."
Mira mendongak.
"Merepotkan."
Sepertinya Mira tidak salah mendengar jika Janu seperti tidak terima.
Seperti katanya, Mira merepotkan. Bahkan menjadi sangat merepotkan ketika Janu harus datang menghampiri padahal seperti yang ia lihat sebelumnya. Pemuda itu sedang bersama Jean.
Kelihatannya meninggalkan Jean rupanya memang menjadi perkara yang mengesalkan untuk Janu, dan hati Mira terasa panas saat bukan lagi kemungkinan. Bisa saja pemikiran tersebut benar adanya.
"Aku cuma mau main. Kamu nggak harus sampai samperin aku kesini, kalo ternyata terpaksa. Aku bisa pulang sendiri, selamat sampai rumah—"
Nyatanya, bisa berbicara sepanjang itu dikala Janu menatapnya begitu tajam hanya ada dalam mimpi yang berharap Mira semogakan.
"Pulang."
Mira tidak memiliki keberanian secuil pun, ia menurut tanpa membantah. Mengekor di belakang Janu yang berjalan lebih dulu.
Tidak peduli Mira tertinggal jauh.
***

Comentário do Livro (26)

  • avatar
    LukycoyyyLuki

    Bagus

    26/06

      0
  • avatar
    ApriyantoGilangg

    keren nivelnya

    20/06

      0
  • avatar
    WahidIbnu

    baguss

    14/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes