logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 2 Two

Mendapati Janu berada dalam satu meja makan dengan orangtuanya dipagi ini ketika Mira beranjak menuruni anak tangga selepas bersiap-siap—adalah sesuatu hal yang membuat gadis itu merasa senang sekaligus ngeri secara bersamaan.
Senang karena pemandangan seperti ini jelas sungguh langka dan bisa dihitung jari sebab Janu memang jarang mau melakukannya.
Dan ngeri, Mira bisa membayangkan bagaimana dirinya hanya akan berakhir satu mobil bersama Janu serta terpaksa mengunci mulutnya rapat-rapat disepanjang perjalanan—mengingat pemuda itu paling anti dengan yang namanya berisik. Padahal, diam bukanlah sesuatu hal yang disukainya.
Bukannya Mira sedang ge'er, namun mendapati Janu di sini jelas pasti sepertinya ingin mengajaknya berangkat sekolah bersama—seperti apa yang pernah terjadi beberapa kali sebelumnya.
Bohong jika Mira mengatakan kalau ia tidak senang dijemput oleh tunangannya, ia senang. Senang sekali. Namun rasa ngeri sepertinya ... lebih mendominasi.
Selama sarapan berlangsung, Ayahnya beberapa kali melempar pertanyaan pada Janu—yang tentu selalu dijawab dengan singkat, padat, jelas dan lugas. Sesekali Ibunya juga ikut serta menimpali. Sisanya, Mira hanya mendapat bagian menggeleng ataupun mengangguk.
Begitu semuanya selesai hingga kini Mira telah memasuki mobil yang sungguh, menguar wangi parfum sang pemiliknya. Ketika dihirup, rasanya ... seperti kamu sedang tidur terlentang seorang diri dengan pemandangan di sekelilingmu pohon pinus yang berjejer, membentang luas. Begitu menenangkan.
Hampir saja Mira terlena terlalu jauh jika saja, tatapan tajam yang teramat begitu menusuk dan mempesona disaat yang sama milik sosok di kursi kemudi yang berada di sampingnya—berhasil mengembalikan kesadarannya yang sempat terbang entah kemana.
Gelagapan, Mira segera meraih sabuk pengamannya lalu mencoba berulangkali memakaikannya namun tak kunjung bisa. Demi apapun, terlalu salah tingkah membuat gadis itu blank, melupakan satu fakta penting kalau sedari dulu ... ia memang tidak bisa memakai benda pelindung tersebut.
Mendapati seorang Miracle Ajidarma dengan dahi mengerut, juga kedua mata yang mengerjap serius terbingkai di wajah baby face-nya tentu adalah sesuatu pemandangan yang tidak boleh dilewatkan.
Namun hal diatas sepertinya tidak berlaku untuk Janu. Alih-alih terpesona dengan kegemasan yang terpampang nyata didekatnya, kata singkat yang keluar dari mulut pemuda rupawan tersebut mungkin, sudah cukup mewakili apa yang tengah dirasakannya.
"Merepotkan."
***
"Eh, ada Neng Mira. Hai~"
Pemuda berkulit tan itu menggerling jail sementara sosok disampingnya, pemuda yang katanya dijuluki prince charming sekolah tersebut hanya mengulas senyum yang demi apapun ... harus Mira akui, terlihat begitu manis dan menawan.
Berdeham, gadis itu balik menatap kedua pemuda di depannya. "Oh, H-hai," sapanya kikuk. Masih tidak menyangka ia akan dipertemukan dengan dua sahabat dari tunangannya di Ćafe langganannya.
Mira mengenal mereka tetapi untuk balik menyapa dengan nada yang sama ramahnya tentu tidak mungkin karena hubungan antara ia dengan sahabat-sahabat Janu tidak sedekat itu. Itulah mengapa kini kecanggungan dalam dirinya tercipta.
Mira tahu, ada kalanya di situasi semacam ini—ia harus meladeni betapa buruk kemampuannya ketika berinteraksi dengan orang yang tidak akrab dengannya hingga membuat ia selalu berakhir terlihat seperti orang pendiam. Padahal sungguh, kata 'pendiam' sebenarnya sangat-sangat tidak cocok di sematkan di dirinya.
Bingung hendak mengatakan apa, gadis yang hari ini menggerai rambutnya tersebut memilih menawarkan kedua pemuda itu untuk duduk satu meja dengannya yang ternyata, segera diterima dengan sukacita oleh si kulit tan yang tadi menyapanya ramah, Haikal namanya—dengan menarik sahabatnya ikut serta bergabung. Sementara sosok pemilik bulu mata panjang yang bisa membikin kaum hawa manapun meraung iri saat melihatnya itu, hanya pasrah namun tidak sedikitpun membuat pemuda bernama Adinata tersebut melunturkan senyum manisnya.
"Sendirian aja." Entah ini murni pertanyaan ataukah hanya ledekan semata. Sebab seingat Mira, ini bukan kali pertama Haikal melihatnya seorang diri seperti ini. Meringis kecil, itu respon yang ia berikan tetapi di detik berikutnya ia juga dibuat melotot ketika pesanannya—yang mana merupakan makanan favoritnya—dimakan tanpa izin.
"Bjirrr, ini bolu enak banget, jingan!" Pekik Haikal tidak tahu diri.
Adinata meringis. Seolah lewat ringisannya tersebut, pemuda itu tengah memohon kepada Mira agar ia mau memaklumi kelakuan Haikal.
"Mantul nih bolu, manisnya pas." Dengan mulut penuh bolu, Haikal menggerling sejenak ke arah Mira, "Kaya Neng Mira. Ehehe."
"Sadar. Tunangan orang, Kal, jangan kamu modusin." Kalimat Adinata yang serupa bisikan itu masih bisa Mira dengar dengan baik.
Entah apa maksudnya, mungkin pemuda itu hanya tidak ingin orang-orang di sekitar—yang bisa saja berasal dari sekolah yang sama dengan mereka—mendengar dan mengetahui mengenai status hubungan pertunangan Mira dan Janu yang sebenarnya tidak banyak orang yang tahu.
Haikal menelan bolunya paksa. Pemuda itu melempar pandangan sengit. "Sans elah. Lagian apa enaknya sih, temen makan temen?" Tanyanya sebentar yang sesudahnya kembali mencomot habis bolu milik Mira. "Mending makan bolu~~"
Astaga.
Kalau saja Haikal bukan sahabat Janu, sungguh, Mira benar-benar tidak segan meminta pemuda itu untuk memuntahkan kembali bolu miliknya yang bisa saja sekarang sudah berada di perut—bagaimanapun caranya.
Mira tidak rela, tidak ikhlas!
"UHUKKK!"
Baik Mira maupun Adinata sama-sama menoleh sepenuhnya pada Haikal yang tiba-tiba tersedak.
Meski rasa gondok masih menyelimuti hati, namun itu tak membuat Mira kehilangan rasa perikemanusiaaanya. Sebelum Adinata melakukan apapun, ia sudah lebih dulu inisiatif menyerahkan minuman yang sama sekali belum sempat disentuhnya pada Haikal—yang segera diterima dan diteguk habis oleh pemuda itu.
Haikal menatap Mira penuh selidik. "Ngaku lu, Mir. Lu nawarin gue bolu nggak ikhlas, ya?!"
Mata Mira membulat tak terima, tanpa ia sadari. Siapa yang nawarin??? Batinnya protes.
"Tapi bodo amatlah. Udah masuk perut juga," sambung Haikal.
Menggeleng kepalanya beberapa kali Adinata menyeletuk, "Saya sungguh malu punya sahabat seperti kamu, Kal."
Haikal hanya nyengir ketika mendengarnya sebelum pemuda yang kini mengenakan kaos polos berwarna merah tersebut tengah mengambil sesuatu dari saku celana jeans-nya yang setelahnya adalah menyerahkannya pada Mira. Sebuah undangan pesta ulangtahun. "Lusa, adek gue ulang tahun. Lo dateng deh, mana tau si kanebo kering tunangan lo itu berubah pikiran mau dateng juga kalo lo dateng."
Menerima undangan tersebut, Mira memandanginya. Tidak tahukah Haikal, kalau ia tidak sepenting itu hingga membuat seorang Janu Dwi Maharga berubah pikiran karenanya. Gadis itu mengulas senyum miris. Hanya sesaat, kedua pemuda di hadapannya bahkan tidak sampai menyadarinya.
"Bunda gue juga niatnya mau bikin bolu yang banyak. Kalo lo beneran dateng, lo bisa makan sepuasnya di sana. Ya, itung-itung gue kembaliin bolu lo yang tadi gue makanlah." Mulanya Mira merasa tidak tertarik tetapi saat ia mendengar penuturan Haikal barusan ... ia menjadi sedikit tertarik. "Gimana?"
Kedua matanya berbinar. Mira yang tadinya sudah siap memberi anggukkan setuju justru malah memekik kaget ketika sebelah tangannya tiba-tiba ditarik paksa sampai ia dibuat berdiri dari duduknya.
"Pulang."
Mendongak, matanya agak melebar tak menyangka begitu Mira tahu siapa gerangan itu.
"Janu, aku—" Mira bahkan tidak bisa menyelesaikan apa yang ingin ia ucapkan saat mendapati Janu mengabaikannya dan tetap menarik tangannya kasar, seolah tak sabaran ingin membawanya pergi dari tempat ini sekarang juga.
"Eits, mau kemana lo jalangkung!" Namun rupanya, Haikal yang tadinya masih duduk segera beranjak dan menutupi akses jalan Janu. "Datang tak diantar, pulang tak diundang!"
Janu tidak sedikitpun membuka mulutnya. Yang tidak Mira mengerti disini ialah ketika pemuda dengan raut datar tanpa ekspresi tersebut justru memandangi Adinata. Sementara yang sedang di pandangi itu tidak mengatakan apapun, hanya tersenyum manis seperti biasa tetapi dengan kedua tangan yang menarik tubuh Haikal menjauh.
Janu membawa Mira ke tempat parkiran mobil. "Masuk," kata pemuda itu datar seraya membukakan pintu mobil dan mendorong tubuhnya masuk sampai terduduk di kursi yang berada di samping.
Lalu setelahnya, Janu ikut masuk ke kursi kemudi. Sebelum menyalakan mobil, pemuda itu menyempatkan diri memakaikan sabuk pengaman Mira. Tak bisa dipungkiri, tindakan tersebut jelas menimbulkan senyum tertahan di bibir sang gadis bersurai lurus itu.
Tersenyum manis, Mira menatap Janu yang tatapannya fokus pada jalanan di depan sana. "Janu, tadi Haikal nawari aku buat dateng ke acara ultah adeknya. Kebetulan aku juga pengin dat—" ia menghentikan ucapannya saat mendapati tangan Janu yang mencekeram stir mobil dengan kuat.
Alasan mengapa hingga saat ini Mira tidak pernah berusaha mendekatkan diri dengan sahabat-sahabat Janu adalah ini, pemuda itu selalu tidak pernah terlihat senang apabila ia mencoba mendekat dan ikut berteman juga dengan mereka.
Meneguk kasar salivanya, Mira mengalihkan pandangan kearah lain. Tak ingin terlihat jelas bahwa senyum yang tadinya terulas lebar kini telah hilang tanpa jejak. "Ehm. Kayaknya aku lupa sama apa yang mau aku omongin. Lupain aja, nggak penting juga."
***

Comentário do Livro (26)

  • avatar
    LukycoyyyLuki

    Bagus

    26/06

      0
  • avatar
    ApriyantoGilangg

    keren nivelnya

    20/06

      0
  • avatar
    WahidIbnu

    baguss

    14/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes