logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 6

"Ngapain kamu di kamarku?" seru Kasih saat dilihatnya Raja tengah membuka-buka lemari miliknya.
Raja yang tertangkap basah terkejut, raut mukanya seperti salah tingkah. Namun, itu hanya sebentar karena sesaat kemudian ekspresinya kembali terlihat angkuh. Ditutupnya kembali lemari Kasih dengan hentakan yang cukup keras.
Dasar nggak sopan, batin Kasih jengkel.
"Mau pinjem charger," jawab Raja cuek, sorot matanya sama sekali tidak menampakan rasa bersalah.
Kasih mengamati ponsel yang dipegang Raja. Merk ponsel mereka jelas tidak sama, dan lagi charger ponsel miliknya ada di nakas samping ranjang. Kenapa Raja malah membuka-buka lemari miliknya?
"Nggak usah alesan, kamu nyariin apa di lemariku?" ketus Kasih, menatap Raja dengan tajam.
"Kan aku bilang mau pinjem charger," sengit Raja dengan pongahnya.
"Kamu nggak liat chargerku disitu? Kenapa harus buka lemari?" balas Kasih tak kalah sengit sambil menunjuk letak di mana cahagernya berada.
Raja melirik pada charger itu sekilas, lalu tersenyum miring. Wajahnya terlihat semakin sombong.
"Cih, udah nggak minat. Ponsel Mbak ternyata cuma ponsel murah. Percuma dong kerja di kota, tapi ponsel bagus aja nggak kebeli," cibir Raja.
"Liat nih, aku aja yang baru lulus sekolah punya ponsel mahal merk apel separo. Dasar nggak guna," ujarnya lagi seraya mengibas-kibaskan ponsel miliknya di depan Kasih dengan sombongnya.
Kasih semakin menatap tajam Raja. Gadis itu benar-benar emosi. Ingin rasanya memukul wajah angkuh adiknya itu dengan balok kayu, agar otaknya yang tidak beres itu bisa sedikit waras.
"Walaupun murah aku beli pake uangku sendiri. Nggak kaya kamu yang selalu ngemis sama orang tua," cibir Kasih pedas.
Ia tidak peduli jika Raja marah dan tersinggung. Toh, memang kenyataanya seperti itu. Orang tuanya sampai hidup susah demi untuk memenuhi semua keinginanya.
"Orang tua memenuhi permintaan anak itu wajar. Bilang aja Mbak iri sama aku!" balas Raja, mendelik tak terima dengan ucapan kakaknya.
"Iya, tapi permintaan kamu yang nggak wajar. Masa setiap bulan kamu minta ganti ponsel. Motor pun begitu, setiap ada yang terbaru kamu pasti minta ganti. Apa itu yang dianggap wajar? Bukan, itu namanya kolokan!" sungut Kasih.
"Halah, Mbak, kalo iri bilang aja. Lagian Bapak sama ibu mampu, kok. Mereka juga nggak marah, kenapa malah kamu yang sewot?" ucap Raja cuek, tampangnya benar-benar membuat kesal orang yang melihatnya.
"Buat apa iri, bukan gayaku ngerepotin orang tua. Apa lagi cuma jadi benalu sampe ngabisin harta keluraga," sindir Kasih dengan pedas.
"Kamu nyindir aku, Mbak?"
Raja menatap tajam Kasih, tanganya terlihat mengepal karena menahan marah.
"Baguslah kalo kamu merasa," jawab Kasih santai.
Raja semakin mendelik kesal. Wajah angkuhnya kini sudah berwarna merah padam.
"Awas, aku aduin kamu sama ibu!" ancam Raja sambil mendorong Kasih yang sejak tadi berdiri di pintu kamar dan berlalu pergi.
"Aduin aja sana, dasar manja!" seru Kasih, masuk ke kamar lalu mengunci pintunya.
Setelah itu ia langsung menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Rasa lelahnya setelah pulang kerja semakin menjadi-jadi karena emosi menghadapi Raja. Ya, dua minggu di kampung Kasih sudah kembali mendapat pekerjaan.
Bapaknya lah yang membantunya mencari pekerjaan sebagai kasir toserba milik kenalanya. Pak Darmo tidak tega melihat Kasih yang selalu dimarahi ibunya saat di rumah.
Toserba tersebut letaknya tidak terlalu jauh dari rumah mereka, hanya perlu naik angkot satu kali saja.
Meskipun di rumahnya tersedia satu mobil dan dua motor, Kasih memilih untuk pulang pergi kerja dengan angkot. Karena ibunya pasti akan marah jika Kasih nekat menggunakan salah satu kendaraan tersebut.
Bu Welas selalu beralasan jika mobil keluarga yang baru saja diganti dengan yang lebih baru itu, hanya boleh digunakan untuk belanja barang-barang kebutuhan toko. Namun, jika Raja yang memakainya Bu Welas dengan senang hati akan mengizinkanya.
Kasih tidak terlalu ambil pusing dengan larangan ibunya untuk memakai kendaraan tersebut. Lagi pula Kasih memang tidak bisa menyetir mobil, tapi ia bisa mengendarai motor. Dan saat Pak Darno menyuruhnya untuk memakai motor, kembali Bu Welas dengan ketus melarang karena kedua motor tersebut milik Raja.
Padahal Raja hanya menggunakan motornya yang besar, motor khas laki-laki. Jadi, motor bebeknya dibiarkan menganggur karen jarang terpakai. Namun, tetap saja Bu Welas tidak mau merelakanya untuk dipakai Kasih.
Pak Darno yang malas berdebat, akhirnya hanya bisa mengalah saat itu. Meskipun begitu, ia tetap membantu Kasih dengan cara memberinya uang saku untuk naik angkutan umum secara diam-diam setiap hari.
Sebenarnya Kasih ingin menolak, karena ia sendiri masih punya tabungan hasil lemburan yang diperolehnya saat kerja di kota. Ia sudah cukup bersyukur bapaknya bersedia membantu mencari kerja.
Walaupun pekerjaanya sekarang hanya bergaji separuh dari gajinya di pabrik, tapi setidaknya ia bisa menghindar dari sindiran dan makian pedas yang dilontarkan ibunya setiap Kasih di rumah.
Meskipun gajinya kecil, tapi pemiliknya sangat baik pada Kasih dan karyawan lainya. Selain mendapat jatah makan, karyawan juga menerima uang lembur jika bekerja diluar jam operasional toko yang hanya dua belas jam, dari pukul delapan pagi hingga pukul delapan malam.
Sebelumnya toko biasa tutup pukul sepuluh malam, tapi karena ada pandemi serta pembatasan kegiatan masyarakat, toko jadi tutup lebih awal.
Toserba tempat Kasih bekerja lumayan besar, dan cukup ramai pembeli. Apa lagi, di kampungnya ini belum ada mini market waralaba seperti indo-april dan yang lainya. Sehingga walaupun keadaan pandemi, masih banyak pelanggan yang datang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Karena jarak kampung ke kota cukup jauh, warga di kampung Kasih lebih memilih belanja di toserba tersebut agar lebih hemat ongkos dan tenaga.
Brak, brak, brak.
Suara gedoran pintu membangunkan Kasih yang sempat terlelap sebentar. Karena lelah, ia bahkan belum sempat mengganti pakaian kerjanya dengan baju tidur.
Brak, brak, brak.
Kasih bangkit dengan malas lalu berjalan dengan gontai ke arah pintu. Begitu pintu terbuka, suara tinggi melengking Bu Welas seketika menyapanya.
"Heh, anak nggak tahu diri. Berani kamu marah-marahin Raja!" sentak Bu Welas dengan tatapan nyalang.
Kasih melirik malas Raja yang berdiri dibelakang ibunya dengan senyum kemenangan.
"Dia yang nggak sopan, masuk kamarku tanpa izin. Udah gitu pake buka-buka lemari segala," ucap Kasih santai.
Ia tidak mau terbawa emosi, karena hanya akan membuatnya jengkel dan lelah sendiri. Lagi pula, menghadapi orang seperti Raja dan ibunya yang selalu merasa benar memang harus dengan kepala dingin dan sikap cuek, biar saja mereka yang emosi sendiri.
"Kamarmu ini bagian dari rumahku dan rumah ini suatu saat akan menjadi milik Raja. Suka-suka dia kalo mau masuk kamarmu," ucap Bu welas sambil berkacak pinggang.
Sesekali jari telunjuknya digunakan untuk mendorong berkali-kali kepala putrinya. Kasih mundur satu langkah untuk menghindari jangkauan tangan ibunya.
"Kamu itu di sini cuma numpang, tahu diri sedikitlah. Masih mending ibu izinin kamu tinggal gratis di sini, bisa makan tidur gratis. Jadi nggak usah kebanyakan tingkah," cerocos Bu Welas, meski Kasih sudah menjauh telunjuknya masih tetap menunjuk-nunjuk wajah Kasih.
"Aku anggota keluarga ini juga, Bu. Aku juga berhak atas rumah ini," bantah Kasih tegas.
Gadis itu masih berusaha santai, meski dalam hatinya tergores luka akibat ucapan ibunya.
"Atas dasar apa kamu mengaku punya hak di rumah ini, hah?" sentak Bu Welas dengan nada tinggi.
"Karena aku anak kandung Ibu dan Bapak. Anak perempuan itu menjadi tanggung jawab orang tuanya sampai dia menikah, Bu. Jadi, emang udah kewajiban Ibu sama Bapak buat nafkahin aku."
"Ibu nggak peduli. Kalo bukan karena Bapakmu yang melarang ibu, udah aku usir kamu dari kemarin. Anak nggak guna, bisanya cuma nambah beban!" bentak Bu Welas geram.
Raja semakin kegirangan melihat Kasih dimaki-maki oleh ibunya. Senyum jumawanya tak pernah hilang dari bibir.
"Makanya, Mbak, kalo numpang itu tahu diri. Pake ngatain aku benalu, sendirinya aja parasit," cibir Raja dengan congkaknya.
Kasih menghirup udara banyak-banyak, berusaha menahan emosi sejatinya sudah sangat ingin ia keluarkan. Ia baru akan membuka mulutnya lagi, ketika tiba-tiba Pak Darno menghampiri mereka.
"Ada apa ini?"
Mereka menoleh bersamaan saat Pak Darno datang. Bu Welas yang melihat kedatangan suaminya, segera mendekati untuk mengadukan perbuatan Kasih.
"Ini, Pak, anak kurang ajar yang selalu bapak bela itu udah berani memaki dan menghina Raja," adu Bu Welas geram.
Wanita itu sangat berharap kali ini sang suami bisa terbuka mata hatinya, hingga berhenti membela Kasih.
"Ibu mau dia pergi dari rumah, Pak. Capek ibu tiap hari emosi liat dia, bisanya cuma bikin masalah," ujar Bu Welas sengit.
"Bener, Pak. Dulu waktu dia nggak ada, rumah rasanya damai. Gara-gara dia sekarang rumah jadi nggak nyaman lagi, tiap hari bikin ibu marah. Kalo darah tinggi ibu kumat gimana?" timpal Raja.
Bu Welas menganggukan kepalanya dengan semangat. Terlihat ia sangat bangga karena putra kesayangan telah membela dirinya. Pak Darno menatap Kasih yang hanya diam dan menunduk, lalu menghela nafasnya dengan berat.
"Udahlah, ini udah malam. Jangan ribut terus, malu sama tetangga," ucap Pak Darno berusaha menengahi.
"Bukan kita yang bikin ribut, Pak, tapi anak ini. Dia dengan nggak tau malunya mengatai Raja benalu, padahal benalu sebenarnya 'kan dia. Dia yang numpang di sini!" sentak Bu Welas.
Wanita itu memelototi pada Kasih dengan wajah murka. Ia tidak terima karena suaminya masih saja membela Kasih.
"Cukup, Bu!" bentak Pak Darno dengan suara keras, bahkan sampai menggema di seluruh ruangan.
Bu Welas tersentak dan terdiam. Raja menatap Pak Darno dengan sorot tak percaya. Raut wajahnya seperti tidak terima ibunya dibentak.
"Kenapa Bapak bentak Ibu? Bukan Ibu yang salah, tapi perempuan itu yang nggak tahu malu!" ucap Raja sambil menunjuk Kasih yang masih diam menyimak.
"Diam kamu Raja!" bentak Pak Darno lagi seraya menatap murka putra bungsunya.
Raja yang melihat Pak Darno murka, seketika diam dan menunduk. Kasih sebenarnya tidak ingin keluarganya ribut terus, tapi ia sudah tidak tahan lagi. Sudah cukup selama ini dia diam dan mengalah. Ia tidak akan membiarkan dirinya terus dimaki dan dihina. Karena itulah dia tidak berusaha membujuk Pak Darno untuk berhenti memarahi mereka, biar saja. Biar tahu rasa!
"Pak, jangan bentak-bentak anak kita. Yang dikatakan Raja benar, memang anak sial itu yang nggak tau diri!" tuding Bu Welas pada Kasih.
"Apa yang membuat ibu berpikir begitu?" tanya Pak Darno seraya mengatur nafasnya yang memburu karena emosi.
"Dia yang numpang di sini, tapi malah ngatain Raja benalu cuma karena Raja masuk kamarnya tanpa izin. 'Kan itu nggak tahu diri, Pak. Padahal rumah ini juga 'kan bakal kita wariskan buat Raja, jadi suka-suka dia lah kalo mau masuk kamar mana," cerocos Bu Welas panjang lebar.
Wajahnya sudah terlihat merah padam karena emosi. Matanya tak berhenti menatap Kasih dengan pandangan mengintimidasi.
"Kata siapa Bapak akan mewariskan rumah ini pada Raja? Siapa yang bilang?"
Bu Welas menatap suaminya dengan dahi mengernyit seakan heran dengan pertanyaan suaminya.
"Itu 'kan, udah jadi kesepakatan kita sejak dulu, Pak. Bagus kita bikinkan rumah, lalu rumah ini buat Raja."
"Itu keinginamu pribadi, bukan kesepakatan berdua," bantah Pak Darno.
"Tapi Bapak dulu setuju saja waktu ibu bilang gitu," tukas Bu Welas geram.
"Itu dulu, sebelum hartaku ludes untuk memenuhi keinginan mereka yang nggak ada habisnya."
"Kok gitu, Pak. 'Kan emang kewajiban orang tua memenuhi permintaan anaknya, kenapa Bapak seperti menyesal sekarang?"
"Memenuhi sewajarnya dan semampunya, Bu. Bukan memanjakanya seperti yang kita lakukan selama ini," ujar Pak Darno.
"Tapi kita kan mampu, Pak. Apa salahnya membahagiakan anak?" tukas Bu Welas keras kepala, di belakangnya Raja mengangguk-angguk dengan antusias.
"Membahagiakan tidak harus memanjakan. Lagi pula, Kasih juga anak kita. Dia juga berhak atas rumah ini."
"Ibu nggak peduli, Pak. Pokoknya rumah ini milik Raja, kalo anak itu mau tinggal di sini, dia harus tahu diri dan tahu malu!" sentak Bu Welas berang.
Pak Darno menarik napas dengan gusar, lelah dengan perdebatan yang tidak ada ujungnya. Susah sekali memeberi pengertian pada istrinya yang selalu saja memanjakan kedua putra mereka. Bahkan meskipun jelas jika kedua putranya yang berbuat salah, Bu Welas masih akan tetap membela mereka dengan membabi buta.
"Sudahlah Bu, cukup. Bapak ini masih hidup, jadi nggak usah bahas warisan dulu. Semua boleh tinggal di sini, tidak ada kata numpang karena kita semua keluarga," tegas Pak Darno.
"Tapi, Pak_" ucap Bu Welas dan Raja bersamaan. Mereka sepertinya ingin protes, tapi Pak Darno langsung memotong ucapan mereka dengan tegas.
"Cukup, Bapak nggak mau di bantah. Sekarang bubar, udah malem waktunya istirahat."
Bu Welas dan Raja akhirnya menurut. Mereka pergi meskipun dengan tampang jengkel dan geram.
Pak Darno kemudian beralih pada Kasih yang selama ini hanya diam menyimak perdebatan mereka.
"Istirahatlah, Nduk. Besok masuk kerja 'kan?"
Kasih mengangguk, ditatapnya wajah lelah Pak Darno dengan perasaan iba.
"Maaf, Pak. Gara-gara Kasih, Bapak jadi ribut terus sama ibu."
"Ini bukan salahmu, Nduk. Sudah, jangan dipikirkan. Sana masuk kamar, udah malem."
Pak Darno mengelus kepala putrinya dengan lembut. Ada gurat rasa penyesalan mendalam dari sorot matanya. Andai saja dulu ia bisa lebih perhatian pada keluarganya, mungkin keluarganya saat ini bisa hidup tenang dan bahagia.
Ah, percuma juga merutuki masa lalu, mau menyesal seperti apa pun waktu yang sudah terlewat tidak akan pernah kembali lagi.
****
"Pak gimana jadinya?" tanya Bu Welas ketika mereka duduk di teras menikmati pagi.
Pukul enam pagi mereka biasa duduk berdua di teras depan di temani dua cangkir kopi dan sepiring ubi goreng. Kasih sibuk menyiapkan sarapan, gadis itu tetap melakukan tugasnya meski ibunya tidak penah menghargainya. Sedang Raja masih bergelung di dalam selimutnya.
Pak Darno menatap istrinya, wanita paruh baya itu kembali bersikap biasa setelah perdebatan mereka semalam.
"Gimana apanya, Bu?"
"Uang buat pesta pernikahan Bagus dan buat bangun rumahnya?"
Pak Darno tidak langsung menjawab, ia menyesap sedikit kopi panas yang sudah disiapkan putrinya.
"Bapak kan udah bilang, nggak ada uang."
"Terus kita nggak ngasih apa-apa buat Bagus, Pak?" tukas istrinya tajam.
"Bagus udah dewasa, Bu. Selama ini kita selalu menyokongnya, memenuhi permintaanya. Bapak rasa itu sudah cukup, sekarang saatnya Bagus mandiri."
Bu Welas menatap suaminya berang. Hidungnya tampak kembang kempis mengikuti irama nafasnya yang mulai meningkat karena emosi.
"Tapi Bagus masih tanggung jawab kita, Pak. Sudah tugas kita untuk membantunya."
"Bagus udah punya pekerjaan, Bu. Jadi biarkan dia berusaha sendiri, toh selama kerja dua tahun ini kita tidak pernah mencicipi gajinya yang katanya besar itu, harusnya dia mampu meskipun tanpa bantuan kita."
Pak Darno mengambil sepotong ubi goreng lalu mengunyahnya dengan santai. Lelaki paruh baya itu tampak tidak peduli dengan tatapan garang istrinya.
"Nggak bisa gitu dong, Pak. Gimanapun juga kita harus tetap bantuin Bagus. Bapak jangan lepas tanggung jawab gitu dong!" ketus Bu Welas jengkel.
"Bapak mau bantu, tapi 'kan uangnya nggak ada, Bu."
"Makanya jual sawah kita aja, Pak."
Pak Darno seketika berhenti mengunyah saat mendengar perkataan istrinya. Dilemparnya sisa ubi goreng yang hanya separo ke dalam piring dengan geram.
"Sudah Bapak bilang, sawah itu buat makan kita. Sampai kapan pun nggak akan aku jual!"
"Bukan sawah itu, Pak. Tapi sawah warisan emakku aja yang dijual," bujuk Bu Welas.
Pak Darno menatap istrinya dengan jengkel. Ia sudah berulang kali memberikan pengertian pada istrinya bahwa sawah milik Kasih, tapi Bu Welas masih saja keras kepala.
"Sawah itu milik Kasih, Bu. Jangan kamu minta terus, apa belum cukup selama ini kamu habiskan hartaku?"
Bu Welas memutar bola matanya dengan malas. Dari dulu selalu saja Kasih yang dibela suaminya. Padahal sawah itu warisan emaknya, jadi ia juga punya hak.
"Halah, Kasih juga nggak tahu kalo sawah itu emak wariskan buat dia. Jadi nggak masalah kalo kita jual, Pak."
"Aku nggak izinin sawah itu dijual, Pak. Sawah itu miliku."
Bu Welas dan Pak Darno terkejut saat tiba-tiba Kasih muncul di hadapan mereka.
"Sejak kapan kamu di situ?" bentak Bu Welas.
Kasih mengabaikan pertanyaan ibunya, ia malah fokus menatap Pak Darno.
"Sawah itu miliku, Pak. Tidak ada yang boleh menjualnya," ucap Kasih tegas.
===========================
Akhirnya bisa up lagi. Lagi semangat jadi part kali ini panjang. Terimakasih buat yang sudah membaca cerita saya 😁🙏🙏🙏 semoga kita semua sehat terus ❤❤

Comentário do Livro (29)

  • avatar
    UdinSolik

    crita bagus

    22/06/2023

      0
  • avatar
    LestariArbiDwi

    bagusss

    07/04/2023

      0
  • avatar
    dickyzulkarnain

    ok baik

    10/03/2023

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes