logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 6 Farah Beraksi

     "Hhhmmm, kirain minggat terus menikah dengan konglomerat, ternyata cuma jadi kacung di sini, jelas saja tetap melarat,"suara sinis Diah menghentikan kegiatan Farah yang sedang menyusun biskuit di rak khusus untuk makanan.
     "Ibu, mbak Diah?" Farah terperanjat melihat ibu mertuanya dan kakak iparnya tiba-tiba berada di dekatnya.
     "Ya, kenapa? Kamu kaget kami bisa belanja di sini?" tanya Diah ketus dan sinis.
     "Biasa saja Mbak, semua orang yang punya uang pasti bisa belanja di sini kok," tukas Farah.
     "Ya beda lah, buktinya kamu cuma jadi pelayan di sini, alias pembantu!" ucap Diah sambil mendorong tubuh Farah, dan membuat Farah hampir jatuh, untung saja ada Wati, salah seorang karyawati di tokonya, yang menangkap tubuh Farah hingga terselamat dari benturan rak berisi susunan mie instan.
     "Ibu nggak apa-apa? tanya Wati sambil merapikan mie instan yang berserakan.
      "Nggak apa-apa, saya mau ke kamar mandi dulu," pamit Farah, dia sengaja menghindar dari bu Ningrum dan Diah, karena Farah tak mau salah seorang karyawatinya keceplosan yang bisa menyebabkan bu Ningrum dan Diah tahu bahwa dia adalah pemilik toko sembako besar tersebut.
      "Mau kemana? Aku belum habis bicara! Beresin tuh utang-utang koperasi kamu, enak banget ya punya utang ditinggal minggat!" ucap bu Ningrum seperti kesetanan.
     Farah hanya tersenyum tipis mendengar ucapan bu Ningrum. Memang dia berencana akan pulang dalam dua hari ke depan, dia ingin melunasi semua utang-utang koperasi yang menjeratnya.
      "Pasti akan saya bayar kok Bu, jangan khawatir, sebentar lagi saya akan pulang menunggu mereka datang," ucap Farah dengan yakin.
      Mulai hari ini dia harus pulang tiap hari, mungkin saja karena jengkel bu Ningrum atau Diah memberi tahu ke para penagih untuk menemuinya di toko.
      "Lagaknya seperti bos saja kamu Farah, pulang seenaknya, mana bos kamu biar aku adukan kelakuanmu, biar saja kamu dipecat!" ucap Diah dengan sengit.
      "Memang bu Farah adalah..."
      "Wati,..." Farah memberi isyarat kepada Wati untuk tidak memberi tahu tentang siapa dirinya kepada bu Ningrum dan Diah.
      "Lagaknya juga mau bayar, memang dapat uang dari mana, baru juga mulai kerja," ucap bu Ningrum sinis.
      "Dari mana pun saya dapat uang, yang penting saya nggak minta sama kalian!" tegas Farah.
      "Dasar pembantu sombong!" seru Diah sambil mengajak bu Ningrum pergi. Farah tersenyum sinis melihat mereka yang hanya membeli lima bungkus mie instan.
     ***
     "Akhirnya ketemu juga, ke mana saja selama ini bu Farah, mau lari ya dari utangnya?" tanya Wanto, salah satu penagih koperasi harian.
     "Baru juga empat hari kosong sudah ngomong pedes begini, apa lagi saya kabur beneran," cecar Farah ketus.
     "Empat hari kosong itu masalah bagi saya Bu, saya ini bekerja, tolong kerja samanya," ucap Wanto dengan suara agak keras.
      "Sudah, sudah, utangku masih berapa?" tanya Farah tak mau berlarut-larut dalam perdebatan.
      "Masih banyak Bu, orang baru di angsur dua kali," jawab Wanto.
      "Nih, saya bayar semua, cukup nggak?" Farah mengulurkan lembaran uang warna merah.
      Wanto terkesima, wajahnya berubah ceria ketika menerima lembaran-lembaran merah tersebut. Dengan gerak cepat dia menghitungnya.
     "Wah, ini lebihnya banyak Bu, utang bu Farah masih dua juta dua ratus ribu, dan uang ini ada tiga juta," ucap Wanto hampir tak percaya.
     "Ya sudah, lebihnya buat kamu saja, ingat sudah lunas ya, besok jangan datang lagi!"ucap Farah sambil membalikkan badannya.
      "Yang bener?Ini buat saya Bu? Wah terima kasih banyak Bu!"Wanto menciumi uang tersebut dengan wajah sumringah.
     "Hei, enak saja, sini sisa uangnya!" Diah tiba-tiba datang dan ingin merampas uang yang dipegang oleh Wanto.
     "Kamu yang enak saja, main rampas saja, tanya sama bu Farah, uang ini buat siapa?"
     "Bu Farah, sisa uangnya buat saya kan?" tanya Wanto, dia sengaja memancing kemarahan Diah.
     Dia sangat kesal dengan sikap Diah yang sangat judes dan kasar, sudah beberapa kali dia menjadi korban siraman air ketika dia datang mencari Farah.
     "Iya To, uang itu buat kamu, cepat pergi dari sini sebelum perampok datang!" seru Farah dari dalam rumah yang disahut tawa kecil Wanto.
     "Siap, terima kasiiih Buuu," seru Wanto membalas ucapan Farah dan setelah itu pergi begitu saja.
     "Punya uang dihambur-hamburkan, nggak ingat yang di rumah kelaparan!" Diah menghardik Farah yang baru mau masuk ke kamarnya.
      "Terserah saya dong, itu uang saya!" jawab Farah santai.
     "Kamu tahu nggak, beberapa hari ini kami hanya makan mie instan tanpa telur!" bu Ningrum ikut bersuara.
     "Terus, masalah dengan saya apa?" tanya Farah datar.
     "Kamu belanjalah, masak yang enak untuk kami!" bentak Diah sengit.
     "Kalau mau makan enak ya keluar duit, mbak kan kerja, bisa kan nyenengin diri sendiri dan ibu," ucap Farah dengan tenang.
     "Kurang ajar kamu Farah, punya saudara nggak bisa di harapkan!" Diah menghardik Farah dengan keras.
      "Jangan bisanya cuma mengharap, mbak kan kerja, pakai dong gajinya untuk belanja!"
       "Permisi, bu Farah, oh bu Farah!"
       Suara lelaki, salah seorang penagih koperasi mingguan datang.
Dia berdiri di depan pintu sambil matanya mencari-cari keberadaan Farah.
      "Tuh, koperasimu datang lagi, punya utang banyak kok bangga," kata Diah pedas.
      "Apa kabar pak Toro?" tanya Farah berbasa-basi.
       "Kabar baik kalau bu Farah bayar angsuran dobel, kabar buruk kalau bu Farah nggak bayar lagi, bisa dipecat saya nanti Buuuu!" jawab lelaki yang bernama Toro itu tersenyum kecut.
       "Masih berapa Pak?" tanya Farah singkat.
      "Yo masih utuh to Bu, orang belum diangsur sama sekali," jawab Toro dengan nada jengkel karena banyaknya pertanyaan Farah.
      "Nih Pak, saya lunasi, kalau kurang ngomong saja nanti saya tambahi," ujar Farah sambil mengulurkan tumpukan uang berwarna merah.
      Wajah pak Toro yang tadinya masam berubah ceria, dengan gerak cepat dia mengambil uang dari tangan Farah, lalu menghitungnya dengan hati-hati, mulutnya komat-kamit, sesekali dia menjulurkan lidah, dan menempelkan jari telunjuknya ke lidah lalu mengusapkan jari telunjuk tadi ke lembaran-lembaran uang yang dihitungnya.
     "Wah, ini kebanyakan Bu, utangnya tiga juta enam ratus ribu, lha ini ada lima juta, wah bu Farah baru dapat arisan ya?"
     "Sisanya sini kasih ke saya!" Diah yang dari tadi memperhatikan berjalan mendekati pak Toro sambil menadahkan tangannya. Pak Toro menatap Farah, minta persetujuan, dan Farah hanya menggeleng.
     "Pak Toro, utang saya lunas ya, minggu depan jangan ke sini, dan sisa tadi buat istri dan anak pak Toro," ucapan Farah membuat pak Toro terperanjat, dia tak menyangka dapat rejeki nomplok dari orang yang selalu membuatnya jengkel karena susah membayar angsuran.
      "Enak saja dikasih uang begitu saja, saudara bukan, keluarga juga bukan!" bentak Diah emosi. Dia mendekati pak Toro yang sudah berada di atas motornya.
      "Pak Toro, cepat jalan, titip salam buat anak dan istrinya," seru Farah sambil memberi isyarat untuk segera pergi.
     "Kamu benar-benar keterlaluan Farah, uang siapa yang kamu hambur-hamburkan tadi?"tanya Diah sambil menarik baju Farah dengan kasar.
      "Yang pasti bukan uang kamu Mbak!"jawab Farah datar.
      "Kamu dapat banyak uang dari mana? Kamu pasti mencuri, atau kamu jual diri?"
     Farah berusaha mengontrol emosinya, dia tak mau menanggapi ucapan-ucapan pedas kakak iparnya.
     "Ternyata kamu tahu jalan pulang juga Dek," Herman tiba-tiba muncul dari luar,dia baru pulang dari berjualan keliling.
     Melihat wajahnya yang hitam berkeringat, langkahnya gontai karena keletihan, Farah merasa iba, tapi rasa ibanya menjadi benci kalau ingat sikapnya yang selalu mengutamakan keluarganya.
     "Ya tahulah Bang, orang pulang ke rumah sendiri, nggak bakal nyasar," balas Farah santai.
     "Pinter jawab sekarang kamu Farah!"bentak Herman keras.
    "Ya jelas pinter Bang, akal sehatnya selalu digunakan," ucap Farah,matanya melirik ke arah Diah yang melotot ke arahnya.
     "Apa maksudmu?" tanya Herman, matanya merah karena emosi.
    "Nggak ada maksud apa-apa, cuma menanggapi ucapan abang," jawab Farah.
      Tok tok tok!
       "Pasti tukang tagih lagi,heran ya, utang begitu banyak uangnya buat apa?" kata Diah sinis.
       "Aku juga heran Dek, beberapa hari ini ada banyak orang datang menagih utang, utang apa to Dek?" tanya Herman dengan suara lebih lunak.
      "Saya utang buat bayar utang Bang, sebagian buat belanja sehari-hari, karena uang dua puluh ribu dari abang nggak cukup untuk memenuhi keinginan ibu dan mbak Diah!"
      "Jangan jadikan ibu dan kakakku sebagai alasan!" bentak Herman keras.
      
       "Bukan alasan Bang, tapi fakta!" ucap Farah datar.
      Tok tok tok!
     "Permisiiiii!"
      Ketukan pintu yang kedua kalinya menghentikan perdebatan mereka. Dengan langkah gontai Herman ke luar hendak melihat siapa yang datang.
      "Maaf Pak, apa benar ini rumah ibu Diah?" tanya lelaki yang berbadan tegap dan berjaket cokelat tua, dia datang berdua dengan temannya yang berbadan gemuk pendek berkulit putih.
     "Ya, dia kakak saya, anda siapa dan ada keperluan apa mencari kakak saya?" tanya Herman penasaran.
      "Saya Toga dan ini teman saya Abas, kami mau minta uang angsuran utang bu Diah yang sudah beberapa hari nggak dibayar, dia janji akan mengantar ke rumah bos kami tiap hari, tapi ini sudah lima hari ditunggu nggak datang-datang," ujar Toga yang sontak membuat Herman terkejut.
      "Orang koperasi kan? Istri kamu ini memang tak tahu malu Man, mbak sampai malu lho banyak tetangga yang suka ngomongin istri kamu karena banyak utang koperasi," ucap Diah ketika melihat Herman melangkah mendekatinya.
     "Iya Mbak, orang koperasi Indah Sakti, tapi mereka mencarimu Mbak!"

Comentário do Livro (1454)

  • avatar
    AlmirandaaDzakiyah

    500

    04/08

      0
  • avatar
    CantikMaya

    bagus

    25/07

      0
  • avatar
    BillfoldAse

    bagus

    28/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes