logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 7 Tawaran

“Kumohon jangan bilang tentang keadaanku pada teman-teman ya, Va? Please. Aku hanya ingin berteman dengan kalian walau kadang suamiku tak memenuhi kebutuhan, tapi aku berusaha untuk mengimbangi kalian,” mohon Anya.
Kali ini harga dirinya tak berarti lagi. Dia sudah nampak jatuh di hadapan Eva. Melihat keadaan rumahnya. Bahkan tumpukan jemuran yang belum dilipat masih teronggok di sudut ruang tamu, tak sempat disembunyikan lagi. Namun, menyembunyikan semua itu tak mengurangi keburukan rumah kontrakan yang dia tinggali sekarang.
Eva menyesap rokoknya, lalu mengembuskannya seraya berpikir dan entah pikiran apa yang ada di kepala perempuan itu sekarang. Jelasnya, dia diam saja mendengar keluh kesah Anya.
“Aku iri sama kamu, Va. Iri dalam artian aku ingin sekali bisa seperti dirimu yang memiliki segalanya, padahal kedua orang tuamu telah meninggalkanmu sendiri bersama nenek yang tentunya tak seperti orang tuamu.”
“Nenekku telah meninggal,” sahut Eva singkat, tapi terdengar sangat getir.
“Oh maaf, Va.”
“Nggak apa-apa.”
Eva masih dengan ekspresi datar. Dia menekan puntung rokok yang tersisa di asbak lalu menjalin jemarinya, menopang salah satu kaki mulusnya dan bersandar di sandaran kursi. Anya berharap kursinya masih kuat. Bisa malu jika tiba-tiba kursi itu roboh.
Anya memperhatikan segala yang dipakai Eva. Heran sekali, dia hidup sendiri tapi bisa menghasilkan uang untuk membeli segalanya yang dia butuhkan. Anya sempat melihat beberapa kartu kredit di dalam dompet Eva saat berada di depan kasir.
“Kapan ya, aku bisa kerja kayak kamu, Va? Kayaknya enak, kerja santai tapi menghasilkan banyak uang,” celetuk Anya. “Pasti otakmu pun encer, Va.”
Eva menggulirkan pandangannya kepada Anya. Bola matanya menelusuri seluruh tubuh Anya. Anya sedikit merasa jengah dengan pandangan itu.
“Kamu mau kerja kayak aku?” tanya Eva menatap wajah Anya tanpa berekspresi.
“Aku? Apa aku bisa kerja di kantoran kayak kamu, Va?” sahut Anya balik bertanya.
Anya menautkan kedua alisnya. Apa Eva benar-benar menawarinya atau hanya prank? Dia masih ingin menahan diri. Mungkin saja itu hanya basa-basi.
“Aku tanya, kamu bener mau kerja kayak aku?” ulang Eva, kali ini memutar tubuhnya sembilan puluh derajat ke arah Anya, menunjukkan keseriusan.
“E-eh, kerja apa Eva? Aku tak tahu apa kemampuanku bisa—“
“Anya, aku tanya serius! Kamu mau nggak? Mau mengentaskan diri dari kemiskinan yang kamu katakan terus itu??” desak Eva. “Jawab!”
Anya terbengong. Dia masih berada dalam ketidakpercayaannya. Dia merasa ini hanyalah mimpi. Apakah dia akan bekerja? Ya, setidaknya dia punya pengalaman kerja menjadi pelayan toko. Anya mencubiti pipinya. Sakit.
“Ya udah kalo kamu nggak mau. Mungkin aku akan menawarkannya pada orang lain saja.”
Sontak Anya memegang tangan Eva setelah pikiran ragunya terpotong dengan perkataan temannya itu.
“Aku mau, Eva.”
Nekat saja, Anya menyetujui penawaran wanita di sebelahnya itu. Belum juga bertanya apa pekerjaan yang akan dijalani, dia mengangguk mantap. Bayangan cuan yang besar menari-nari di kepalanya. Ah, Anya bisa membeli apapun untuk menyaingi teman-temannya. Dapat uang dari suaminya juga menghasilkan sendiri.
“Yakin?” ulang Eva.
“Yakin!” sahut Anya dengan kedua mata berbinar.
“Baiklah, syaratnya hanya satu, rahasiakan pekerjaan ini ke suamimu kalo kamu mau sukses,” ujar Eva memperingatkan.
Kening Anya berkerut. Bukankah aneh sekali permintaan Eva? Namun, demi cuan yang tadi sudah dibayangkan, Anya menurut saja. Dia girang sekali. Melihat penampilan Eva yang akan dijiplaknya jika sudah beberapa bulan bekerja. Ah, Anya mengingat baju-bajunya di lemari. Tunggu, dia tak punya baju formal.
“Eva, tapi apa aku langsung kerja? Aku nggak ada baju formal,” tutur Anya menggaruk tengkuk lehernya yang cukup jenjang.
“Nggak perlu. Kamu pakai saja dress atau apalah, besok kamu udah mulai kerja. Aku ada baju untukmu. Oke? Aku jemput jam tujuh,” ujar Eva.
“Jam tujuh pagi?” tanya Anya bersemangat.
“Jam tujuh malam,” sahut Eva.
Anya tertegun mendengar jawaban Eva yang nampak serius.
“Kamu bercanda, Va? Masa kerja jam tujuh malam? Apa perusahaanmu memberlakukan shift pagi dan malam?” tanya Anya.
“Aku nggak bercanda. Kamu siap-siap aja jam tujuh malam. Ya ... kalo kamu mau, kalo nggak ya udah, aku juga nggak maksa.”
Anya mencengkeram sisi kursi. Dia begitu bersemangat, tak ingin kehilangan kesempatan emas ini.
“Jangan berikan sama orang lain. Iya, aku mau, Eva. Asal besok ada kamu yang menemaniku,” ujar Anya.
“Pasti aku temani awalnya. Ya udah, aku pamit dulu. Ini sudah lebih sepuluh menit. Aku bisa dihukum kalo terlambat. Ada janji lagi sama seseorang yang penting.”
Eva mengalungkan tasnya ke lengan kanan, lalu memakai kacamata hitamnya. Anya sungguh merasa wanita itu misterius tapi sangat keren.
“Iya, makasih banyak ya, Va. Udah bantu aku mendapatkan pekerjaan. Kamu juga tak menghina keadaanku seperti ini. Kamu baik sekali,” ucap Anya, merangkul lengan Eva.
“Iya, sama-sama. Aku juga senang ada partner kerja,” sahut Eva, beranjak dan berjalan ke pintu. Suara high-heelsnya beradu dengan lantai ubin Anya.
Anya mengantarkan Eva ke depan hingga wanita itu masuk ke dalam mobilnya. Anya membayangkan mobil yang sama akan dia beli beberapa bulan lagi. Bahkan di awal bulan, jika bisa dia akan menurunkan utang memakai jasa kantor. Seperti yang dilakukan orang-orang. Ah, Anya girang sekali sore itu. Bersamaan dengan bunyi klakson mobil Eva, memecahkan angan Anya. Dia melambaikan tangan mengantar kepergian Eva.
“Sebentar lagi,” ujarnya sangat senang hingga melompat-lompat di dalam rumah seperti orang gila.
Anya segera membuka ponsel. Sudah ratusan pesan di grup arisan. Hanya sepuluh anggota, tapi ributnya mengalahkan pasar. Di sana sudah ramai membicarakan tentang hal baru. Mereka merencanakan untuk arisan tas Herm*s. Harganya tak tanggung-tanggung. Dua ratus juta rupiah. Anya menaikkan sudut bibirnya, dia tersenyum sinis.
“Aku juga bisa.”
Kedua matanya terbelalak saat mereka mulai membuat list keanggotaan arisan. Bahkan ada beberapa anggota baru yang dimasukkan oleh para admin. Sekarang, anggotanya menjadi lima belasan orang dan itu entah akan bertambah sepertinya setelah rencana arisan tas branded itu akan dimulai.
Dengan percaya diri, Anya menambah namanya di list keanggotaan arisan tas. Send! Mantap sekali, karena dia yakin, bulan depan akan mendapatkan gaji dari hasilnya bekerja. Anya tersenyum bangga bisa menyaingi para istri pengusaha itu.
“Hmm, aku bukanlah Anya yang polos macam dulu. Sekarang, aku akan dikenal sebagai Anya yang elegan. Ini impianku sejak dulu,” gumamnya, sembari menyimak obrolan teman-temannya di grup. Mereka sibuk menyambut anggota baru yang masuk.
‘Makin banyak, makin enteng kita arisannya.’
Celetukan Dita. Anya jadi kesal membacanya. Dia ingat perlakuan Dita di room karaokean tadi. Anya berjanji akan sering mendatangi tempat itu. Bahkan dia akan menutup mulut Dita dengan uangnya, suatu saat nanti.

Comentário do Livro (19)

  • avatar
    V17skw2024Vivo

    baguss

    26d

      0
  • avatar
    MaulanaFikri

    bagus sekali cerita nya

    13/08

      0
  • avatar
    HayatiNur

    ok baik

    02/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes