logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 6 Rumah Sempit

Kesenangan Anya di dalam mobil mulai hambar setelah kendaraan roda empat yang dia tumpangi mulai mendekati jalan ke rumahnya. Anya makin menggigit bibir kala pertigaan yang dia sebutkan tadi menjadi ujung tujuan.
"Eva, sebaiknya aku turun di sini saja."
Dengan tercekat, Anya berceletuk. Padahal tadi dia sudah menyetujui Eva untuk berkunjung ke rumah kontrakannya itu. Namun, sebisa mungkin dia akan menghalangi kedatangan wanita yang sudah dia pastikan hanya akan berpikiran rendah padanya dengan melihat rumah itu.
"Lho, Anya gimana sih kamu? Aku kan udah bilang mau main? Nggak lama kok, sambil nunggu waktu. Setengah jam-an, please. Aku ada janji sama seseorang," pinta Eva mengiba.
Sepertinya perempuan itu memang butuh tumpangan sebentar untuk menunggu waktu. Anya menggaruk kepalanya lagi. Mobil telah berbelok dan sudah mulai masuk ke gang menuju rumahnya. Tinggal lurus saja.
"Tapi rumahku baru mau dibangun," lirih Anya.
"Trus, kenapa? Ada banyak tukang?" tanya Eva.
"Bukan sih, tapi—"
"Tunggu, ini yang mana rumahnya?" desak Eva karena mobil sudah masuk hampir ke ujung gang.
Dengan lemas, Anya harus jujur mengatakan bahwa rumahnya berada di ujung gang. Rumah paling jelek di antara deretan rumah-rumah yang terbangun indah di sekitarnya.
"Ya ... yang di ujung itu. Eva, rumahku jelek," tutur Anya.
Eva tak menghiraukan. Dia menautkan kedua alisnya di depan sebuah rumah dengan cat yang mulai mengelupas. Ditambah lagi lumut mulai menghiasi sebagian temboknya. Ada kesan horor di dalamnya.
"Ini?" tanya Eva lagi untuk meyakinkan apakah benar itu rumah yang dimaksud.
"Iya," sahut Anya lirih.
Kemudian, Eva menghentikan mobil lalu mematikan mesin. Dia turun disusul oleh Anya yang menunggu reaksi Eva yang ternyata sangat datar.
Tak seperti yang Anya rencanakan, dia tak sanggup menatap wajah Eva untuk mengetahui mimiknya. Dengan melirik saja, dia sudah menangkap bahwa Eva memandangi seluruh rumahnya seperti yang dia bayangkan tadi.
"Masuk, yuk."
Ajakan Anya disambut dengan anggukan Eva. Dia nampak masih melongo melihat isi rumah Anya. Eva terdiam, duduk di kursi kayu yang sudah sedikit digerogoti hewan pemakan kayu di ruang tamu. Kedua mata Eva menjelajah setiap sudut di ruangan itu, batinnya yang berbicara karena mulut hanya diam tak mengeluarkan sepatah kata pun.
Anya meneguk saliva. Dia merasa sangat malu, bagai ingin amblas ke bumi memiliki rumah seperti itu. Itupun Eva belum tahu kalau rumah itu masih kontrakan.
"M-mau minum apa, Va?" tawar Anya, mencoba melumerkan suasana.
"Udah, nggak usah repot-repot, Nya."
Dengan masih melirik segala sudut rumah, Eva menolak tawaran Anya. Mungkin saja Eva jijik minum di rumahnya, pikiran Anya mulai buruk.
"Oh. Beginilah rumahku, Eva. Aku harap kamu masih mau berteman denganku," ucapnya spontan, merendahkan diri adalah jalan terbaik saat itu. Tak ada lagi yang bisa disombongkan di hadapan manusia sekaya Eva.
"Kenapa nggak?" sahut Eva, tersenyum. Sesekali dia melirik ke arah jam di tangannya.
Anya berpikir wanita itu pasti tak betah di rumahnya. Dia menyahut seperti itu hanya untuk menutup rasa kecewanya mempunyai teman seperti Anya yang rumahnya jelek.
"Bener kamu nggak mau minum, Va?" ulang Anya, mencoba selalu mengajak bicara. Hatinya seketika sakit, karena dia yang harua selalu memancing pembicaraan karena Eva hanya diam. Tak seperti saat mendesak untuk main ke rumahnya tadi.
"Nggak, Anya. Udah, kamu nggak perlu kuatir. Aku tadi sudah banyak minum. Di sini boleh ngerokok?" tanya Eva mengamati tak ada asbak di atas meja.
"Oh, boleh, boleh. Sebentar aku ambilkan asbak," ujar Anya demi agar menyenangkan hati temannya.
Padahal di rumah, suaminya tak pernah menghisap benda berbentuk tabung kecil berisi tembakau kering. Namun, saat itu yang ada di pikiran Anya hanya bagaimana cara agar temannya nyaman di rumah sesempit itu.
"Makasih, Nya."
Anya tersenyum dan beranjak dari duduknya. Dia merasa Eva sudah mulai nyaman berada di rumahnya. Tinggal sekarang bagaimana cara dia menarik perhatian wanita itu agar dia tak menyesal berteman dengan orang semiskin dirinya. Ya, dari rumahnya pasti Eva berpikiran seperti itu. Ah, malu sekali Anya telah berhura-hura tadi di karaokean. Andai saja dia menolak dan tetap di rumah ibunya, pasti tak harus membawa Eva pulang ke rumah sialannya itu.
Satu asbak yang masih sangat baru dia keluarkan dari lemari. Sejak awal membeli benda itu, belum pernah dipakainya sama sekali. Anya dan suaminya tak pernah menerima tamu. Bahkan saat diminta untuk ketempatan pertemuan RT, Anya menolak dengan berkilah bahwa suaminya selalu pulang malam. Nyatanya dia tak mau repot karena rumahnya begitu sempit. Orang-orang harus duduk di luar sebagian.
"Ini, Va."
Anya meletakkan asbak kaca yang bening itu di atas meja depan Eva. Sepertinya suasana mulai mencair. Eva tak lagi mengedarkan pandangannya ke ruangan. Dia mulai mengeluarkan sebatang rokok dan menyulutnya tanpa sungkan di hadapan Anya.
"Beginilah rumahku, Va. Aku sebenarnya malu sama kalian-kalian yang banyak memiliki uang dan rumah bagus. Apalagi kamu, Va. Pasti apartemen kamu bagus, kan? Nggak kayak rumahku ini. Horor," beber Anya, memaksakan diri untuk terkekeh saat candaannya sendiri tak lucu baginya. Merendahkan diri sendiri. Bukankah itu memalukan?
Tak disangka, Eva tak menyahut. Dia seperti lebih suka menikmati isapan rokoknya dari pada menanggapi Anya.
Anya hanya meringis, juga menahan agar tak batuk karena ikut mengisap asap rokok yang keluar dari mulut Eva. Dia memilih membiarkan temannya itu menikmati nikotin yang sepertinya lebih menyenangkan dibanding dengan pembicaraannya.
"Suamimu kerja apa?" tanya Eva kemudian, usai menghabiskan setengah batang rokok, menemani pikirannya di ruangan itu.
"Pabrik. Dia kerja di pabrik, Va."
Sungguh, saat itu Anya ingin sekali mengakui lain. Namun, kenyataan dia harus jujur pada Eva sesuai dengan keadaan sebenarnya. Tak mungkin dia mengatakan kebohongan jika suaminya bekerja sebagai karyawan perusahaan dengan gaji tinggi. Mana mungkin Eva percaya.
"Pabrik?" ulang Eva mengangkat salah satu alisnya.
"Iya, pabrik garmen."
Eva nampak mengangguk-angguk lalu sedikit menghentakkan rokok di asbak agar sisa pembakaran jatuh di dalamnya.
"Kamu sendiri? Nggak kerja?" tanya Eva.
"Nggak. Kerja apa aku? Aku tak punya keahlian apa-apa selain pengalaman menjadi pelayan di warung makan," beber Anya, jujur.
"Ini rumahmu apa ngontrak?" tanya Eva lagi, seolah penjelasan Anya tak begitu berarti baginya.
"Kontrak," sahut Anya lirih.
Dia malu. Bagaimana tidak? Rumah yang sempit saja mengontrak. Tak mampu membeli rumah walau kecil. Dia mengumpat suaminya dalam hati. Kenapa tak bisa mengupayakan sebuah naungan yang layak untuknya.
"Oh," sahut Eva, menikmati lagi rokoknya.
Anya tertegun. Hanya itukah respon dari Eva? Dia benar-benar merasa kecil hati saat itu.

Comentário do Livro (19)

  • avatar
    V17skw2024Vivo

    baguss

    26d

      0
  • avatar
    MaulanaFikri

    bagus sekali cerita nya

    13/08

      0
  • avatar
    HayatiNur

    ok baik

    02/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes