logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

5. Good Idea

Cuaca yang cerah. Udara yang sejuk. Langit biru yang indah. Bunga-bunga yang bermekaran. Burung-burung yang berkicauan. Kumbang-kumbang yang berterbangan. Aliran sungai yang sebening kristal. Hari ini mungkin bisa menjadi hari yang sempurna untuk Dani, sejak pagi tadi ayahnya resmi mengumumkan bahwa mereka akan piknik keluarga hari ini juga.
Piknik musim panas di tepi sungai, setelah sekian lama. Seharian penuh menangkap kumbang, memancing dan barbeqeu. Bersama seluruh anggota keluarganya.
Seluruh anggota keluarga! Itu masalahnya.
Kenapa jadi masalah? Karena menurut ayahnya, seluruh anggota keluarga ini bukan hanya tentang Damian D’Angelo, istrinya, kedua putrinya sekaligus menantunya.
Demi apapun Dani tidak tuli. Dia mendengar ayahnya mengatakan, "Kita semua, seluruh keluarga ini." Di tengah-tengah acara sarapan mereka dengan menggebu-gebu bak diktator revolusioner, bahkan sampai membuat Lola, kucing betina 2 bulan yang baru saja menjadi anggota keluarga mereka beberapa hari yang lalu, melompat dari pangkuan Gia.
Namun yang Dani temukan ketika mereka sampai justru wajah itu lagi. Wajah orang yang dia hindari mati-matian.
T.H.E.O.D.O.R.E.
Bahkan dalam hatinya Dani harus mati-matian mengeja nama itu.
"Dad, kenapa dia di sini?" Dani rasanya tidak ingin turun dari mobil. Matanya melirik horor pada Theo yang sudah menunggu dan menyambut mereka.
"Kenapa? bukankah aku sudah bilang," jawab Damian. "kita akan piknik keluarga."
Hancur sudah hari indah Dani.
Bahkan gagasan untuk mengajak Lola memancing lebih masuk akal dibanding mengajak Theo.
***
"Mau roti isi?" Dani menggeleng, mengurungkan niat Gia yang ingin menggapai sepotong roti isi lagi di ujung meja piknik untuknya.
Dani sudah mengisi perutnya cukup hanya dengan melihat pemandangan memuakan Theo yang berbincang-bincang dengan ayahnya dan Petter, yang secara kebetulan—atau mungkin tidak—juga memiliki nama belakang Patton—suami Gia—di tepi sungai sembari memancing. Sedangkan ibunya dengan sudi sibuk kesana-kemari, mondar-mandir, repot-repot mengantarkan makanan untuk ketiga orang pria itu.
Jus jeruk sayang, jus jeruk Petter, jus jeruk Theo—semangka, apel, cheri, stroberi? Dani sampai lupa bahwa ibunya bukan pemilik toko buah-buahan.
"Sepertinya Dad dan Mom punya ketertarikan khusus terhadap seseorang dengan nama belakang Patton." Dani menelengkan kepalanya, berpikir keras. "Bukankah satu menantu dengan nama belakang Patton sudah cukup? Apa kau tahu berapa banyak teman ayah dengan nama Patton? aku yakin jika mereka punya cukup anak, mereka akan menikahkan semuanya dengan seseorang bernama Patton di seluruh dunia ini."
Bukan tanpa alasan Dani berpikir demikian, karena sudah menjadi rahasia umum jika setelah Gia menikah, Damian menyerahkan perusahaan rekaman yang telah dia dirikan selama puluhan tahun dengan keringat dan air matanya itu sepenuhnya kepada Peter. Jelas tidak seharusnya itu menjadi keputusan yang mudah. Tapi Damian melakukannya, begitu saja. Dani tidak pernah tahu alasannya. Sekarang, tampaknya tidak ada argumentasi yang lebih valid selain fakta bahwa nama belakang Peter adalah Patton.
"Dasar penggerutu," kata Gia dengan mulut penuh roti isi. Wanita itu sepenuhnya sibuk melahap makanannya, sampai suara desisan Dani membuat perhatiannya teralih. "Kenapa?"
Alis Gia terangkat melihat dahi Dani yang berkerut dalam. Ekspresi itu mengingatkan Gia pada seekor kucing milik tetangga mereka yang perasan dan galak.
"Apa menurutmu ada hiu di sungai? Karena aku baru saja mendapatkan ilham untuk mendorong Theo. Dia tidak mungkin tenggelam, tidak, sungainya terlalu dangkal. Harus ada hiu di dalamnya."
Sudah Dani pikirkan itu matang-matang. Dia tidak mungkin bunuh diri di hadapan seluruh anggota keluarganya. Arwahnya bisa tidak tenang nanti, walaupun aliran sungai itu mengundang sekali. Jadi, Theo yang harus melakukannya. Ya, itu lebih baik.
Gia memutar bola matanya. "Jangan konyol."
"Serius, G. Menurutmu berapa persen kemungkinan hiu ada di sungai?"
"Berapa persen menurutmu bagian otakmu yang tersisa?"
"G!" rengek Dani.
"Tidak bisakah kau tidak menjadi orang aneh, sehari saja—tidak. Sejam saja? Apakah tidak bisa? Apakah sesulit itu?"
Dani menunjuk dirinya sendiri. “Aku aneh?”—dia menunjuk Gia—“Kau aneh! Kalian semua aneh. Melakukan perjodohan seolah ini abad 18. Apalagi besok? Memakai gaun, berdansa dan menunggangi kereta kuda?”
“Kau tahu apalagi yang akan kulakukan jika ini abad 18?” Tanya Gia.
“Apa?”
“Aku akan mengikatmu di pohon, mencekokimu dengan susu dan madu hingga kau tidak bisa berhenti mencret. Bagaimana?”
Dani mendengus, membuang muka dan bersedekap. Kesal. Astaga dia kesal sekali. Ini hari terburuk yang pernah ada, dan ternyata satu hari yang lalu tidak ada apa-apanya dibanding hari ini. Entah apa yang menunggunya nanti. Mungkin serangan sekawanan lebah yang sedang datang bulan. Gigitan anjing liar yang sedang dalam musim kawin. Delivery makanan yang salah alamat. Oh tapi, apakah itu semua bisa lebih buruk dari pernikahannya dengan Theo enam hari lagi?
E.N.A.M!
Dani tidak bisa berhenti menghitung mundur setiap waktunya mulai sekarang.
"Kau tidak mau bicara dengannya?" Dani berjingkat kaget, tidak sadar kapan ibunya berada di sampingnya. Wanita itu tengah memilah-milah apel dalam keranjang piknik. "Bicaralah sedikit dengan Theo."
Buru-buru Dani menggeleng ketika menyadari siapa yang ibunya maksud.
Ibunya mengerutkan kening. "Kenapa?"
Dani diam, tidak menjawab. Dengan cepat dia memalingkan muka menghindari tatapan penuh keheranan ibunya.
"Theo!" Wanita itu tiba-tiba berseru yang lagi-lagi sialnya membuat Dani terkesiap.
Tidak. Dani tidak terkesiap karena mendengar suara ibunya. Dia sudah terbiasa mendengar suara lantang ibunya setiap pagi. Dani hanya kaget mendengar nama Theo dipanggil lantang-lantang karena seharusnya itu tidak. Karena untuk alasan yang tidak jelas, hal itu seakan sama saja dengan membuka aib Dani di depan umum. Dani malu.
Dani juga malu ketika Theo tersenyum padanya.
Eh—apa?
Tidak. Dani keki. Dia tidak malu. Dia keki. Ingin rasanya Dani melempar kepala itu dengan semangka segar nan minggiurkan di dekatnya.
"Aku suka sekali pemuda itu," ibunya bergumam.
Dani yakin dia tidak perlu mendengar itu sebelum Ibunya pergi, kembali ke tengah-tengah suami, menantu dan orang yang tidak terdeteksi posisinya di keluarga Dani.
Lalu, kenapa tidak Mom saja yang menikah dengannya, batin Dani.
"Lihat sisi positif-nya? Mom benar-benar menyukainya," kata Gia. Sekarang mulut wanita itu penuh dengan macam-macam buah-buahan. "Dan lagi, kau tidak perlu susah-susah mencari pasangan yang lebih baik dari dia karena aku bertaruh kau tidak bisa."
Mata Dani melotot mendengar penghinaan blak-blakan itu. "Tidak?!"
"Tidak," jawab Gia mudah. "Jika kau bisa, kau akan menemukannya dari dulu dan tebak apa? Kau tidak akan duduk di sini, merengek setiap waktu dan selalu mengeluh tentang perjodohanmu dengan teman masa kecilmu yang tidak lagi kau kenal."
Wanita itu bahkan tidak perlu repot-repot memandang Dani untuk mengetahui seperti apa reaksinya. Menurutnya, semangkuk buah-buahan lebih menarik daripada Dani.
Tentu saja hening setelah itu. Apa yang akan Dani katakan saat Gia telah mengatakan semua yang bisa dia katakan. Perempuan itu hanya perlu merenung, memikirkan kata-katanya, kemudian merasa ber—
"Giana D’Angelo, kau tahu seberapa pintarnya dirimu?"
"Lebih pintar darimu, Daniela D’Angelo," terka Gia.
"Tidak benar," kata Dani. "Tapi kau baru saja memberiku ide."
Gia tidak pernah tahu itu kabar baik atau buruk. Tapi dia selalu mengantisipasi hal terburuk jika itu berkaitan dengan sang adik.
***
Selama beberapa hari belakangan, tepatnya sejak Dani tahu bahwa dia akan menikah—dan bukan hanya akan menikah, tepatnya dia dipaksa menikah—segalanya terasa seperti mimpi saking anehnya. Tapi, setelah Gia memberinya sebuah ide secara implisit kepadanya, Dani berangsur-angsur dapat melihat masa depannya kembali cerah. Sekarang dia tahu apa yang harus dilakukan.
"Apa yang akan kau lakukan?" Alis Shane menukik mengancam.
Dani mengakui, Shane akan terlihat menyeramkan jika saja sekarang hatinya tidak sedang diliputi antusiasme yang meluap-luap.
"Kenalkan saja aku dengan dia. Minta dia menemui ku lusa—Oh tidak, besok saja. Lebih cepat lebih baik," kata Dani.
Dani sudah tidak sabar mengetahui hasil dari idenya ini.
"Dan, demi apapun, apa yang akan kau lakukan?" Shane mencoba sekali lagi bertanya.
"Dia akan meminta temanmu untuk berpura-pura menjadi pacarnya agar pernikahannya dibatalkan. Astaga Shane, kenapa kau bodoh sekali." Emma berucap setelah mengusap whipped cream muffin dari sudut bibirnya.
Shane mendorong kacamatanya naik dengan telunjuk. Karena Dani mengenal Shane, tindakan itu terlihat begitu menyeramkan baginya—seperti sebuah gencatan senjata. Bukan hal yang dilakukan untuk memperbaiki penampilan.
"Aku tahu apa yang akan dia lakukan, Emma," kata Shane.
"Lalu kenapa bertanya?"
"Diam lah." Shane menghela napas jengah.
Emma diam seketika. Dani tahu, untuk sebuah alasan, Emma lebih segan dengan Shane yang sedang merasa jengah daripada Shane yang sedang marah—karena sebenarnya, Shane jarang marah, apalagi kepada Emma.
"Jika sesuatu terjadi nanti, jangan libatkan aku," wanti Shane pada Dani sebelum perhatiaan nya teralihkan pada ponsel yang baru saja dia keluarkan dari saku jaket.
"Jangan libatkan kita," imbuh Emma. Seorang pramusaji datang membawa hidangan penutup ketiga Emma: es krim stroberi dengan sirup coklat. "Aku jadi penasaran seperti apa seseorang bernama Theo ini," katanya. "Dan, seperti apa dia?"
"Menurutmu seperti apa sampai seseorang seperti Damian D’Angelo menginginkannya sebagai menantu?"
Dani memutar bola mata mendengar Shane. Pemuda itu memang paling jago menyanjung.
Emma ber'ah' ria.
Setelah meletakan ponselnya, Shane menatap Dani dan kembali berujar, "Kau tahu apa yang bisa ayahmu lakukan jika dia mengetahui ini?"
Shane bukan orang awam bagi keluarga Dani. Mereka telah berteman sejak sekolah menengah pertama, jauh sebelum mereka mengenal Emma di sekolah menengah atas. Shane dan Dani direkatkan oleh begitu banyak kesamaan. Mereka sama-sama gemar menonton film horor, suka membaca buku, membenci pesta dan keramaian yang berlebih, sulit merasa cocok dengan geng popular, dan sama-sama kerap dipanggil cupu.
Selama pertemanan mereka berlangsung, tak terhitung seberapa seringnya Shane telah mengunjungi kediaman besar keluar D’Angelo, walaupun hanya sekedar untuk bermain video game, menginap di malam minggu, sampai berenang cuma-cuma di musim panas. Dari situ, Shane kenal baik keluarga Dani. Pemuda itu tahu banyak hal, mulai dari kebiasaan minum teh chamomile Mrs. D’Angelo setiap sore. Latihan golf yang tidak pernah Mr. D’Angelo tinggalkan bersama menantunya setiap akhir pekan. Dan kebiasaan kakak Dani, Gia, yang tidak pernah bisa berhenti membersihkan dan merapikan sesuatu, sekaligus menceramahi adiknya.
Shane cukup mengenal keluarga itu. Dan dia tahu benar apa yang bisa seseorang seperti Damian D’Angelo lakukan, terutama jika itu menyangkut keluarganya. Dani pun tahu itu.
Namun untuk kali ini, putri bungsu di keluarga D’Angelo itu memilih untuk mengabaikannya. Itu mudah, sebab selain sabuk hitam di karate, Dani juga menguasai ilmu ‘menjadi tidak peduli’. Suatu keahlian yang benar-benar seperti sebuah pisau. Dani harus tahu situasi dan cara yang tepat untuk menggunakannya, jika tidak ingin dirinya sendiri celaka. Tapi sekarang, celaka pun tidak jadi masalah.
"Shane, menikah dengan Theo adalah titik terburuk dalam hidupku. Maka apapun yang akan ayahku lakukan tidak akan bisa lebih buruk dari itu."
***

Comentário do Livro (13)

  • avatar
    InaGinawati

    sangat cocok

    15/08

      0
  • avatar
    Agus Surono

    wabagus

    04/07

      0
  • avatar
    Azzam Al Zafran

    🤩🤩

    19/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes