logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

3. The Smile of Latte's Foam

"Dani, menurutku tidak ada salahnya kau menikah dengan ... Ta... Tha-siapa tadi?"
"Theo," Kata Dani, mencoba tidak heran mengapa Emma bisa lupa nama sesederhana itu, dan apa sebenarnya yang ada di dalam otak perempuan itu selain sayap ayam krispi dengan saus yang lezat.
"Nah itu. Kalian sudah mengenal sejak lama dan hubungan kalian bahkan tidak buruk," Emma melanjutkan, "Dia bukan musuhmu di taman kanak-kanak atau salah satu dari anak-anak yang merundungmu di boks pasir bukan?"
Dani selalu menjadi musuh yang abadi bagi kelompok anak-anak cewek yang selalu memakai barang-barang bernuansa pink, menonton segala macam film Barbie, dan selalu merengek untuk diajak pergi ke Disneyland setiap Minggu, karena dia tidak memiliki idealis yang sama seperti mereka. Meskipun sebenarnya Dani menonton semua film Barbie dan tidak keberatan pergi ke Disneyland setiap Minggu. Anak-anak cewek itu memutuskan untuk tidak menyukai Dani sejak Dani menolak terlibat dalam drama yang mereka buat untuk menarik perhatian Nate, salah satu anak cowok yang setiap hari selalu datang dengan sepatu baru.
Mata Shane membulat saat menatap Dani, terkejut. "Kau juga pernah dirundung di boks pasir? Aku pikir hanya aku."
"Apa maksudmu?" mata Dani tak mau kalah bulat. "Kukira kau bilang waktu itu di toilet."
"Sebenarnya dua."
Shane bahkan tidak harus menjelaskan lebih lanjut sampai Emma memeluknya, menggumamkan kata-kata penyemangat layaknya sahabat yang baik. Menurutnya, duka sesama penyintas perundungan harus dibagi.
"Astaga Shane, aku-aku ... aku bahkan tidak tahu-"
"Jangan berusaha merubah topik, Daniela," Kata Emma, bersungut-sungut kesal. "Kita sedang membicarakan tentang kau dan pernikahanmu."
Sebelum menjawab pertanyaan Emma, Dani menghela napas. "Tidak. Dia bukan salah satu dari anak-anak yang merundung ku di boks pasir. Tentu saja tidak. Aku bahkan belum mengenalnya saat itu, tapi yah ..., kami baik-baik saja." Dani mengerang frustasi. "Tapi kalian tidak mengerti. Kami tidak lagi pernah bertemu selama enam belas tahun. Aku bahkan tidak yakin apa aku masih mengenalnya."
Dan sekarang Dani membenci Theo sebanyak dia membenci anak-anak dugal yang sudah menghancurkan masa kecilnya itu. Terimakasih pada perjodohan konyol ini.
"Jadi, kau ke sini untuk kabur?" terka Shane.
Dani tidak ingin menganggap ini sebuah pelarian diri, kabur atau apapun itu. Tapi dia tidak bisa menemukan kata lain yang dapat mendeskripsikan keadaan yang dia alami; menyelinap keluar lewat jendela kamar mandi ketika ibunya tidak mengawasi, hampir tanpa sepeserpun uang kecuali yang dia temukan di saku, mungkin uang beberapa minggu lalu yang lupa Dani keluarkan sebelum dia memasukan celananya ke dalam tumpukan pakaian kotor, yang akhirnya hanya cukup untuk membayar ongkos taksi sampai apartemen Shane, mereka kemudian menelpon Emma dan memesan makanan.
Shane melanjutkan, "jika kau tidak ingat, aku dan Emma adalah—entahlah ... satu-satunya temanmu, mungkin? Jadi kemana kau pikir orang-orang rumah akan mencarimu?"
"kemana?"
Dengan satu pertanyaan itu Shane dan Dani harus menahan diri mereka untuk tidak menggebuki Emma menggunakan sayap ayam krispi.
***
Pengusiran dengan cara terhalus yang pernah Dani tahu itu membuatnya terdampar di kafe kopi Perancis yang bahkan namanya sulit untuk dilafalkan oleh lidahnya, bersama secangkir latte. Dani bersumpah, mencoba melafalkan nama tempat itu hanya akan menambah daftar hal-hal yang akan membuat hari ini semakin sial.
Itupun sebelum Dani tahu bahwa seseorang akan duduk di seberangnya. Orang asing yang tidak pernah Dani duga kehadirannya.
"Sepertinya aku datang di saat yang tepat."
"Apa?"
Awalnya Dani berniat mengabaikan siapapun pria di hadapannya sekarang—seperti yang biasa Dani lakukan saat seseorang menyadari siapa dia bahkan tanpa make. Tapi kali ini Dani mendongak.
Seorang pria di hadapannya. Dengan ketampanan yang sering ditemukan di sampul-sampul majalah dan iklan-iklan di tv. Setidaknya bukan seseorang yang pernah merundungnya di boks pasir saat TK: rambut coklat muda, garis hidung yang tinggi dan lurus, mata biru yang indah, alis tebal, jambang yang dicukur rapi. Sekilas dia tampak seperti Chris Evans versi lebih muda.
Pria itu berdiri di depan meja Dani, mengenakan celana jins hitam, kaos putih dan jaket Balenciaga koleksi musim panas tahun lalu.
"Sepertinya aku datang di saat yang tidak tepat, tempat ini ramai di siang hari," kata pria itu. "Keberatan kalau aku duduk di sini?"
Ragu-ragu Dani menggeleng. “Tidak. Tidak sama sekali.”
Sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, tentu saja dia keberatan berbagi meja dengan orang asing, tidak penting sekalipun orang itu supercakep. Tapi mana mungkin Dani bisa mengatakan tidak. Lagipula, Dani masih mencoba memastikan kenapa tepatnya pria di hadapannya nampak tidak asing. Ada sesuatu yang tidak asing di diri pria itu, kecuali fakta bahwa dia memakai jaket yang sama seperti yang Dani miliki—beruntung dia tidak memakainya keluar hari ini. Selain karena wajah itu mirip dengan Chris Evans, salah satu selebriti yang dia taksir, Dani yakin dia tidak pernah melihat wajah itu sebelumnya.
Mungkin Dani pernah menjumpainya di beberapa halaman majalah Vogue. Senyum itu pun tidak asing. Mungkin Dani pernah melihatnya sembari pria ini mempromosikan produk minuman soda bebas gula, atau makanan ringan untuk diet sambil memamerkan badannya yang ideal, selama jeda komersial di tv. Atau mungkin mereka pernah bertemu sebelumnya, di sebuah studio atau pesta memuakkan penuh orang-orang sampai Dani tidak bisa mengingat wajah mereka satu-persatu.
"Maaf, apa sebelumnya kita pernah bertemu?" Akhirnya Dani tidak tahan untuk tidak bertanya.
Pria itu menurunkan cangkir kopi yang dia seruput dari wajahnya. "Mungkin? Aku juga memikirkan hal yang tentangmu." Pria itu tersenyum, membuat ketampanannya bertambah sebanyak tiga kali lipat. Kemudian wajahnya menunjukan sebuah mimik serius, seolah dia tengah memikirkan sesuatu. "Umhh—kau ..."
"Dani," kata Dani.
Mungkin mereka memang saling mengenal dan Dani memiliki hasrat yang tidak terbendung untuk mengetahui kebenaran itu dengan segera. Sebab tidak mungkin dia pernah bertemu dengan seseorang yang mirip dengan Chris Evans lalu melupakannya begitu saja. Pasti ada semacam penjelasan.
"Ah, tentu. Aku tahu." Senyum semakin lebar pria itu ulas.
"Sungguh? Kita pernah bertemu sebelumnya?" Pria itu menyesap kopinya lagi sebelum mengangguk. "Di suatu tempat?" terka Dani.
Pria itu mengangguk. "Ya, di suatu tempat."
"Ingatanku buruk sekali. Aku harusnya mengenalimu." Tapi Dani bahkan tidak bisa mengingat di mana tepatnya mereka pernah bertemu. “Apa kau seorang model?” Mungkin mereka pernah bertemu di acara komunitas. Tapi pria itu menggeleng, mematahkan tebakan Dani. “Kau yakin kita pernah bertemu?”
“Ya. Beberapa kali. Kau Daniela, bukan? Daniela D’Angelo?”
Dani merasakan hantaman perasaan tidak enak. Pria ini tahu namanya saat dia benar-benar tidak memiliki informasi atau ingatan apapun mengenai pria itu. Sebetulnya, fakta bahwa pria ini mengetahui namanya tidak terlalu mengherankan. Bukan sekali atau dua kali Dani didatangi orang asing yang penasaran apakah dia Daniela D’Angelo si model, atau orang asing yang sekedar memberitahu Dani bahwa dia memiliki kemiripan wajah yang mengesankan dengan seorang model bernama Daniela D’Angelo. Tapi pria ini begitu yakin bahwa mereka pernah bertemu. Itu aneh.
“Maaf, tapi siapa namamu? Aku benar-benar lupa." Dani mengulurkan tangan.
Ada jeda di mana pria itu memandangi uluran tangannya. Meletakan kopinya perlahan. Tersenyum lembut seperti busa latte yang menempel di sudut bibir Dani, kemudian menjabat tangannya.
Bahkan jabat tangannya terasa tidak asing.
"Theo," kata pria itu. “Hai, Dan.”
***

Comentário do Livro (13)

  • avatar
    InaGinawati

    sangat cocok

    15/08

      0
  • avatar
    Agus Surono

    wabagus

    04/07

      0
  • avatar
    Azzam Al Zafran

    🤩🤩

    19/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes