logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 6 Tunggu Balasanku

“Pasti itu, Ti. Pokoknya kamu jangan jauh-jauh dari hape yang Ibu berikan. Jangan pernah tinggalkan hape itu meskipun sebentar. Ibu khawatir saat Ibu menelepon kamu sedang tidak ada di dekat hape,” kata Bu Nara mewanti-wanti.
“Baik, Bu. Hape ini pasti kubawa meskipun sedang ke kamar mandi. Aku juga nggak mau Rara atau Mas Dedy tahu bahwa aku punya hape baru,” angguk Wati.
“Kamu hati-hati di sana ya, Ti. Pokoknya kalau ada apa-apa, kamu kabur saja,” pesan Bu Nara lagi.
“Ya, Bu. Kalau keadaan di sana sudah nggak enak, aku pasti kabur,” ujar Wati.
“Jangan lupa kamu ambil buku nikah dan surat-surat penting lain kalau ada. Biar gampang buat mengurus perceraian dengan Dedy nanti,” tambah Bu Nara lagi.
Membesarkan Wati sejak bayi membuat Bu Nara merasa Wati adalah anaknya sendiri. Meskipun banyak anak-anak lain di panti, tapi Bu Nara paling sayang kepada Wati. Hanya Wati yang paling menurut dan patuh terhadapnya ketika masih kecil maupun setelah beranjak dewasa hingga menjelang pernikahannya dengan Dedy.
Dulu, sebetulnya Bu Nara kurang setuju Wati berpacaran dengan Dedy. Dedy dianggap Bu Nara sebagai pemuda yang kurang bertanggung jawab dan hanya mau enaknya sendiri. Tapi Bu Nara tidak bisa berbuat apa-apa setelah melihat Wati sangat menyukai Dedy. Ketika Dedy melamar Wati, Bu Nara terpaksa menerimanya karena Wati sudah tak mau lagi berpisah dengan Dedy.
Dedy yang berwajah tampan dan suka bertingkah nakal itu memang menjadi idola banyak gadis di sekolah. Wati sangat bangga ketika Dedy memilih dirinya dibandingkan dengan gadis-gadis lain temannya di sekolah. Kenyataan bahwa Dedy hanya bisa menghabiskan harta orang tuanya dan malas belajar tidak dianggap hal penting oleh Wati yang saat itu masih polos.
“Kalau begitu aku pamit dulu, Bu. Kalau kesorean aku takut Rara dan Mas Dedy keburu pulang dari toko di pasar,” ujar Wati.
“Baik kalau begitu. Hati-hati ya, Ti,” kata Bu Nara sebelum bangkit berdiri untuk mengantarkan Wati sampai ke pintu depan.
“Aku pulang ya, Bu,” ujar Wati seraya meraih tangan Bu Nara untuk dicium, seperti kebiasaannya dulu ketika masih berada di panti dan belum menikah.
Wati terkejut saat tangannya bertemu dengan telapak tangan Bu Nara, ada sesuatu di dalam tangan itu. Bu Nara menggenggam erat tangan Wati, lalu mendorong benda dari kertas yang ternyata adalah amplop.
“Apa ini, Bu?” tanya Wati bingung.
“Ibu ada sedikit uang buatmu. Kamu pasti perlu uang juga, kan. Biar kamu nggak terlalu tergantung pada uang pemberian Dedy,” ujar Bu Nara dengan sorot mata penuh kasih sayang.
Seketika Wati tersedu. Perhatian Bu Nara tidak berubah sedari Wati belum menikah dan masih tinggal di panti. Rasa bersalah merayapi hati Wati yang hampir tak pernah mengunjungi Bu Nara setelah menikah. Wati merasa menjadi anak durhaka.
“Ibu, Ibu, sebetulnya sejak masuk ke rumah Rara aku tidak pernah lagi diberi uang oleh Mas Dedy. Untuk pergi ke rumah Ibu sekarang ini saja aku mengambil uang dari saku celana Mas Dedy yang lupa dikeluarkannya saat mengganti pakaian kotor,” ungkap Wati lirih. Bu Nara menghela napas.
“Aku sudah menduga. Jadi kamu betul-betul diperlakukan seperti budak di sana,” kata Bu Nara sedih.
“Mas Dedy merasa cukup telah memberiku tempat tinggal dan makan. Itu pun rumah dan makanan milik Rara,” ujar Wati lagi.
“Dedy, Dedy, kok ada ya lelaki macam dia,” gerutu Bu Nara sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Sudah, kamu simpan amplop ini baik-baik. Jangan sampai Dedy atau madumu tahu kamu punya uang,” pesan Bu Nara.
“Ya, Bu. Pasti aku sembunyikan uang ini baik-baik,” janji Wati.
Wati kemudian pamit pulang. Kepergiannya diiringi tatapan mata berkaca-kaca dari Bu Nara. Bu Nara tak menyangka bahwa akan begini nasib anak asuh kesayangannya di panti.
***
Angkot yang ditumpangi Wati lama berhenti dan diam di beberapa tempat untuk menunggu penumpang penuh. Hati Wati menjadi gelisah.
“Pak, cepat jalan, Pak,” pinta Wati kepada supir angkot.
“Sebentar, Mbak. Tunggu penuh dulu,” tolak supir angkot.
Wati semakin murung. Matahari semakin meluncur turun ke arah barat. Sore semakin gelap. Wati sangat cemas ia terlambat pulang ke rumah dan bertemu Dedy dan Rara yang sudah kembali dari toko.
Akhirnya angkot melaju kembali setelah hampir sepuluh menit diam di pangkalan. Wati bernapas lega. Setelah angkot sampai di depan jalan yang menuju rumah Rara, Wati bergegas turun dan membayar.
Setengah berlari ia menuju rumah. Jantung Wati berdebar kencang saat mendapati Rara dan Dedy sudah ada di depan rumah dengan raut wajah yang marah. Bahkan Rara tidak hanya melotot dan cemberut, ia juga berkacak pinggang seraya menghentak-hentakkan kaki melihat kedatangan Wati.
“Bagus! Sudah berani keluar rumah kamu sekarang!” hardik Rara setelah Wati berada di hadapannya.
“Ma—maaf, Ra. Aku rindu dengan ibu asuhku di panti dulu,” kata Wati dengan suara bergetar. Tangannya pun gemetar saat berbicara.
“Kan aku sudah bilang tadi pagi, kapan-kapan saja kita ke sana. Dasar bandel,” bentak Dedy tak kalah garang dengan mata melotot.
“Sudah pergi nggak bilang-bilang, lama lagi! Tahu kamu kalau kami ini pulang itu lapar mau makan. Eh, datang-datang rumah terkunci. Dasar nggak punya ot*k!” teriak Rara seraya menjambak rambut Wati.
Wati menjerit kesakitan saat kuku panjang Rara yang selalu dirawat ke salon mengenai kulit kepala Wati tanpa belas kasihan.
“Ampun, Ra. Sakit ...,” lirih Wati seraya meringis. Air matanya mengalir tanpa Wati kehendaki. Rasanya sakit sekali.
“Sudah, Sayang. Nggak enak sama tetangga. Kalau mau mengamuk di dalam saja,” lerai Dedy dengan suara yang dibuat rendah.
Sepasang mata Dedy melirik ke kiri dan kanan, takut dengan pandangan mata tetangga yang menatap cemas dari jendela rumah masing-masing. Rara melihat juga ada beberapa tirai yang bergerak di balik jendela. Pastilah beberapa orang sudah melihat aksinya barusan.
“Huh! Dasar kepo,” gerutu Rara pelan sambil bersungut-sungut.
“Cepat keluarkan kunci rumah!” bentak Rara kepada Wati.
Wati cepat-cepat membuka tas kain jelek yang dibawanya, lalu mengeluarkan kunci rumah secara terburu-buru. Sebelum Rara membentak lagi, Wati bergegas membuka pintu rumah Rara yang dikuncinya sebelum pergi.
Mereka bertiga berebutan masuk ke dalam rumah. Rara kembali mengamuk setelah masuk.
“Awas kalau kamu berani keluar rumah lagi sejak hari ini. Kamu nggak boleh pergi kecuali aku suruh, Mbak,” sembur Rara seraya menoyor kepala Wati.
Wati melindungi kepalanya dengan menyilangkan kedua tangan. Tak ada suaranya yang keluar.
“Kamu dihukum hari ini. Nggak ada makan malam buatmu sampai besok pagi!” pekik Rara seperti orang kesetanan.

Comentário do Livro (123)

  • avatar
    Andre Varela

    free Fire

    18/07

      0
  • avatar
    Silvi Yati

    bagus

    08/07

      0
  • avatar
    SyadillahAhmad

    sangat baik

    03/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes