logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 4 Kejutan

4
Kejutan
Wati mengambil tas kain jelek yang menjadi satu-satunya tas yang dimilikinya setelah menikah dengan Dedy. Ia memasukkan dompet ke dalam tas dan bersiap-siap untuk pergi pada waktu yang telah direncanakan. Sekarang ia harus mengantarkan makan siang lebih dulu. Ia kenakan pakaiannya yang terbagus, meskipun itu pun warnanya sudah pudar dan terlihat lusuh.
Semua sudah Wati rencanakan matang-matang. Tepat pukul satu siang, setelah mengantarkan makan siang ke toko kelontong milik Rara, Wati melaksanakan aksi. Pada jam-jam begini Dedi dan Rara sedang sibuk di toko. Mereka tidak akan pulang sampai sore menjelang malam. Wati bebas.
Wati keluar dari rumah dengan hati gembira. Harapan akan bertemu lagi dengan ibu pengurus panti yang baik membuat Wati bersemangat. Dengan bersenandung kecil, Wati berjalan menuju tepi jalan besar untuk menunggu angkutan kota.
Wati tidak bisa menggunakan ojek online untuk bepergian karena tidak punya ponsel. Rara juga tidak pernah mengizinkan Wati untuk memiliki alat komunikasi itu, meskipun ponsel dengan harga paling murah. Hanya Dedy yang diberi ponsel oleh Rara, setelah mereka resmi menikah.
Jarak antara rumah Rara dengan panti asuhan tempat dulu Wati dibesarkan tidak terlalu jauh. Wati bersyukur karena itu artinya ia tak perlu banyak menghabiskan waktu.
Tiga puluh menit di perjalanan, Wati sampai di depan rumah yatim piatu tempatnya dulu dibesarkan. Melihat bangunan itu saja sudah membuat hati Wati merasa senang.
Bangunannya masih seperti dua tahun yang lalu, saat ia meninggalkan rumah yatim itu untuk menikah dengan Dedy. Hanya cat temboknya saja sudah diperbaharui sehingga rumah itu terlihat lebih berseri.
“Permisiii,” seru Wati setelah mengetuk pintu utama rumah yatim piatu itu.
Tidak lama menunggu, Wati mendengar langkah-langkah kaki mendekati pintu. Saat pintu terbuka, Wati melihat ibu pengurus panti yang telah semakin tua terbelalak di hadapannya.
“Wa—wati? Kamu Wati, kan?” desis ibu pengurus panti dengan mata terbelalak. Ia seolah tak percaya bahwa betul-betul Wati yang berada di hadapannya saat ini.
“Iya, Bu. Ini aku Wati,” kata Wati, lalu meraih tangan ibu pengurus panti untuk dicium olehnya. Perbuatan itu sudah biasa dilakukan Wati terhadap ibu pengurus pantinya sejak ia dapat mengingat meskipun umurnya masih kecil.
“Masuk, masuk. Kurusan kamu sekarang,” celetuk ibu pengurus panti ramah.
Wati tersenyum. Ia menyadari bahwa penampilannya saat ini sama sekali tidak enak dipandang. Tubuh kurus, wajah tidak terurus, dan kulit kering dan pecah-pecah. Masih ditambah lagi dengan pakaian yang melekat di tubuhnya amat lusuh. Berbeda sekali penampilan Wati dengan ibu pengurus panti yang gemuk dan berpakaian layak.
“Apa kabarmu, Ti? Kamu sendirian kemari? Suamimu kerja?” tanya ibu pengurus setelah mereka duduk di kursi ruang tamu panti.
“Iya, Bu. Mas Dedy kerja,” sahut Wati dengan hati perih.
Ia ingin menceritakan seluruh keadaan hidupnya saat ini pada ibu pengurus panti, tapi ia merasa saatnya masih kurang tepat.
“Kebetulan kamu datang berkunjung kemari. Ibu senang sekali. Ibu ingin menghubungimu tapi tidak tahu ke mana dan harus menghubungi siapa,” kata ibu panti dengan wajah berseri-seri.
“Maaf aku baru sempat bertandang sekarang, Bu. Ada apa, Bu?” tanya Wati heran.
“Keluarga yang dulu pernah membuangmu, datang kembali untuk mencarimu,” terang ibu pengurus panti dengan suara bersemangat.
Wati terbelalak.
“Keluarga?” ulang Wati tak percaya. Betulkah Wati memiliki keluarga? Bukan anak yatim piatu yang tak memiliki siapa-siapa?
“Iya. Panjang ceritanya sampai kamu dititipkan ke sini sewaktu bayi. Singkatnya, ayah dan ibumu masih hidup. Mereka datang kemari dengan mobil mahal. Mereka kaya, Ti!” ungkap ibu pengurus panti dengan penuh semangat.
Wati ternganga. Wati mengucek-ngucek matanya. Ia juga mencubit lengannya sendiri. Ia perlu meyakinkan diri bahwa semua ini bukan mimpi di siang bolong.
“Awww,” jerit Wati, saat Bu Nara ikut mencubit lengannya.
“Sakit, Bu,” rintih Wati.
“Aku bantu kamu meyakinkan diri, bahwa semua ini bukan mimpi,” ujar Bu Nara tenang. Tak tampak raut bersalah sedikit pun pada wajahnya.
Wati mengelus-elus lengannya yang memerah akibat dicubit oleh Bu Nara sebelumnya.
“Tapi, Bu. Apa semua ini nyata? Mereka nggak salah orang, kan?” tanya Wati dengan ekspresi wajah yang cemas.
Sejak lahir hidup dalam pengetahuan bahwa dirinya adalah anak yang terbuang dari keluarga yang tak menginginkan, membuat Wati tak sepenuhnya meyakini ucapan Bu Nara.
Pertanyaan Wati lahir dari perasaan takut bahwa anugerah yang baru saja diberikan tiba-tiba ditarik kembali. Ia tak mau kecewa, seperti rasa kecewa yang dialami bocah ketika diberikan permen lolipop besar lalu tiba-tiba permen itu jatuh ke dalam parit. Kecewa dan sakit hati pasti rasanya.
“Ibu yakin mereka nggak salah orang. Pasti kamu yang mereka cari. Ciri-ciri bayi yang mereka ceritakan itu ya kamu ketika dibuang ketika bayi,” tegas Bu Nara lagi.
“Memangnya apa ciri-ciriku sewaktu bayi, Bu?” tanya Wati penasaran.
“Kamu diletakkan di dalam keranjang yang jelek sekali, tapi anehnya baju dan selimut bedong yang kamu kenakan itu sangat halus dan mewah,” terang Bu Nara.
“Tapi, mengapa mereka dulu membuangku, Bu?” tanya Wati heran.
“Sebetulnya mereka tidak membuangmu. Ada orang jahat di dalam keluarga yang tidak menginginkan kehadiranmu di dalam keluarga ayah ibumu. Dia menukar bayimu dengan bayi yang lain, lalu kamu disingkirkan,” kata Bu Nara dengan pandangan mata menerawang.
Bu Nara mengingat kembali kisah yang diceritakan oleh Bapak dan Ibu Sultan kepada dirinya seminggu yang lalu. Sampai sekarang, Bu Nara masih ingat wajah istri Pak Sultan yang sangat mirip dengan wajah Wati. Hanya saja, wajah Bu Sultan kelihatan lebih halus, mulus, putih, dan tak bercela. Sangat berbeda dengan wajah Wati yang dihadapinya saat ini, kusam dan terlihat gelap.
“Lalu bagaimana caranya mereka sampai tahu bahwa aku tertukar?” lanjut Wati, masih penasaran karena belum semua masa lalunya terungkap.
“Orang yang menukarmu membayar orang untuk membuang bayi. Kebetulan, orang suruhan ini sakit parah. Menjelang ajal, ia merasa bersalah kepada keluargamu dan mengakui perbuatannya di masa lalu kepada ayah dan ibumu. Tes DNA dilakukan pada anak mereka. Hasilnya, ternyata betul bahwa anak yang mereka sangka anak kandung ternyata bukan anak mereka,” kisah Bu Nara panjang lebar.
Wati mengangguk-angguk paham. Jauh di lubuk hatinya, Wati masih merasa semua ini seperti dalam mimpi saja.
“Kapan orang tuaku itu datang kemari, Bu?” tanya Wati setelah terdiam selama beberapa menit.
“Seminggu yang lalu. Ibu sampai bingung, karena kamu kan nggak punya ponsel. Setelah menikah juga kamu baru sekali datang kemari. Ibu sih ingat alamat rumahmu yang dulu, tapi saat kami datangi ternyata kamu sudah tidak tinggal di situ lagi,” oceh Bu Nara.
“Iya, Bu. Saya pindah ke rumah yang lain sudah beberapa bulan,” kata Wati pelan.
Ia tak tega untuk mengatakan bahwa ia pindah ke rumah istri baru suaminya. Setelah kabar mengejutkan yang diberikan oleh Bu Nara, Wati mengubah pikirannya untuk curhat dan meminta pendapat Bu Nara tentang hidupnya yang menyedihkan.

Comentário do Livro (123)

  • avatar
    Andre Varela

    free Fire

    18/07

      0
  • avatar
    Silvi Yati

    bagus

    08/07

      0
  • avatar
    SyadillahAhmad

    sangat baik

    03/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes