logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 6 Laki-Laki Misterius 2

Suara seperti orang mondar-mandir di depan pintu masih saja terdengar. Aku dan Toni kini berdekatan. Wajah Toni berubah pucat. Ia baru merasakan diganggu demit perempuan itu sedangkan aku tiap malam.
“Agit, itu suara apa? bisiknya lagi.
“Enggak tahu, coba kamu lihat, ucapku kepada Toni yang semakin merapatkan tubuhnya kepadaku.
Enggak mau, kamu aja sana, katanya mendorong-dorong punggungku.
Seenaknya saja Toni mendorong-dorong punggungku dan menyuruh melihat ada apa di luar. Aku juga sama merinding dan gemetar ketakutan, tetapi setidaknya sekarang aku tidak sendiri.
Aku melihat jam di ponsel, masih pukul sepuluh lewat tiga puluh menit. Kami berdua diam saja sambil mendengarkan bunyi di luar. Mulutku komat-kamit membaca ayat kursi, sedangkan Toni membenamkan wajahnya di punggungku.
“Bacalah ayat kursi, bantu aku, ucapku sedikit kesal.
“Aaku tak hafal, Git, ujarnya membuatku terkejut.
Masa iya ayat kursi saja Toni tak hafal. Aku yang salat masih bolong-bolong saja setidaknya hafal kalau cuma sekadar ayat kursi dan surah-surah pendek.
“Hah, kamu enggak hafal, Ton? Ya sudah baca surah An-Nas atau surah pendek lainnya, ucapku keheranan.
“Aaku cuma hafal Al-Fatihah, sahutnya semakin membenamkan wajahnya.
Aku sangat terkejut mendengar pengakuan Toni. Ini anak pernah belajar ngaji atau enggak, sih. Masa cuma hafal Al-Fatihah saja. Aku hanya menggeleng, menarik dan mengembuskan napas kasar.
Selama berteman dengan Toni, yang aku tahu ia hanya tamat sekolah dasar. Ia tak melanjutkan sekolah karena memang tak mau. Laki-laki bertato ini cukup bandel dulunya. Padahal keluarganya cukup berada. Menurutku orang tuanya sanggup menyekolahkan Toni sampai ke perguruan tinggi. Kakak perempuannya sekarang bekerja di salah satu bank ternama di Indonesia. Bengkel yang Toni kelola pun kakaknya yang memberi modal.
Namun, aku benar-benar tercengang temanku yang satu ini tak pernah belajar ngaji. Menurut pengakuannya malam ini, ia memang suka kabur saat pergi mengaji. Orang tuanya pun sudah angkat tangan menghadapi kenakalannya. Toni pernah pergi dari rumah dan tinggal di jalanan. Ibunya menangisinya siang malam, sampai akhirnya kakak perempuannya menemukan temanku ini dan membawanya pulang.
Aku masih bersyukur walaupun aku dulu nakal, tetapi masih ada rasa takut dan hormat kepada orang tua. Ya, aku yang besar di desa mungkin pergaulannya tak sebebas di kota.
Akhirnya, suara itu berhenti. Hati terasa lebih tenang. Semoga saja demit itu tak kembali berulah.
Aku menyarankan agar Toni belajar ngaji. Setidaknya ia punya bekal dan pegangan untuk hidup. Namun, Toni menolak ia malu dan sudah bukan waktunya belajar katanya.
“Jangan malu dan enggak ada kata terlambat untuk belajar, Ton. Ayo, pokoknya kamu harus belajar ngaji, ajakku, kasihan juga melihat temanku ini.
Melihat sorot matanya seperti ada keinginan untuk belajar, tetapi mungkin ia hanya malu dan tidak percaya diri.
“Enggak, ah, lagian aku bertato di lengan dan kaki. Para ustaz pasti enggak mau nerima orang kaya aku, ucapnya datar.
“Siapa bilang, justru ustaz itu senang kalau ada orang yang mau berubah dan belajar. Masalah tato, biarkan saja, itu urusan Allah denganmu nanti. Aku mencoba memberi semangat kepada Toni.
Kasihan kalau ia tak dibekali ilmu agama sedikit pun, ya, setidaknya ia harus bisa salat dan mengaji.
Toni hanya bergeming. Ia bilang akan dipikirkan lagi nanti, tetapi aku harus membantunya. Nanti akan kucarikan guru ngaji di sekitar sini agar ia bisa belajar.
Malam semakin larut, sudah tak ada lagi gangguan dari si demit. Mungkin ia kabur kepanasan setelah aku berulang kali baca ayat kursi tadi.
Aku dan Toni cukup merasa tenang. Televisi masih menyala dan kami tetap pada ponsel masing-masing. Tiba-tiba seperti ada yang melempar sesuatu ke arah pintu sehingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Lalu terdengar tawa melengking dari luar.
Kembali aku dan Toni saling pandang. Wajah Toni pucat pasi. Dengan cepat ia mendekat kepadaku lagi. Jantungku berdebar sangat kencang. Baru kali ini aku mendengar suara tertawa kuntilanak. Membuat bulu kuduk meremang. Tangan dan kakiku terasa dingin. Keringat mulai bercucuran dari pelipis dan dahi.
Mendadak aku lupa bacaan surah-surah pendek dan ayat kursi karena saking ketakutan dan gugupnya mendengar tawa melengking demit perempuan itu.
Aku benar-benar tak bisa mengingatnya. Ah, kesal sekali rasanya. Toni meringkuk di bawah selimut, sepertinya ia lebih ketakutan daripada aku.
Otakku tak bisa mengingat sama sekali ayat-ayat suci Al-Qur'an. Kini aku hanya duduk mematung tak bisa bergerak sedikit pun. Aku seperti terhipnotis oleh lengkingan demit itu.
“Agit, sini. Kamu kenapa diam aja, sih? bisik Toni di belakangku.
Aku tak bisa menggerakkan tubuhku sama sekali. Ingin rasanya aku bergabung di bawah selimut dengan temanku itu, tetapi anggota tubuhku semua kaku.
Tiba-tiba saja tirai terbuka dengan sendirinya dan memperlihatkan demit perempuan itu berdiri di depan kosanku. Wajahnya yang tertutup rambut, kini ia sibakkan, sehingga mataku bisa menangkap dengan jelas wajahnya yang terdapat banyak luka lebam. Darah menetes dari ujung bibirnya.
Tak pernah terbayangkan sebelumnya aku akan mengalami dan melihat makhluk tak kasat mata ini.
Aaahhh, teriakku sekencang mungkin, mambuat Toni menampakkan kepalanya dari balik selimut.
Kamu kenapa, Git? Toni bangkit dan mengguncang tubuhku.
“Tatadi kuntil itu menampakkan diri di sana. Jari telunjukku menunjuk ke luar jendela yang tirainya sudah terbuka.
Toni dengan sigap menutup tirai jendela. Ia menarik tubuhku ke bawah selimut. Kami diam di sana sampai akhirnya tertidur.
Entah apa yang terjadi lagi semalam. Aku bersyukur tertidur hingga pagi. Sekitar pukul enam Toni pamit pulang. Kini aku sendirian di kosan.
“Git, aku pulang dulu ya. Mau siap-siap buka bengkel, ujar Toni setelah cuci muka.
“Iya, Ton. Thanks ya udah mau nemenin. Nanti siang aku main ke bengkel.
“Iya, Git. Nanti malam aku temenin lagi, deh. Anggap aja sebagai permintaan maaf aku ke kamu, ya, ucapnya.
“Iya, udah enggak usah dipikirin. Oh iya, kamu harus mau ya belajar ngaji, Ton. Nanti aku bantu cariin ustaz deket sini. Aku coba mengingatkan.
Nanti aku pikirin lagi, deh, katanya menunduk.
Sepertinya ia memang ingin sekali belajar, tetapi malu dan takut. Pokoknya aku akan bantu Toni.
“Enggak usah dipikirin dulu. Ingat! Enggak ada kata terlambat untuk belajar dan kamu enggak usah malu. Kamu harus semangat. Aku menepuk pundak temanku itu.
Sebenarnya masih takut, tetapi aku harus memberanikan diri. Setelah mandi aku keluar membeli sarapan. Perutku sudah minta diisi. Lelah semalam diganggu demit membuat tenaga cukup terkuras.
Saat tiba di ujung gang, laki-laki misterius yang kemarin kulihat berdiri lagi di depan kosanku. Ia melihat ke arahku, beradu pandang denganku.
“Itu demit atau bukan, ya? tanyaku kepada diri sendiri.

Comentário do Livro (245)

  • avatar
    KarembongCebong

    Cerita nya serem tapi judulnya menarik👍👍

    13/04/2022

      0
  • avatar
    riskarufia'h

    baru memulai

    19d

      0
  • avatar
    WennyWennymarjeni

    lumayan

    21d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes