logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

BAB 6 TRAGEDI

Di depan UGD, mereka menunggu dengan cemas: Sandra, Naya, Arik, Aeera, juga Abi.
Naya menekuk lutut dan menenggelamkan kepalanya di sana. Ia tak berhenti menangis sejak tadi. Dalam hati Naya begitu menyesal kerap berlaku tidak sopan pada bibi yang sudah merawatnya seperti anak kandung sejak kecil. Dalam hati perempuan itu berjanji untuk menjadi putri yang penurut, termasuk menjalani penikahan dengan Arik sepenuh hati, jika ibunya selamat.
Beberapa artikel yang pernah Naya baca di internet mengatakan bahwa, seseorang yang terjatuh di kamar mandi dengan kepala terbentur, memiliki harapan hidup yang tipis. Meski demikian, setipis apa pun harapan hidup itu, Naya tetap berharap agar ibunya mampu melewati. Ia merasa masih kurang berbakti pada wanita itu.
"Naya, sudah," ucap Abi kala memegang pundak Naya.
Naya mengangguk, lalu berdiri dan memeluk kakak sepupunya. Sejak dulu, meski tinggal serumah, Naya tak pernah seintens itu berhubungan dengan Abi. Namun kini, Naya benar-benar butuh sandaran untuk kesedihannya yang tiada tara.
"Tadi Ibu masih ngomelin aku, Bang." Naya tersedu.
Abi tak menjawab. Ia tahu bagaimana kasih sayang ibunya terhadap Naya, hingga kadang terlalu berlebihan dalam memperlakukan adik sepupunya itu.
Pintu UGD seketika terbuka, membuat semua kepala menoleh ke sana.
Bersamaan mereka menyerbu dokter yang baru keluar. Dokter berkaca mata itu mengembuskan napas, kala memandang raut gelisah dari semua wajah yang menatapnya.
"Pasien masih kritis, sebab benturan tepat mengenai bagian paling penting di kepalanya. Pembuluh darahnya pecah."
Usai berucap demikian, dan meminta keluarga pasien agar bersabar dan berdoa, dokter itu pamit.
Setiap tungkai orang-orang yang tadi mengerubungi dokter itu mendadak lunglai. Setiap hati khusyu melangitkan doa agar Sari segera melewati masa kritisnya.
"Naya sebaiknya kamu pulang. Biar Abang yang jaga di sini," ucap Abi yang ditanggapi gelengan kuat dari Naya.
"Naya mau jaga Ibu saja, Bang," ujar Naya dengan bibir mengulum duka.
Abi menarik napas, kemudian beralih pada Sandra.
"Biar saya sama Naya yang jaga Ibu. Bi Sandra sama yang lain bisa pulang istirahat."
Jika tak mengingat asmanya yang kerap kambuh bila terkena dingin, ingin rasanya Sandra ikut berjaga. Namun, jangan sampai keberadaannya justru membuat situasi bertambah gawat.
Sandra mengangguk. "Baik. Besok kami ke sini lagi."
Sandra, Aeera dan Arik, akhirnya pamit.
.
Sepanjang jalan, Ibu, anak, dan menantu itu terus terdiam, hingga mobil berbelok masuk ke halaman rumah Sari. Ya, malam ini mereka memutuskan untuk menginap di rumah Sari, mengingat jarak antara rumah sakit dan rumah ini lebih dekat dibandingkan jarak hotel dan rumah sakit.
"Bu, Arik pamit kembali ke rumah sakit," ucap Arik saat ibu dan istrinya masuk ke rumah.
Aeera menoleh cepat, mencari kesungguhan di mata suaminya. Jantungnya seperti tercubit. Untuk pertama kali, ia tak dapat membaca raut wajah yang ditampakkan suaminya. Aeera tidak tahu, siapakah yang benar-benar tengah dikhawatirkan Arik. Sarikah, Abi, atau... Naya?
Bergegas, Sandra menuju salah satu kamar, dan kembali dengan selimut tebal dan beberapa bantal. Ia memang telah meminta ijin untuk menggunakan rumah ini pada Abi tadi.
"Ra, Mas pergi, ya?" pamit Arik pada istrinya.
Aeera ingin menolak dan menahan suaminya, tapi ia tak ingin egois. Cepat atau lambat, ia mestilah terbiasa dengan hal ini.
.
Pagi.
Sejak bangun, Aeera menemukan satu ruang kosong dalam dadanya karena ketiadaan Arik di sisinya. Entah harus bahagia atau tidak, sebab rencana pernikahan Arik yang harusnya digelar hari ini, sudah pasti dibatalkan. Kecelakaan yang dialami Sari tidak memungkinkan untuk itu.
"Aeera." Panggilan ibu mertuanya terdengar dari arah dapur
Aeera beranjak menemui mertuanya dan mendapati Sandra sibuk mengolah masakan.
"Ibu kenapa nggak bilang, biar Aeera aja yang kerjain?" tanya Aeera seraya berniat mengambil alih pekerjaan mertuanya.
"Udah, udah ... nggak usah. Kamu bantu Ibu saja goreng ikan. Ini buat sarapan kita di rumah sakit."
Lalu, keduanya sibuk dengan masakan. Sesekali Sandra memuji betapa cantiknya Naya, membuat sudut hati Aeera berkedut. Aeera tak menanggapi, tapi tak juga memotong kalimat pujian yang Sandra lontarkan untuk Naya.
Ponsel dalam saku blus Aeera berbunyi. Ia merogoh, kemudian tersenyum senang mendapati nama sang suami tertera di layar.
"Assalamulaikum, Mas, selamat pagi," ucapnya Ceria.
"Waalaikunsalam, Ra. Tolong kasihkan hapemu ke Ibu."
Mendengar nada suara Arik yang tak mesra seperti biasa, membuat Aeera menarik napas. Hatinya mencelos, sebab ini kali pertama suaminya menelpon tanpa basa-basi.
"Iya, Mas."
"Bu, Mas Arik mau ngomong," ujarnya seraya menyerahkan benda pipih itu pada mertuanya.
"Ya, Rik?"
" ... "
"Oh, ya, ya."
Tak lama kemudian, Sandra menutup telepon.
"Ra, kamu siap-siap, ya? Bentar lagi Arik jemput kita. Katanya bi Sari sudah siuman," ucap Sandra cepat.
Aeera ingin menolak, tapi ibu mertuanya lebih dulu berucap. Jadi, yang dilakukannya hanya mengangguk setuju.
.
Arik bahkan tak masuk ke dalam rumah. Ia hanya menunggu di dalam mobil dan sesekali membunyikan klakson.
Sandra muncul lebih dulu, lalu mengambil tempat di sisi Arik.
"Udah, jangan main klakson terus. Nanti tetangga terganggu, Rik."
"Aeera mana, Bu?" tanyanya.
"Masih dandan mungkin," ucap Sandra.
Arik mengembuskan napas. Untuk kali ini ia merasa sangat kesal pada istrinya yang kadang berlebihan mengulur waktu.
Sementara itu di dalam kamar, Aeera mati-matian menahan isaknya. Ia sungguh berharap Arik masuk sejenak dan memberinya pelukan. Semalam mereka tidur di tempat yang berbeda dan itu sudah cukup membuat rindunya membuncah. Apalagi ia tahu, bahwa sebentar lagi Arik bukan hanya miliknya seorang.
Aeera mengembuskan napas, lalu mencoba menata hatinya dengan tersenyum di depan cermin. Tak ada yang bisa ia lakukan, selain berdamai dengan keadaan.
.
Mobil meluncur membelah jalanan yang belum terlalu ramai. Sepanjang jalan, Sandra terus bertanya perihal Naya.
Apakah gadis itu masih menangis?
Apakah gadis itu tidak tidur semalaman?
Apakah mereka sempat berbicara?
Bagaimana pendapat Arik mengenai Naya?
Semua pertanyaan-pertanyaan itu, terdengar bagai dengung nyamuk di telinga Aeera. Ia menutup mata dan memilih menghadap ke luar jendela, berharap tak mendengar apa pun jawaban suaminya.

Comentário do Livro (400)

  • avatar
    DhimusEko

    bagus

    3d

      0
  • avatar
    LyAlly

    lanjutkan

    22d

      0
  • avatar
    ProbolinggoKarim

    okk

    13/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes