logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

BAB 3 HATI YANG LUKA

"Apa kamu nggak bisa nolak, Nay?" tanya Ardan.
Suara lelaki itu teramat pelan, hingga terdengar seperti bisikan di telinga Naya.
"Apa perasaanmu memang belum sepenuhnya terpaut untukku, hingga semudah itu menerima?"
Angin malam yang berembus membuat suasana yang biasanya syahdu, menjadi sendu. Kabar yang disampaikan Naya sore tadi terdengar seperti pecahan beling, lalu menancap kuat di jantung Ardan. Bagaimana tidak, sepasang kekasih itu telah menjalin hubungan sejak SMA, dan harus diakhiri karena keegoisan sari dan ketidakmampuan Naya untuk menolak. Meski selama menjalin hubungan perasaan Naya terhadap Ardan tak pernah benar-benar utuh, sebab perempuan itu hanya mencoba menghargai apa yang telah lelaki itu upayakan. Naya menyepakati hubungan mereka, sebab dengan Ardan ia bisa melihat dunia yang lebih indah lewat pengetahuan Ardan yang luas.
Naya menggeleng mendengar ucapan Ardan.
"Kenapa kamu bilang gitu, Dan? Naya udah nolak, tapi kamu tahu sendiri Ibu nggak bakal bisa dibantah."
Ardan mengembuskan napas. Naya benar, sekuat apa pun gadis itu menolak, keputusan yang sudah ditekankan Sari tak dapat diganggu gugat.
"Apa perlu aku yang bicara sama Ibu, Nay?" tanya Ardan.
Lelaki itu ingin mencoba memperjuangkan cinta yang sejak dulu ia pupuk, meski ia tahu bahwa hasilnya pasti akan sama. Sejak dulu, Sari memang tak menyukai Ardan.
"Kau mau bicara denganku, Ardan?"
Naya mendongak, dan cukup terkejut mendapati bibinya telah berdiri di ambang pintu.
"Bu, kenapa harus Naya yang menikah dengan lelaki beristri itu? Apa tidak ada pria lajang?" tanya Ardan seraya berdiri.
"Memang apa hakmu melarangku? Aku berhak sepenuhnya atas hidup Naya," tekan Sari.
Naya memilih menuduk mendengar perdebatan keduanya. Bagaimana pun perasan yang coba ia semai beberapa tahun terakhir terhadap Ardan, tetap saja tak bisa mengalahkan baktinya sebagai anak pada seorang wanita yang telah memberikan kehidupan padanya sejak kecil. Sari adalah keluarga terakhir yang ia miliki. Naya tak punya pilihan lain selain patuh pada wanita itu.
"Naya, masuk!" Suara Sari meninggi.
Naya mengangguk, lalu bangkit dan melangkah masuk ke rumah.
Kala punggung Naya tak lagi terlihat, Sari menatap Ardan tajam.
"Naya akan menikah 2 hari lagi. Berhenti mengganggunya. Kau tahu, kan sejak dulu aku tak merestui kalian? Jadi, meski Naya tidak menikah dengan lelaki itu, aku tetap tak merestuimu menjadi suami Naya."
Usai berucap demikian, Sari masuk ke rumah dan menutup pintu. Harga diri Ardan merasa diinjak-injak kala mendapati perlakuan sombong Sari. Ia mengepalkan tangan dan dalam hati berjanji suatu saat akan membawa hati Naya kembali untuknya.
.
Pagi.
"Udah siap, Sayang?" tanya Arik pada istrinya yang sibuk memasang seatbelt.
Aeera mengangguk, lalu tersenyum. Meski perempuan itu terlihat baik-baik saja, tapi siapa dapat mengukur dalamnya luka seorang? Aeera menangis dalam hati. Menghadiri pernikahan suaminya, rasanya seperti menikam jantungnya sendiri.
Perjalanan menuju kota yang dimaksud Sandra memakan waktu 3 jam. Selama perjalanan itu, Arik dan Aeera menghabiskan waktu dengan bercerita apa saja. Masa kecil, remaja, hingga dewasa dan sampai akhirnya menjadi sepasang suami istri.
Aeera adalah yatim yang diangkat menjadi anak di keluarga Arik. Keduanya tumbuh bersama dan memutuskan menikah, sebab merasa jatuh cinta satu sama lain.
"Mas," panggil Aeera tiba-tiba
"Hmm." Arik menjawab tanpa melihat istrinya.
Aeera mengembuskan napas, lalu menelan ludahnya. Ia kembali berpikir untuk menyampaikan maksud hatinya meski tahu apa yang ia ucapkan kemungkinan besar akan membuat amarah suaminya meledak.
"Kenapa, kok, diam?"
Pertanyaan Arik membuyarkan pikiran Aeera tentang segala kemungkinan tanggapan yang akan diberikan suaminya.
"Kalau seandainya ...." Aeera menarik napas.
"Kalau seandainya Mas diminta memilih aku atau perempuan itu ...." Aeera merasa dadanya tiba-tiba sesak. Ia ingin menangis, tapi kalimatnya harus selesai.
"Aku ... aku ikhlas, Mas." Setetes air mata itu akhirnya meluncur bebas di pipinya yang mulus.
Ciiit!
Bersamaan dengan luruhnya air mata Aeera, decit rem yang diinjak keras terdengar. Aeera telah menduga hal ini kan terjadi, jadi kepalanya aman dari tumbukan dasboard sebab masih sempat berpegangan.
Bahu Arik tampak naik turun. Lelaki itu memukul kemudi dengan satu tangan, lalu memijat pelipisnya.
"Apa maksud kamu, Aeera? Kalau kamu nggak setuju sama permintaan ibu, Mas juga nggak akan setuju," ucap Arik dingin.
Hati Aeera koyak. Istri mana yang sanggup berbagi suami? Sungguh, apa yang ia lakukan hanya wujud bakti pada wanita yang telah merawatnya sejak kecil.
Sekian menit sepasang suami istri itu lalui dengan hening. Tak terdengar lagi isak tangis Aeera, meski air matanya masih menetes satu-satu.
Arik berbalik, lalu merengkuh tubuh istrinya. Sesaat kemudian, ia menjauhkan tubuh, menangkup wajah istrinya, dan menghapus jejak air mata di sana.
"Mas bisa batalin semuanya kalau kamu minta, Sayang," ucap Arik tenang.
Sepasang mata mereka bersitatap, saling menyelami betapa dalam cinta masing-masing.
"Aku ... aku takut, kalau nanti Mas bakal ngelupain aku." Aeera kembali tergugu. Ia sadar bahwa jika Arik kelak memiliki anak dari perempuan lain, tidak menutup kemungkinan adik madunya akan meminta menjadi satu-satunya istri dalam kehidupan Arik.
Arik mengecup kepala istrinya. Ia berharap pernikahan kedua ini tak pernah terjadi, dan cukuplah maut menjadi pemisah antara ia dan istrinya.
"Kalau kamu mau, kita pulang, ya? Nanti Mas bicara sama Ibu?" bujuk Arik.
Aeera menggeleng kuat-kuat. Ia tahu bahwa mertuanya memiliki riwayat penyakit jantung. Jadi, membuat wanita sepuh itu kaget sama saja membuka peluang nyawanya melayang.
"Enggak, Mas. Enggak. Kita jalan sekarang. Ibu pasti udah nunggu."
"Kamu yakin?" tanya Arik.
Aeera mengangguk. "Aku ... aku akan menerima semua keputusan Ibu, Mas. Aku akan dampingin kamu," ucapnya dengan bibir bergetar.
Arik merengkuh tubuh istrinya sekali lagi.
"Kamu hanya perlu janji, nggak akan ninggalin aku," ucap Aeera serak.
Lalu, perjalanan mereka yang tertunda kembali berjalan.
.
"Mabuk darat, ya, Ra?" tanya Sandra sembari memeluk menantunya.
"Kamu, kok, pucat?" Sandra menelisik penampilan menantunya.
"Enggak, kok, Bu. Cuma lelah aja dikit," jawab Aeera.
Arik dan Aeera baru saja tiba di kota itu dan langsung menuju hotel yang disebutkan Sandra.
Mendapati perlakuan istimewa dari mertuanya, batin Aeera semakin gamang. Sanggupkah ia mengecewakan wanita penuh kasih sayang itu dnegan menolak rencana pernikahan kedua suaminya? Rasanya tidak. Cukuplah sekali saja ia mengecewakan keluarga suaminya dengan kehamilan yang tak kunjung datang.
"Rik, kalian kenapa nggak singgah istirahat dulu? Liat, nih, Aeera sampe pucat gini?" omel Sandra pada putranya.
"Paling Aeera lapar, Bu," ucap Arik asal, kemudian meraih tangan ibunya dan menciumi sejenak.
"Oh, ya, sudah, kalian pesen makan aja dulu habis itu istirahat. Bentar malam kita ke rumah Bi Sari buat silaturahim."
Kalimat yang dilontarkan Sandra, tak ayal membuat luka hati Aeera kembali menganga.
'Sanggupkan aku, Tuhan. Sanggupkan aku,' batin Aeera.
"Iya, Bu," ucap Aeera, kemudian pamit ke luar kamar menuju kamar sebelah tempatnya bersama Arik.
Sesaat setelah menutup pintu, Aeera menyeka sudut matanya.

Comentário do Livro (400)

  • avatar
    DhimusEko

    bagus

    3d

      0
  • avatar
    LyAlly

    lanjutkan

    22d

      0
  • avatar
    ProbolinggoKarim

    okk

    13/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes