logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 3 Berada di Masa Lalu

Claretta menatap sekelilingnya dengan kening berkerut. Seingatnya, tadi ia berada di halte tapi kenapa sekarang malah berada di tengah hutan belantara?
Mimpi kali, ya? batin Claretta.
Perlahan tubuhnya berdiri sambil bertopang pada koper yang dibawanya. Samar-samar ia mendengar suara gaduh seperti suara langkah kaki. Claretta mengikuti asal sumber suara, berharap suara sayup-sayup itu dari para pendaki gunung.
Ah... ketika bermimpi pun Claretta masih bisa berharap.
Suaranya makin terdengar jelas, sekarang malah seperti bergemuruh. Claretta bingung itu suara hujan atau langkah kaki dari banyak orang?
Pasukan TNI bersenjata?
Claretta membalikkan tubuhnya. Matanya seketika membelalak melihat rombongan orang-orang yang menunggangi kuda.
"Aaaaaa!!!" Claretta menjerit keras. Ia berjongkok sambil merapatkan kedua tangannya di kepalanya.
Pasukan penunggang kuda itu berhenti. Mereka menatap Claretta dengan raut wajah yang bingung. Claretta mendongak, ia pun sama bingungnya.
"Ma-maaf saya mengganggu acara syuting kalian. Saya bisa pergi, kok. Silakan dilanjutkan lagi syutingnya." Claretta beringsut ke samping sambil menyeret kopernya. Tetapi tiba-tiba salah satu dari mereka menodongkan tombak ke arahnya.
"Berhenti di sana!"
Claretta menatap takut-takut. Ini dia lagi di-prank, bukan? Atau salah satu pemeran prajurit itu salah mengingat siapa pemeran yang akan dihadapinya. "Aduh, Mas, jangan becanda. Saya bukan pemeran utama. Jangan ngajak saya buat akting."
Tombak yang tadinya ditodongkan satu bertambah menjadi tujuh. Claretta makin tidak mengerti dengan orang-orang yang menggunakan pakaian khas yang selalu digunakan seperti di film-film kolosal kerajaan Indonesia.
"Pengawal, bawa orang asing itu ke penjara istana bawah tanah."
Dua orang pengawal turun dari kudanya dan membawa paksa Claretta.
"Lepasin! Lepasin! Gue mau di bawa ke mana?!" Claretta meronta. Ia ingin segera bangun dari mimpi aneh ini.
***
Ternyata ini bukan mimpi. Bukan juga terdampar di lokasi syuting film kolosal.
Berkali-kali Claretta menghela napas berat. Ia tidak menerima dengan kenyataan ini. Claretta ingin kembali ke masanya, ke zamannya di mana ia hidup di masa depan, masa modern.
Perut Claretta meronta. Meskipun oleh para penjaga ia diberi makanan, tapi hanya pisang, singkong rebus dan segelas air yang gelasnya terbuat dari bambu, tapi Claretta tidak menyentuhnya sama sekali. Claretta takut kalau di makanannya itu dicampurkan dengan racun.
Cahaya obor yang remang-remang membuat pandangan Claretta tidak begitu jelas. Dengan gerakan pelan, ia membuka travel bag tempat beberapa makanan ringan yang sempat dibelinya.
Untung saja koper dan travel bag-nya tidak disita oleh para pengawal itu. Mungkin mereka takut kalau di dalamnya terdapat benda-benda yang berbahaya, bom misalnya. Tetapi zaman kerajaan seperti ini mana ada bahan kimia seperti itu, kan? Bom masuk ke zaman beberapa ratus tahun setelahnya.
Omong-omong, Claretta tidak tahu ia terlempar ke zaman kerajaan apa dan tahun apa sekarang?
Benar-benar tidak masuk akal.
Ponselnya tidak berfungsi sama sekali termasuk arlojinya. Berarti zaman sekarang benda seperti arloji belum ditemukan. Lalu, bagaimana Claretta mengetahui waktu? Sekarang saja ia tidak tahu sudah malam atau belum.
Dari lorong sana, terlihat bayangan tiga orang yang datang. Claretta tidak mempedulikan dan memilih untuk menikmati roti yang—mungkin—tidak akan pernah ditemukannya dan dimakannya lagi.
"Nyisanak, kau dibolehkan keluar dari sini."
Claretta tidak mempedulikan sebuah suara itu. Dalam hati ia merasa iri pada seseorang yang baru saja dibebaskan.
"Orang yang berpakaian asing, Kanjeng Gusti Pangeran Nagata sedang berbicara padamu. Bersikap sopan lah padanya."
Orang asing? Claretta mengerutkan kening. Ah, sepertinya orang yang dimaksud oleh pengawal itu adalah dirinya.
"Ada apa?" tanya Claretta, memastikan sekali lagi kalau benar dirinya yang dibebaskan.
"Kau boleh keluar dari tempat ini. Kau sudah dibebaskan," ucap seseorang yang disebut Kanjeng Gusti Pangeran Nagata itu.
Claretta membereskan koper dan tasnya. Buru-buru ia menuju pintu mirip dengan jeruji besi.
"Te—" ucapan Claretta terpotong karena kaget ketika melihat wajah orang di depannya yang sangat mirip dengan kakak tingkatnya di universitas..., Vito.
***
Dua orang yang berpakaian mewah—di zamannya—itu sesekali melirik pada Claretta. Entah sudah berapa lama Claretta dilihat seperti itu. Semenjak dirinya dibebaskan dan sekarang diajak ke tempat yang entah namanya apa Claretta mengeluarkan suara sama sekali karena memang ia tidak diajak bicara.
"Apa kau yakin, Gandara?" tanya Kanjeng Gusti Pangeran Nagata pada adiknya dari selir ketiga Raja.
"Aku yakin, Kakanda."
"Apa kita harus memastikannya kepada Ki Purwagalih? Aku takut kalau orang ini adalah jelmaan siluman."
"Tapi Ki Purwagalih dan Ayahanda Raja beserta Patih Paku Bumi belum kembali dari Kerajaan Tamawijaya."
"Berapa lama mereka akan kembali ke kerajaan?"
"Sekitar empat hari lagi, Kakanda. Bagaimana kalau kita bertanya saja pada Pandita Arya Dirja?"
Kanjeng Gusti Pangeran Nagata terdiam sejenak. "Kita panggil Menur saja. Suruh dia untuk menyiapkan kamar di Puro Utama dekat dengan kamarku."
"Baik, Kakanda."
Bendara Pangeran Gandara pergi meninggalkan mereka berdua untuk menemui pelayan Ratu kedua Gusti Kanjeng Ratu Mayang Danastri, ibu dari Kanjeng Gusti Pangeran Nagata.
Tinggallah mereka berdua. Claretta benar-benar gugup ditatap oleh Vito—makasudnya Pangeran Nagata lantaran cara menatapnya seperti hendak memakan Claretta hidup-hidup.
"Siapa namamu?" tanya Pangeran Nagata kemudian.
"Claretta Meisie," jawab Claretta pelan.
"Hah? Apa? Nama macam apa itu? Kenapa aneh sekali? Selain cara berpakaianmu aneh, namamu juga aneh. Sangat tidak wajar, apalagi kau seorang perempuan tetapi memakai celana. Tidak sopan. Kau sudah melanggar norma!"
Claretta menjepit ujung hidungnya. Ternyata meskipun Pangeran Nagata ini tampan, tetapi dia udik. Ah... Claretta lupa, ini bukan di zaman modern. Maklum kalau Sang Pangeran itu tidak gaul.
"Ma-maafkan saya." Claretta mencoba untuk tidak tertawa dan mencemooh—yang katanya— pangeran itu.
"Saya Menur menghadap Yang Mulia Kanjeng Gusti Pangeran Nagata." Tiba-tiba wanita paruh baya dan Pangeran Gandara datang.
"Menur, antarkan orang asing itu ke Puro Utama, bereskan kamar kosong di sebelah kamarku. Ubah penampilannya sesuai apa yang diusulkan Pangeran Gandara," ucap Pangeran Nagata.
"Sendiko dawuh, Gusti Pangeran." Menur menghampiri Claretta yang terlihat tidak enak duduk.
Menur terlihat kebingungan melihat koper dan tas ransel milik Claretta. Dalam hatinya, bagaimana cara membawa barang-barang aneh seperti itu?
"Biar saya saja," ucap Claretta sambil membawa tasnya.
Ketiga orang dari zaman dahulu itu mengamati cara Claretta menggendong tas dan membawa koper. Mereka mengangguk pelan ketika sudah mengetahui cara kerja benda tersebut.
"Lalu, apa yang selanjutnya akan Kakanda lakukan?" tanya Pangeran Gandara ketika Menur dan Claretta sudah pergi.
"Sesuai rencana, orang asing itu akan kujadikan istriku. Kau tahu, orang asing tidak boleh tinggal di kediaman keluarga kerajaan. Sepertinya, kedatangan dia ke dunia ini untuk memberikanku petunjuk."
"Apa nantinya tidak terlalu berbahaya? Bagaimana kalau dia dicelakai seperti mendiang Gusti Ratu Mayang Danastri." Pangeran Gandara menutup mulutnya rapat-rapat. Ia langsung bersujud dan meminta maaf pada Pangeran Nagata.
"Kau tidak perlu khawatir, aku masih mempunyai rencana lain."
***
Satu minggu berlalu, Sang Paduka Raja sudah mendengar ada orang asing yang datang dan sekarang sudah dikucilkan di Gunung Jaladara—rumor yang sengaja diedarkan oleh Pangeran Gandara. Paduka Raja juga sudah mendengar kabar tentang calon istri Pangeran Nagata.
Anak tunggal dari istri kedua Raja itu dipanggil untuk menghadap dan menjelaskan apa saja yang terjadi ketika dirinya sedang tidak ada di kerajaan.
"Lalu, apa kau menolak lamaran dari Adipati Madaharsa, Putraku?"
"Iya, Yang Mulia Ayahanda. Paman Adipati Madaharsa sebelumnya meminta saya untuk tidak terburu-buru mengambil keputusan. Dan keputusan saya adalah menolak lamarannya."
Meskipun Raja Bhupendra tidak berekspresi, tetapi Pangeran Nagata tahu kalau ayahnya itu sedang marah.
"Kenapa kau menolak lamaran dari Adipati Madaharsa? Putrinya cantik dan mempunyai asal usul yang jelas. Dia juga keturunan ningrat. Kenapa kau memilih wanita asing yang baru saja kau temui?"
"Arawinda bukan orang asing, Ayahanda. Arawinda adalah keponakan jauh dari Pandita Arya Dirja."
"Kenapa kau memilih wanita dari kalangan rakyat biasa, Putraku?"
Pangeran Nagata menghela napas. Ia tidak suka jika diberikan pertanyaan secara terus-menerus dan sulit untuk dijawabnya. Pangeran Nagata harus bisa membalasnya dengan jawaban yang bisa membungkam mulut Sang Raja.
"Saya memilih calon istri dari kalangan rakyat biasa supaya saya bisa memahami dan merasakan perihnya kebijakan kerajaan. Saya ingin bisa mengatur kebijakan ekonomi kerjaan supaya tidak mencekik kehidupan para rakyat."
Raja terdiam sejenak, kemudian kembali angkat bicara, "Panggil calon istrimu itu."
"Sendiko dawuh, Ayahanda."
Pangeran Nagata keluar sebentar untuk memanggil calon istrinya. Tak berapa lama Pangeran Nagata kembali masuk ke dalam ruangan khusus Sang Raja.
Claretta langsung menunduk hormat seperti yang sudah diajarkan oleh Menur. Sapa hormat kepada Sang Raja.
"Jadi kau adalah calon istri Pangeran Nagata?" tanya Raja.
"Benar, Sri Baduga Maharaja Prabu Bhupendra. Hamba Arawinda, calon istri Pangeran Nagata. Hamba adalah keponakan jauh dari Pandita Arya Dirja." Claretta memperkenalkan dirinya.
Awalnya ia menolak mentah-mentah ajakan Pangeran Nagata untuk berpura-pura menjadi calon istrinya, tetapi ketika sudah dijelaskan panjang lebar, juga Pangeran Gandara sedikit mengancam, akhirnya Claretta menyetujui.
Ancaman dan cara menakut-nakuti Claretta jika dipikirkan dengan baik ada benarnya juga. Claretta tidak bisa hidup selamat di zaman feodal ini, jalan satu-satunya hanya bergantung pada keluarga kerajaan.
Raja menatap Claretta dengan tajam. Tanpa bertanya apa-apa lagi Raja menyuruh kedua orang itu untuk kembali ke tempatnya.
Dalam hati Claretta ia berpikir, mungkin tadi Raja memanggilnya hanya untuk melihat dirinya saja. Yah siapa juga orang tua yang tidak penasaran dengan calon menantunya.
"Ketika makan malam nanti, kau harus ikut makan bersama anggota keluarga kerajaan. Aku akan memperkenalkanmu secara resmi."
"Apa calon istri lo juga hadir?" tanya Claretta.
"Tidak. Dia akan hadir ketika upacara pertunangan kita."
Ternyata di zaman kerajaan pun ada acara pertunangan. Claretta pikir setelah perkenalan dua keluarga langsung diadakan acara pernikahan.
"Arawinda, apa kau bisa mengubah cara bicaramu? Keluarga kerajaan tidak berbicara seperti itu."
Claretta menghela napas. Ia masih belum bisa menghilangkan 'bahasa gaulnya' di zaman ini.
"Baik, Yang Mulia Kanjeng Gusti Pangeran Nagata."
"Setelah ini, kau pergi ke Ruang Tata Krama. Menur sudah menunggu di sana. Aku akan mengawasimu. Jangan sampai kau mempermalukanku di depan anggota keluarga kerajaan."
Lagi, Claretta menghela napas. "Baik, Yang Mulia Kanjeng Gusti Pangeran Nagata."

Comentário do Livro (108)

  • avatar
    AlzahraNamira

    mayan.

    1d

      0
  • avatar
    DesfiantorHaikal

    terimakasih

    15/08

      0
  • avatar
    YanaKadek tisna

    seruu banget

    15/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes