logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 2 Awal

"Tanggung jawab? Sorry, jabang bayi itu bukan anak gue." Kenan berlalu begitu saja, tapi Claretta menghadangnya.
"Cowok cuma lo doang, Kak, yang sering jalan sama Restu," ucap Claretta.
"Kata siapa? Restu banyak kali jalan sama cowok lain. Kayak seminggu yang lalu itu dia jalan sama cowok anak band yang sefakultas sama lo."
"Dirga bukan pacar Restu, Kak. Dia gak selingkuh sama lo. Yang ada lo kali yang selingkuhin Restu."
"Oh, jadi namanya Dirga. Nah, lo ngomong aja sama dia buat minta pertanggung jawaban atas kehamilannya Restu. Dah, masalah selesai, kan?"
Tangan Claretta mengepal kuat mendengar jawaban yang santai dan tanpa salah dari Kenan. "Lo emang orang yang gak punya hati, ya? Seenak jidat lo ngomong begitu!"
"Ya gue ngomong kayak gitu karena bukan gue pelakunya. Wajar, dong."
Ingin sekali Claretta menancapkan pisau ke wajah arogannya Kenan. Wajah yang tanpa dosa yang sudah membuat sahabatnya sengsara.
"Lo itu ya, tukang selingkuh, tukang pukul cewek, tukang nyakitin cewek eh sekarang gak mau tanggung jawab sama dosanya. Gak tahu malu lo, Kak."
Kenan mengabaikan Claretta. Ia hanya tersenyum mengejek karena baginya amukan Claretta tidak ada apa-apanya. Kenan juga tidak melawan karena tidak mau membuang-buang tenaga.
"Woy, sini lo! Balik sini! Gue belum selesai ngomong sama lo!" Claretta berteriak memanggil Kenan tapi malah diabaikan.
Claretta berjalan menuju balik dinding, tempat Restu bersembunyi. "Lo tenang aja, Res. Besok gue bakal ngomong lagi ke dia. Gue yakin besok si Kenan itu bakal mau bertanggung jawab. Lo tenang aja, Res."
Restu mengangguk. Mereka berdua berjalan dalam diam.
Sore harinya Claretta bersiap-siap untuk pergi menginap di kosan Restu. Namun tiba-tiba ponselnya berdering ada panggilan masuk dari teman sekelasnya, Dona.
Tumben banget Dona nelepon, pikir Claretta.
Claretta menekan tombol jawab, belum juga Claretta menyapa, Dona sudah terlebih dahulu berbicara, "Cla, Restu bunuh diri."
***
Tepi jembatan itu begitu sepi, di jalan besar hanya ada kendaraan yang berlalu lalang. Satu bulan yang lalu, Restu mengakhiri hidupnya di atas jembatan ini. Jembatan ini menjadi saksi bisu bagaimana tubuh ringkih seorang Restu terjun bebas, seolah menghilangkan semua beban.
Tanpa sadar air mata Claretta menetes. Claretta menyesal karena tidak bisa melindungi sahabatnya yang sangat berharga itu. Andai... andai waktu bisa diputar kembali, Claretta ingin satu hari itu berada di sisi Restu. Andai saja ia tidak langsung pulang ke rumah, pasti sampai sekarang Restu masih ada, masih bisa merasakan udara hangat di dunia ini.
"Lo emang bener-bener jahat, Res. Jahat!"
Claretta menjatuhkan sebuket bunga ke bawah aliran sungai yang mengalir deras.
Setelah ini ia akan pergi jauh, pergi ke daerah pegunungan yang ada di daerah Jawa Timur. Liburan semester kali ini ia akan menghabiskan waktu di tempat yang sepi, menyendiri, menyepi dan membuang semua masalah untuk me-refresh-kan otaknya.
Claretta kembali berjalan sambil menunggu angkot. Setelah ada angkot serute ia masuk tak berapa lama angkot yang membawa Claretta sampai di dekat halte.
Sambil menunggu taksi, Claretta membaca novel terjemahan rilisan terbaru yang dua hari lalu dibelinya.
Dua orang pengamen yang masih anak-anak kira-kira berumur sembilan tahun bernyanyi di hadapan Claretta. Karena kasihan, Claretta memberikan uang dua puluh ribu kepada mereka. Anak pengamen itu terlihat bahagia. Setelah selesai bernyanyi, mereka pergi tak lupa mengucapkan terima kasih.
Mata Claretta mengamati bocah pengamen itu, Claretta merasa kasihan melihatnya. Padahal bocah itu masih anak-anak, tetapi bocah itu harus merasakan pedihnya hidup di jalanan, mereka tidak bisa merasakan indahnya menghabiskan waktu bermain dan belajar di sekolah. Jangankan biaya untuk sekolah, uang untuk membeli makan pun mereka masih kesulitan untuk mencarinya. Claretta bersyukur karena dirinya saat masih kecil ada dalam lingkungan yang berkecukupan.
"Ada masa lalu ada masa depan. Masa sekarang pasti ada masa depan. Masa selalu berdampingan. Gunakan waktu secara bijak supaya kelak tidak menyesal.... Masa lalu tidak bisa diubah masa depan bisa diubah tetapi takdir tidak bisa diubah. Jika Dewa berkehendak semuanya bisa jadi mungkin. Cahaya akan tetap bersinar di jalan yang benar."
Claretta menatap lelaki paruh baya yang penuh uban dan berbaju kusut duduk bersila di pinggir halte. Lelaki paruh baya itu kembali bernyanyi menggunakan bahasa Jawa yang tidak Claretta mengerti.
Saat Claretta akan memberikan uang, lelaki paruh baya itu menolak.
"Lho? Kenapa?" tanya Claretta bingung.
"Biar Sang Hyang Widhi yang membalas kebaikanmu, Nyisanak," jawab orang itu.
"Ha?" Claretta bingung, keningnya sedikit mengerut mendengar ucapan lelaki paruh baya itu yang seperti bahasa yang digunakan pada jaman dahulu.
Claretta menyimpan lagi uangnya. Novel yang akan kembali di bacanya yang diletakan di samping kirinya berubah menjadi buku Aksara Kawi. Wah, sepertinya novelnya tertukar dengan buku bapak-bapak yang duduk di sampingnya tadi.
"Yah..." Claretta gigit jari, padahal itu novel barunya, ceritanya juga seru. Dan tentu saja novel original harganya masih mahal. Kalau ada diskon harus menunggu di akhir tahun.
Lelaki paruh baya itu kembali bernyanyi. Kidung sekarang berbeda dengan yang tadi.
Kepala Claretta tiba-tiba pening. Samar-samar ia melihat cahaya matahari yang terlihat makin mendekat kepadanya.
Jangan-jangan matahari jatuh? Ada badai matahari? pikirnya.
Suara kidungan lelaki paruh baya itu makin terdengar jelas di telinganya. Suaranya seperti mengantarkan Claretta ke suatu tempat yang berada entah di mana.
Mata Claretta terpejam sepenuhnya. Tubuhnya melemas. Pikirannya kosong. Cahaya putih seolah mengangkatnya ke atas angkasa.
Claretta tidak ingat apa-apa lagi. Pikirannya terasa damai dan nyaman, sensasinya berbeda ketika dirinya tidur di kasur yang super empuk. Claretta ingin selamanya seperti ini. Semua beban masalahnya terangkat. Begitu menenangkan hati.
Suara lelaki paruh baya itu kembali terdengar, masih bernyanyi menggunakan bahasa Jawa. Tidak ada satu pun kata yang bisa Claretta tangkap. Yang jelas, suara lelaki paruh baya itu seperti memberikan nasehat kepadanya.
Dan di sinilah awal cerita baru untuk Claretta akan segera dimulai.

Comentário do Livro (108)

  • avatar
    AlzahraNamira

    mayan.

    1d

      0
  • avatar
    DesfiantorHaikal

    terimakasih

    15/08

      0
  • avatar
    YanaKadek tisna

    seruu banget

    15/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes