logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Part5

Jamal masih berada di sekolahnya. Ia malas untuk pulang. Ia lebih suka menikmati hari yang mulai menggelap di rooftop sekolahnya sendiri. Kadang ia juga ditemani temJamalan sejolinya, Dika dan Kevin. Namun, saat ini ia sendiri. Dika ada acara keluarga. Sedangkan Kevin, harus menjaga adiknya yang masih balita karena ditinggal kedua orang tuanya. Jamal memejamkan matanya tenang. Menikmati semilir angin yang menghembus kencang. Hawa dingin mulai menusuk kulitnya. Tak membuatnya beranjak sama sekali. Ini yang ia suka. Suasana yang tenang dan damai. Tak ada suara bising sama sekali. Begitu menyejukkan hati dan pikiran.
Jamal mengamati kendaraan yang berlalu lalang. Sepertinya para pekerja kantoran sudah mulai pulang ke rumah masing-masing. Huft, sepertinya ia juga harus pulang sekarang juga. Ia tak mau mendengarkan teriakan maut dari sang ibu.
Dengan malas Jamal mulai turun ke bawah. Menyeret kakinya malas-malasan, seakan tak mau kalau ia harus segera sampai. Bunyi langkahnya sendiri terdengar begitu nyaring. Sepi sekali. Ia jadi merinding melihat langit yang mulai menggelap, membuat suasana sekolah menjadi semakin mencekam. Jamal merinding. Ia menyesal sekali, tak memperhatikan waktu. Ia kira ini masih pukul setengah lima, ternyata sudah mendekati pukul enam. Jamal semakin mempercepat langkahnya. Ia takut. Benar-benar takut.
Setelah memutuskan untuk berlari, ia sudah sampai ke tempat motor bahenolnya. Dengan cepat ia segera menyalakan motornya dan bergegas pulang.
....
Kevin pusing. Adiknya yang super aktif itu tak bisa membuatnya tenang sama sekali.
"Adek mainannya jangan di makan dong. Kayak nggak ada makanan aja, kasian papa sama mama susah-susah cari uang buat kita biar makan enak, eh, lo malah makan mainan kayak gitu. Mainan itu buat dimainin, bukan dimakan!"
Sedangkan yang diomeli hanya terkikik geli. Merasa lucu melihat kakaknya yang sedang mengomel. Ia seakan bahagia melihat wajah tertekan sang kakak.
"Eh, malah tertawa. Dibilangin juga! Harusnya gue masih main sama temen-temen sekarang. Gara-gara lo nih, gue harus jagain makhluk astral kayak lo. Mana yang dijaga bandelnya minta ampun."
Sang adik menatap kakaknya berkaca-kaca. Bibirnya melengkung ke bawah. Siap untuk mengeluarkan jurus andalannya.
"HUWEEEEE....!!!!"
Kevin gelagaban sendiri mendengar adiknya menangis. Ia meraih tubuh kecil itu, digendong. Kemudian ia menepuk-nepuk bokong adiknya berusaha menenangkan. Papa... Mama... Kapan pulang? Kevin capek huhuhu...
....
Anggun baru saja terbangun dari tidurnya. Kepalanya berdenyut sakit. Selalu seperti ini kalau ia tidur sore. Ia merasa sesuatu yang basah mememenui celananya. Anggun mendengus. Sepertinya ini adalah jadwal palang merahnya. Dengan malas ia menuju lemari, mengecek apakah masih ada pembalut atau tidak. Anggun bernafas lega, ternyata masih dua lembar. Setidaknya cukup untuk hari ini. Ia harus keluar nanti malam.
....
Anggun melihat sang kakak yang begitu fokus menatap laptopnya. Ia tak terganggu sama sekali dengan kedatangan Anggun. Ia merasa bersalah, seharusnya ia bisa membantu sang kakak untuk memenuhi kebutuhan mereka. Tapi, sang kakak selalu melarangnya untuk membantunya bekerja. Kakaknya tidak mau melihat sang adik terlalu lelah akibat sekolah dan bekerja.
"Kak. Fokus banget si, sampai kedatangan aku nggak di gubris sama sekali."
Sang kakak lalu menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Kemudian ia mengusak rambut adiknya gemas.
"Kakak lagi ngejar deadline malam ini. Pusing kakak tuh, dapet tugas dari bos yang seenak jidat. Capek."
Mendengar keluhan sang kakak, membuat Anggun merasa semakin merasa bersalah. Matanya mulai ingin mengeluarkan air mata. Kenapa Tuhan tak memberikan kesempatan mereka berdua untuk bahagia?
"Kakak kalau capek istirahat dulu. Jangan terlalu memfosirkan tubuh kakak. Kasihan. Apa mau Anggun buatin kopi?"
Sang kakak hanya tersenyum menanggapi ucapan dari adiknya.
"Kakak capek banget ya? Maafin Anggun ya,kak. Aku belum bisa bantuin kakak."
"Gak papa. Capek kakak itu bisa hilang cuma karena ngelihat kamu. Ngelihat kamu senyum aja udah bikin capek kakak nguap gitu aja. Jadi jangan merasa bersalah. Kakak kerja bukan buat kamu aja, tapi buat diri kakak juga. Yang penting kamu belajar yang pinter biar bisa orang yang lebih berguna daripada kakak."
Anggun tak kuasa menahan tangisnya. Ucapan sang kakak benar-benar menampar batinnya keras. Ia masih malas-malasan dalam belajar. Ia juga terkadang menjadi pemalas ulung ketika di kelas. Memilih tidur daripada mendengarkan penjelasan guru yang menurutnya tak berguna. Maafkan adikmu ini kakak, belum bisa menuruti segala titahmu.
"Kak.."
"Hm?"
"Minta uang dong." Anggun menyodorkan tangannya, gestur meminta.
"Buat apa?"
"Beli."
"Beli apa?"
"Ya beli."
"Beli apa, adek?"
"Roti tawar."
"Roti tawar?"
"Ihh masa kakak nggak ngerti si? Ituloh, pembalut kakak. Aku ada jadwal palang merah hari ini."
"Ya kakak mana tahu hal kayak begitu. Nih. Jangan diambil semuanya lho." Ucap sang kak sembari memberikan uang warna biru.
"Iya kakakku sayang. Nanti aku balikin deh. Makasih yaa.. Yaudah aku siap-siap dulu yaa."
"Iya, hati-hati."
"Btw, kakak mau titip apa?"
"Beli nasi padang dua bungkus ya. Kakak lagi males masak malam ini."
Anggun hanya mengacungkan jempolnya kemudian pergi meninggalkan sang kakak.
.....
Jamal memasuki rumah dengan tegang. Ia sudah menyiapkan telinganya akan sakit mendengar omelan sang ibu. Sebelum masuk ia menutup telinganya. Takut, jika ia akan terkena serangan jantung karena teriakan sang ibu.
"Jamaluddin." Itu bukan suara ibunya. Tapi ayahnya. Nyali Jamal tiba-tiba menciut. Daripada mendengar suara dingin ayahnya ia lebih memilih mendengar teriakan cempreng sang ibu walaupun memekikan telinga.
"Eh, papa. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Darimana saja kamu?"
"Anu pa.. Biasa ndekem di sekolah dulu sampai lupa waktu hehe."
"Udah maghriban?"
"Udah dong Papa tadi di jalan. Santai aja anak gantengmu ini tak akan melupakan kewajibannya."
Sang ayah hanya menghela nafas pelan. Ingin memarahi sang anak sulung tapi dia malas.
"Buruan bersih-bersih. Kita makan malam bersama setelah ini."
Jamal memberi gestur hormat kepada sang ayah kemudian bergegas segera membersihkan diri.
....
Makan malam berlangsung dengan khidmat. Tak ada perdebatan dari ketiga anak dari Darto dan Ana. Tumben sekali.
"Jamal." Panggil sang ibu.
"Iya?"
"Nanti setelah makan, mama mau ngomong sama kamu."
"Iya."
Mereka kembali melanjutkan makan. Hanya bunyi dentingan sendok yang beradu dengan piring. Benar-benar hening. Aneh sekali rasanya. Biasanya juga ribut, mengesampingkan tata krama makan.
Biarlah, keluarga itu menikmati keheningan.
....

Comentário do Livro (107)

  • avatar
    Zzzzbt

    cerita ini sangat bagus sekali

    9d

      0
  • avatar
    WahyudaRega

    menarik ceritanya kak

    12/08

      0
  • avatar
    channel8pool ball

    okbakk

    10/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes